Iwan Fals, seingat saya, hanya menyebut 3 nama orang yang masih hidup dalam lagunya: Galang Rambu Anarki, anaknya, dalam lagu berjudul sama; Yos, istrinya, dalam “Menunggu Ditimbang Malah Muntah”, serta BJ Habibie dalam “Oemar Bakri”.
Nama lain, Ronggowarsito (Condet), Hatta (Hatta), Gandhi (Rubah), memang nyata, tapi sudah berkalang tanah. Lainnya kebanyakan fiktif: Urip, Icih, Budi, Bento, Tince Sukarti binti Mahmud, dan seterusnya.
Dalam Oemar Bakri, Iwan Fals menyebut lirik “…. bikin otak orang seperti otak Habibie”. Ini lirik keren. Ketika Bang Iwan mencipta lagu legendaris ini BJ. Habibie menjadi bintang kejora. Dia raja dalam sains. Maestro. Kejeniusannya memang memukau. Saat ditanya cita-cita pengen jadi apa, saat itu banyak anak menjawab, seperti Habibie. Oke. Di mata anak-anak, Habibie bukan sekadar nama. Dia profesi. Selayaknya presiden, dokter, dan tentara. Kalau mau, anak-anak bisa menjawab, menjadi insinyur, sebagai mana profesi Habibie. Tapi tidak, para bocah memilih ingin menjadi seperti Habibie.
Bang Iwan tidak salah menyebut nama Habibie dalam lirik lagunya. Tepat. Sebab, dia menjadi prototipe ideal orang Indonesia yang tidak minder berhadapan dengan kaum kulit putih, lambang supremasi sains. Dia mungil, lincah, percaya diri, jenius dan bicara bahasa Jerman sefasih lidah kaum penutur aslinya. Postur, kecerdasan, kepercayaan dirinya mengingatkan kita pada Hadji Agus Salim, The Great Old Man. Bedanya, satu di sains, satu di politik.
Melihat Habibie, kita berguru bukan pada sikapnya saja, melainkan pada perempuan di sekitarnya: ibunya, Bu Tuti Puspowardoyo, dan belahan jiwanya, Hasri Ainun.
Benar kata Umar bin Khattab, kalau mau melihat orang hebat, periksalah ibu dan istrinya. Keduanya sangat berpengaruh. Di balik pria hebat, ada perempuan hebat. Sebaliknya, di belakang perempuan hebat, biasanya ada suami yang stres. Khakhakhakha
Oke. Kembali ke si jenius. Tuti Marini Puspowardoyo, sang ibu, ditinggal wafat suaminya, Alwi Abdul Jalil, ketika mengandung anak yang ke-delapan.
Di depan jenazah suaminya yang wafat saat mengimami shalat Isya’, dia bersumpah akan mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang bermanfaat. Sumpah yang didengar Allah, karena Baharuddin Jusuf Habibie, anak keempatnya, menjadi salah satu kebanggaan Indonesia.
Sikap Bu Tuti ini mengingatkan saya pada Bu Solihah Wahid Hasyim, ibunda KH. Abdurrahman Wahid. Keduanya sama sama dalam kondisi hamil anak bungsu manakala ditinggal wafat suami, punya anak banyak, dan memilih membesarkan buah hatinya sendiri sembari menjaga cintanya kepada almarhum belahan jiwanya. Mereka menjadi single parent hebat. Dari rahim Bu Tuti lahir Presiden BJ. Habibie. Dari rahim Bu Solihah, lahir Presiden KH. Abdurrahman Wahid. Pria hebat lahir dari perempuan tangguh!
Soal Ainun, okelah, kita harus berguru pada perempuan cakep ini. Dia mendampingi suaminya dalam susah-bahagia, memberikan semangat, serta mengapresiasi capaian-capaiannya. Buku Habibie-Ainun, yang ditulis oleh Habibie sendiri, saya kira layak dibaca suami istri yang krisis kepercayaan antar pasangannya. Kalau malas, bisa nonton film Hanum-Rangga, eh Habibie-Ainun yang dibintani kembaran saya, Reza Rahadian, itu.
Pada akhirnya, menyaksikan kiprah dan kehidupan BJ. Habibie, saya mengkeret. Minder. Beliau orang hebat, memberi manfaat, dan diidamkan orang untuk dijadikan pilihan cita-cita. “…..pengen seperti Pak Habibie.”
Selain kejeniusannya, satu hal lain yang kita pantas iri kepadanya adalah kesetiaannya dalam mencintai Ainun. Ainun Nadjib, eh Ainun Habibie.
Selamat jalan, jenius pemilik mata bulat!
[…] Habibie, Prototipe Ideal Orang Indonesia […]