Malang, Pesantren.id – Ijazah selain berarti surat tanda tamat belajar, juga bermakna izin yang diberikan oleh guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang diperoleh si murid. Ijazah bermacam-macam, ada yang diberikan secara lisan dengan menuturkan silsilah (sambungan) dari guru ke guru sampai Rasulullah saw.
Lain halnya Ijazah musalsal bil mushofahah, ijazah dengan bersalaman satu persatu antara guru dan murid. Jempol sang guru dan murid saling bertemu dengan salaman tersebut.
Salah satu alumni, Yuli Rohmad Riadi masuk tahun 2000 mengatakan mengikuti ijazahan demi menyambung sanad yang belum diperoleh selama nyantri di PP Miftahul Huda Gading Kota Malang.
“Saya ikut dengan semangat mumpung kiai masih sugeng (red, hidup) dan kesempatan ini belum tentu tahun depan ada,” kata Yuli Rohmad Riadi, Ahad (02/05/2021).
Mutakhorijin 2008 tersebut mengungkapkan perlu adanya semacam mempererat hubungan lahir dan batin antara guru dan murid. Ijazah yang diberikan memang berangkat dari rasa mahabbah atau cinta.
“Kiai sendiri kemarin menjelaskan Syaikh Abuya Sayyid Maliki ketika memberikan ijazah kan didasarkan atasnama dasar cinta dengan yang mengijazahkan, sehingga itu menjadi lebih mempererat,” bebernya.
Rohmad sapaan akrabnya jauh-jauh dari Kabupaten Trenggalek bersama lima orang ke Kota Malang untuk mengikuti ijazahan yang jarang ada. Pasalnya kiai yang sudah sepuh ditambah bulan Ramadan menambah niatnya lebih mantab untuk bisa hadir langsung.
Kepada media, Rohmad menambahkan santri dimanapun posisinya berada, setelah pulang harus tetap ada ikatan. Bagaimanapun meski raga terpisah jarak dan waktu, minimal mendoakan disetiap selepas salat 5 waktu tidak boleh ketinggalan.
“Saya kira harus tabarukan terus dengan guru berbagai macam cara, sowan misalnya. Termasuk kalau bukan santri, tapi ummat ya harus tetap menyambung,” tutur pria yang sekarang menjadi guru di SMK Islam Durenan Trenggalek ini.
Soal santri yang masih di pondok, dirinya berpesan harus ada waktu untuk mengabdi kepada sang guru. Bagaimana membentuk suatu ikatan dengan kiai atau keluarga ndalem akan lebih erat, sehingga tidak akan lupa ketika sudah pulang ke rumah.
“Harus ada kesempatan waktu khidmah dengan kiai, tidak cukup santri itu hanya belajar ngaji atau diniyah saja, tapi harus ada waktu untuk khidmah dengan kiai. Apapun posisinya, apa sebagai kebersihan atau apapun, karena nanti dengan khidmah tahu kebiasaan kiai bisa dicontoh,” pungkas alumni Institut Teknologi Nasional Kota Malang tersebut.
Sementara Pengasuh PP Miftahul Huda Gading Kota Malang, al-Almukarrom KH Ahmad Muhammad Arif Yahya selaku mujiz (red, yang memberikan ijazah) mendapatkan sanad dari guru-gurunya bersambung hingga Rasulullah saw.
“Saya terima ijazah ini, dulu (dari) Sayyid Muhammad al-Maliki, kemudian guru saya Kiai Ali Mas’adi dari Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani, juga Kyai Abdul Mu’thi,” ungkap KH Ahmad Muhammad Arif Yahya.
Kiai kharismatik tersebut menjelaskan, suatu ketika Baginda Rasul saw bersabda kepada Sahabat Mua’dz bin Jabal, ‘Ya Muadzu inni uhibbuka, wallahi inni uhibbuka‘. Wahai Sahabat Muad bin Jabal, terus terang saja saya cinta kepadamu, maka katakanlah pada setiap setelah shalat, ‘Allahumma a’inni ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika‘,
“Kemudian berjabatan tangan, berjabatan tangan ini ya begini, cara berjabatan tangan begini, tidak seperti ini,” ungkap KH Ahmad sambil memperagakan.
Alangkah senangnya salah satu sahabat, beliau (Baginda Nabi) mengungkapkan cintanya kepada salah satu sahabat. Diteruskan oleh Baginda Rasul, “Man sofahani au man sofaha man sofahani,” dan seterusnya, jawabnya “dakholal jannah”.
Pengasuh PPMH menambahkan mungkin ada yang sudah pernah mendapat, atau berbeda cara ijazahnya, tidak ada masalah. Yang pasti sanad tersebut jelas bersambung.
“Waktu beliau Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani di Malang, seperti tadi itu (yang telah diperagakan). Waktu itu beliau mengajar kitab Bulughul Maram, pas fasal-nya menerangkan ijazah al-musalsal bil mahabbah. Jadi berantai-rantai, yang mengijazahkan kepada saya juga mengatakan ‘ana uhibbuka,” pungkas Kiai Ahmad.
Prosesi ijazahan dilakukan secara protokol kesehatan ketat, mulai dari peserta masuk hingga bersalaman. Setiap peserta, santri atau muhibbin disemprot disinfektan. Kemudian kiai mengendakan sarung tangan dan dilarang untuk mencium tangan seperti biasa yang dilakukan santri untuk menunjukkan mahabbahnya. []