Semandiri-mandirinya manusia, ia tidak dapat hidup sendiri. Bergaul dengan makhluk lain adalah keniscayaan baginya. Pergaulan itu tidak sebatas dengan manusia lainnya saja. Manusia tetap butuh interaksi dengan hewan, tumbuhan atau lingkungan sekitar.
Akibat dari interaksi itu menimbulkan beberapa sebutan. Disebut masyarakat bila ada banyak orang yang berinteraksi. Sedang disebut keluarga bila interaksinya terbatas. Khususnya interaksi terbatas karena kesamaan jalur biologis.
Layaknya pergantian siang dan malam, hidup manusia tentu dinamis. Kedinamisan itu bisa dilihat dari interaksinya sehari-hari. Entah dengan keluarga, rekan sekitarnya hingga masyarakat umum. Banyak karakter yang akan dijumpai sebagai hasil dari interaksi tersebut. Dalam lingkup paling kecil, misalnya keluarga. Bagaimana bila dalam sebuah keluarga dijumpai beragam karakter sedangkan butuh penyesuaian agar tidak terjadi hal yang diinginkan, misalnya konflik?
Kita sering menjumpai banyak cerita konflik keluarga. Khususnya konflik dengan orang tua. Hal itu bisa berasal dari teman sekitar atau hasil pembacaan media apa pun. Baik media massa atau media sosial.
Konflik di atas bisa bermacam-macam. Ada perbedaan ideologis. Konflik tentang perbedaan pilihan politik. Bahkan perbedaan kecil seperti memilih tempat makan pun bisa jadi persoalan.
Sebenarnya lumrah saja hal tersebut terjadi. Sebagai manusia yang dianugerahi akal dan pikiran, gesekan atau konflik kerap terjadi. Ihwal tersebut biasanya disebabkan oleh banyak hal. Perbedaan cara pandang, tingkat pendidikan, lingkup pergaulan bisa jadi contohnya.
Memang, masalah orang tua dan anak jadi persoalan yang sangat kompleks. Lebih rumit dari apa pun persoalan di dunia ini. Masalah sebuah negara bisa jadi tidak apa-apanya. Terbukti acara televisi yang menyuguhkan tayangan konflik orang tua dan anak pasti laris di negeri ini.
Masalah itu biasanya berawal dari anggapan bahwa orang tua adalah pusat dari segalanya. Anak harus tunduk serta patuh secara mutlak. Bila perlu, semesta pun harus ikut tunduk.
Doktrin tersebut bukannya tanpa alasan. Banyak orang tua merasa mereka sangat mencintai anak mereka. Bentuk kecintaan itu mereka wujudkan dengan menjadi pusat untuk anaknya. Pusat untuk mencari perlindungan, pusat untuk mencari petunjuk, pusat dari hal lain dalam hidup.
Namun bukan berarti ruang untuk berdialog telah tertutup. Sebagai anak, apalagi anak yang sudah menuju dewasa, berdialog berarti belajar untuk hidup. Tak terkecuali berdialog dengan orang tua sendiri. Bahkan saat perbedaan pilihan antara orang tua dan anak sangat berbeda, berdialog adalah salah satu opsi wajib yang perlu ditempuh.
Sebagai anak, perlulah belajar untuk berdialog. Hal itu bisa diawali dengan obrolan santai saat sore sembari minum teh atau kopi. Perlakukan orang tua sebagai rekan diskusi yang menyenangkan. Bukankah orang tua adalah orang pertama yang mengajari kita bicara.
Hal yang bisa jadi catatan penting adalah anak tak selamanya sepemikiran dengan orang tua. Ia dibesarkan dalam beragam ruang dan waktu. Ia bergaul dengan banyak konflik dan gesekan. Yang bisa jadi tak pernah dialami oleh orang tua si anak.
Perlu juga dipahami apa yang menjadi sebab dari pemikiran orang tua. Boleh jadi karena keterbatasan untuk memperoleh informasi. Atau lingkup pergaulan yang membuatnya tak punya pilihan lain.
Tidak selamanya ujung dari konflik berakibat negatif. Ada kalanya konflik bisa mendingin karena masing-masing pihak saling berdialog mesra satu sama lain. Bukankah komunikasi adalah kunci?
Wallahu a’lam