“Tinggalkan istilah-istilah, pahamilah dulu isi dan maknanya.” Al-Ghazali. Sudah jelas bahwa dua aliran teologi Islam, Muktazilah dan Ahlus Sunnah, berbeda dalam pandangan mereka tentang keadilan Tuhan. Dua faktor utama menyebabkan perbedaan ini. Pertama, pemahaman tentang kebebasan manusia. Pandangan Muktazilah menekankan kebebasan manusia untuk bertindak, sedangkan pandangan Ahlus Sunnah menekankan bahwa Tuhan memiliki kekuasaan atas segala sesuatu, termasuk tindakan manusia.
Kedua, memahami keadilan Tuhan dalam memberikan pahala dan hukuman kepada manusia. Menurut Muktazilah, karena perbuatan manusia berasal dari dirinya sendiri, bukan Tuhan yang menciptakannya, Tuhan akan mengadili manusia sesuai dengan perbuatannya.
Akan tetapi, di sisi lain, Ahlus Sunnah memiliki perbedaan pandangan diantara Asy’ariyah dan Maturidiyah. Asy’ariyah berpendapat Tuhan dengan kehendak absolutnya dapat memasukkan manusia yang taat ke neraka ataupun manusia yang maksiat ke surga.
Sedangkan Maturidiyah berpendapat Tuhan tidak mungkin melakukan hal tersebut karena akan berdampak pada janji dan ancaman Tuhan yang telah ditetapkan-Nya sendiri. Akan tetapi, manusia tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hal baik dan buruk yang menyebabkannya masuk surga atau neraka.
Topik diskusi dan pokok masalahnya kali ini adalah tentang tindakan Tuhan. Apakah tindakan Tuhan diperlukan (wajib)? Kita tahu bahwa Tuhan melakukan sesuatu bukan karena keharusan; Dia menciptakan alam karena keinginan bebasnya, bukan karena kewajiban. Tidak ada dorongan.
Dengan kata lain, tindakan Tuhan dapat dilakukan atau tidak dilakukan. Berbeda dengan manusia, yang bertindak karena keterpaksaan dan keharusan, kadang-kadang karena keinginan sendiri, kadang-kadang karena keharusan. Tindakan manusia bisa jaiz dan wajib.
Kaum Muktazilah berpendapat bahwa Tuhan harus melakukan hal-hal baik dan tidak boleh melakukan hal-hal buruk bagi sebagian kelompok Islam. Menurut ajaran Muktazilah, Tuhan harus melakukan hal-hal yang paling baik, atau yang paling bermanfaat, dan Dia tidak boleh melakukan apa pun yang akan mencelakakan hambanya. Namun, menurut Asy’ariyah, Tuhan bersifat muridun (maha berkehendak).
Namun demikian, jika kita tidak memahami istilah wajib, hasan, dan qabih, tentu kita tidak dapat mendudukkan perdebatan Asy’ariyah dan Muktazilah secara proporsional tentang apakah Tuhan harus melakukan sesuatu yang baik atau buruk.
Lalu apa itu tindakan wajib Tuhan?
Wajib harus digunakan untuk tindakan tertentu atau pasti. Apakah tindakan di sini harus dilakukan atau tidak, kata Gus Ulil? Apakah tindakan itu adil? Menurut keyakinan Asy’ariyah, setiap tindakan Tuhan adalah jaiz.
Al-Ghazali membagi tindakan wajib menjadi dua: wajib secara syar’i dan aqli. Tindakan wajib syar’i adalah tindakan yang jika ditinggalkan akan menyebabkan kecelakaan yang jelas, yang terjadi di akhirat berupa siksaan Tuhan dan diketahui melalui dalil agama (wahyu), seperti shalat, puasa, zakat dan seterusnya.
Sementara itu, tindakan wajib aqli adalah tindakan yang jika ditinggalkan akan menimbulkan madharat dan diketahui melalui penalaran. Misalnya, jika Anda tidak merawat lingkungan, banjir akan terjadi, dan sebagainya.
Termasuk dalam definisi tindakan wajib adalah sesuatu yang akan mengakibatkan kemustahilan (muhal) jika tidak dilakukan (terjadi). Seperti halnya, berita tentang kemenangan Persia atas Romawi yang akhirnya sampai ke Makkah. Lalu Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dan memberi tahu orang-orang bahwa Romawi akan mengalahkan Persia pada waktu tertentu. Dalam Surat Ar-Rum Allah Swt. berfirman:
غُلِبَتِ الرُّوْمُ. فِيْۤ اَدْنَى الْاَرْضِ وَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُوْنَ. فِيْ بِضْعِ سِنِيْنَ ۗ لِلّٰهِ الْاَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْۢ بَعْدُ ۗ وَيَوْمَئِذٍ يَّفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَ
Artinya: “Bangsa Romawi telah dikalahkan. Di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang. Dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allahlah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.” (QS. Ar-Rum [30]: 2-4).
Karena ini adalah wahyu, itu pasti benar, dan kemenangan Romawi harus terjadi. Karena jika tidak, wahyu akan dianggap palsu. Gus Ulil mengatakan kita dapat mengatakan bahwa hal-hal yang sudah terjadi harus terjadi. Misalnya, jika Anda telah menunjukkan bahwa Anda telah sarapan di pagi hari, maka kita dapat mengatakan bahwa tindakan sarapan itu wajib terjadi karena sudah terjadi.
Gus Ulil mengatakan bahwa jika sesuatu dapat dilakukan dan kemudian ditinggalkan, maka itu bukan sesuatu yang wajib. Demikian juga, jika keharusan untuk melakukan sesuatu tidak lebih besar daripada kemungkinan untuk meninggalkannya, maka hal itu tidak dapat dianggap sebagai wajib, tetapi lebih dikenal sebagai yatarajjah (unggul).
Demikian juga sesuatu yang dorongan untuk mengerjakannya lebih kuat daripada meninggalkannya sehingga harus dilakukan, maka itu tidak bisa disebut sebagai sesuatu yang wajib untuk dilakukan dengan alasan apapun. Ia menjadi wajib karena dorongan tertentu. Murajjih-nya spesifik.
Anda bangun dan terus mencari bubur ayam untuk sarapan, misalnya. Apakah mencari sarapan bubur ayam tertentu harus dilakukan atau tidak? Mencari dan tidak mencari sarapan boleh saja jika situasinya tidak ada dorongan tertentu yang mengharuskan Anda mencari sarapan (netral).
Namun, ajakan teman, “kayaknya enak nih nyari sarapan pagi-pagi”, membuat Anda harus mencari sarapan. Jadi, ada sesuatu yang mendorong Anda untuk mencari sarapan. Inilah yang disebut sebagai murajjih (suatu yang memperkuat). Di sinilah tindakan harus dilakukan. Apalagi, dia menyertakan ancaman, “Kamu kalau gak mau nyari sarapan sama saya tak tembak kepala kamu”, dalam ajakannya.
Sekali lagi, karena ada ancaman, tindakan mencari sarapan menjadi wajib. Ini bukan karena faktor sembarangan seperti terbitnya matahari di pagi hari; itu wajib karena murajjih, tetapi tidak sembarang murajjih, yaitu harus ada murajjih yang berkaitan dengan tindakan.
Inilah pengertian wajib dalam kaitannya dengan tindakan. Jadi, kata Gus Ulil, wajib adalah sesuatu yang harus dilakukan karena murajjih. Jika sesuatu tidak mengandung murajjih, maka ia bisa dilakukan dan ditinggalkan.
Jika dikatakan bahwa semua tindakanNya sesuai dengan standar moral (jaiz), itu berarti bahwa Tuhan tidak memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu. Tuhan tidak bertindak sesuai dengan murajjih.
Misalnya, apakah Tuhan harus membalas si A dengan surga karena dia sangat rajin beribadah dan memenuhi semua kewajiban agamanya? Jawabannya tidak. Amal-amal baik manusia tidak dapat memaksa Tuhan untuk memberi mereka pahala surga.
Syahdan. Tidak perlu dikatakan bahwa Tuhan tidak adil. Tuhan Maha Adil (al-adl). Namun, Tuhan juga maha yang memiliki kehendak bebas. Oleh karena itu, tindakan-tindakannya tidak disebabkan oleh hal-hal di luar diri-Nya Tuhan. Ini adalah prinsip akidah Asy’ariyah. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.