Hikmah Ketika Majnun Dimabuk Rindu Bertemu Laila

Dari sekian banyak kisah/cerita di setiap zaman, tak ayal memiliki hikmah/pesan moral tersendiri di dalamnya. Termasuk kisah Laila & Majnun karangan Jamaluddin Ilyas bin Yusuf bin Zakky atau akrab disapa Nizami Ganjavi (nama pena) masyhur dikenal di berbagai pelosok negeri. Kisah cinta antara keduanya mampu membius ribuan juta pasang bola mata dan telinga ketika mendengarnya.

Kali ini, terdapat satu hikmah yang begitu penting untuk kita ketahui dalam menjalani kehidupan di dunia. Yaitu ketika Majnun tengah dimabuk kerinduan akan bertemu kekasih tercintanya, yang bernama Laila.

Majnun dalam cerita kali ini bukanlah nama asli, akan tetapi merupakan sebuah gelar. Nama aslinya yaitu Qais Ibnu Mulawwih, yang dikenal begitu tampan dan pandai. Begitu pun Laila yang juga merupakan sebuah gelar, nama aslinya adalah Ibnu ‘Amir. Keduanya adalah anak muda dari 2 qabilah yang berbeda.

Karena begitu tergila-gilanya dengan cinta, Qais lantas dijuluki Majnun. Majnun merupakan satu akar kata dengan “Jin”. Kamudian diterjemahkan menjadi “orang yang kesurupan jin”. dan diterjemahkan lagi menjadi “gila”. Jatuh cinta itu seperti orang gila atau kesurupan jin, “akalnya tidak jalan/hilang”. Sedangkan Laila ada yang mengartikannya “malam”. Ada juga yang mengatakan dinamakan Laila karena mata dan rambutnya begitu indah dan hitam pekat, seperti malam.

Suatu ketika, lelaki tampan bernama Qais atau yang akrab disapa Majnun itu tengah dimabuk cinta dan ia sangat rindu bertemu Laila. Tak heran jika sepasang anak muda ketika dilanda kerinduan, maka ia akan melalukan apa pun untuk bisa bertemu kekasihnya.

Majnun pun diceritakan segera bergegas dan ia memilih salah satu Onta betina yang kebetulan baru saja melahirkan. Tanpa mempedulikan anak Onta tersebut, Majnun tetap tetap memilih Induk Onta itu sebagai tunggangan untuk menuju desa Laila yang jaraknya begitu jauh. Bisa kita umpamakan saja jaraknya antara Surabaya-Jakarta, begitulah kiranya.

Baca Juga:  Bangkit Dibalik Keterbatasan

Ketika Majnun mulai menungganginya, Induk Onta itu tidak segera melangkahkan kakinya sesuai pinta Majnun. Majnun pun tetap berusaha menarik tali dan mencambuk Onta tersebut supaya segera jalan. Tak dinyana, setiap tiga langkah ke depan, Induk Onta itu kembali melangkahkan kakinya tiga langkah ke belakang. Setiap lima langkah ke depan, ia pun kembali melangkahkan kakinya lima kali ke belakang, begitu pun seterusnya. Lantas hal ini membuat Majnun kebingungan.

“Ada apa dengan Onta ini?” (tanya Majnun dalam benaknya)

Sebagai seorang ibu, dan baru melahirkan anaknya, tak heran jika induk Onta itu terus memikirkan bayi kecilnya. Padahal ia tak sempat menyusui dan mendekapnya dengan kasih sayang, lalu datanglah Majnun dengan nafsunya ingin bertemu Laila, hingga menghiraukan hubungan kasih sayang antara induk dan anak Onta itu.

Semasa di perjalanan menuju desa Laila, tetap saja Onta betina itu sesekali menoleh ke belakang setiap tiga sampai lima langkah ke depan. Nampaknya ia masih memikirkan malaikat kecilnya. Hal ini menyebabkan perjalanan Majnun ke desa Laila yang biasanya ditempuh hanya berkisar 1 bulan, kini memakan waktu hingga 4 sampai 5 bulan lamanya. Kembali lagi karena ia mengendarai Onta yang ia pisah dari buah hatinya yang begitu dicintai.

Ketika di tengah perjalanan, Majnun pun merenung sejenak, baru lah ia sadar bahwa yang ia tunggangi adalah Onta betina yang baru saja melahirkan dan sangat merindukan anaknya. Lantas Majnun pun berkata kepada Onta tersebut:

“Wahai Onta, maafkan aku yang telah menyiksamu dengan kerinduan dan memisahkanmu dari buah hatimu, ini bukan salahmu, ini kesalahan besarku. Sekarang, kau boleh pulang dan menemui anakmu. Aku akan turun dari punukmu”.

Baca Juga:  Berdakwah dengan Hikmah dan Ahsan

Ia pun lantas bersiap untuk turun dari binatang tunggangannya. Tak dinyana ketika telapak kakinya hendak menyentuh tanah, tak sengaja ia terpeleset dan menyebabkan salah satu kaki Majnun pun patah. Ia pun merasakan kesakitan yang luar biasa. Namun, kaki patah bukan penghalang baginya untuk tetap teguh pada niatnya untuk berkunjung ke desa Laila.

Padahal, jarak dari dimana posisi Majnun saat itu dan desa Laila masih begitu jauh. Akan tetapi Majnun tak patah semangat akan hal itu, ada cinta yang begitu agung yang menguatkan tekadnya. Karena cintanya yang luar biasa, ia bahkan rela berkorban dan melakukan apapun. Dikabarkan bahwa Majnun pun melanjutkan perjalanannya dengan menyeret kedua kakinya.

Bahkan, ia pun menggelindingkan badannya laksana roda yang melewati bebatuan runcing di tanah Arab. Punggung dan fisiknya pun terluka, dan dalam waktu yang begitu lama, barulah ia sampai di desa Laila.

Dari cerita di atas, terdapat satu pesan/hikmah yang bisa kita petik dan renungkan dalam kehidupan. yaitu: ketika kita sudah berikrar cinta kepada Allah SWT dan Rasulnya, maka segala cara akan kita lakukan supaya bagaimana kita sampai kepada titik pertemuan tertinggi. Yaitu dimana maqom ibadah paling tinggi, yang didahului dengan syariat, thariqat, hakikat, hingga sampai pada ma’rifatullah. Tentu hal ini pun ditempuh/diimplementasikan dengan berbagai cara, baik itu sholat, dizikir, puasa, beramal saleh, dan hal kebaikan lainnya.

Akan tetapi, jikalau dalam hati kita masih ada sedikit saja perkara dunia yang masih diberatkan, dalam bahasa jawanya “kedonyan”/sibuk memikirkannya, maka kita diibaratkan seperti Majnun ketika menunggangi Onta betina yang baru saja melahirkan anaknya sebagaimana di atas. Ia berjalan sangat lambat dan setiap lima langkah ke depan, kemudian ia berhenti dan berjalan mundur kembali lima langkah, begitu seterusnya.

Baca Juga:  Mencintai Orang yang (Tidak) Tepat

Begitu pun dalam perkara kehidupan, seseorang tidak akan pernah cepat sampai kepada Allah SWT dalam mencapai ibadah tertinggi, yaitu dunia olah rasa, bukan lagi olah raga (Contoh: ibadah shalat secara fisik). Ia akan ditarik ulur dengan perkara dunia. Terkadang ia semangat melakukan ibadah, dan terkadang ia kembali malas. Terkadang rajin, namun selang beberapa waktu ia kembali lagi malas-malasan atau bahkan meninggalkannya. Ia akan lama sampai kepada titik rasa ibadah tertinggi kepada Allah SWT, bahkan bisa saja tidak sampai-sampai hingga maut menjemputnya.

Untuk mencapai puncak peribadahan dan pengabdian tertinggi dalam dunia tasawuf, maka kita harus menjauhi rasa memiliki perkara dunia. Dunia sufi pun memandang, bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi tiada lain kecuali milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Hal ini tersirat dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah. []

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Hikmah

Menghutangi Allah?

“Aku sedang bertransaksi dengan Allah, melalui perantaraan kamu”, itu jawabanku ketika seorang teman ...

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah