covid-19-di-pesantren-1-terkait-pandemi-kiai-terbelah-jadi-tiga-mazhab

Tanggal 18 Maret 2020 muncul di YouTube ceramah KH Agoes Ali Masyhuri merespon Pandemi yang sedang melanda dunia. Ia mengatakan Covid-19 adalah framing, dibuat-buat gawat, mematikan. “Iki akeh wong susah. Nggih nopo mboten? Jangan ditakut-takuti. Sebab ne wong susah, wedhi, gampang kene penyakit, cepet mati.”

KH Agoes Ali Masyhuri  atau Gus Ali yang  –lahir di Sidoarjo 3 September 1958– adalah tokoh NU yang terpandang di Jawa Timur. Ceramah-ceramahnya digemari karena komunikatif dan humoris, juga rajin menulis di koran. Pesantren Progresif Bumi Shalawat yang diasuhnya cukup besar. Pada September 2018, Presiden Jokowi datang di pesantren ini.

Dalam video itu, Gus Ali mengajukan keraguannya kenapa orang membahas korona, sementara kecelakaan motor yang juga memakan banyak korban tidak dibahas. “Berarti tidak murni virus, ada muatan-muatan kepentingan, setelah itu jualan vaksin,” kata Gus Ali dalam video yang diunggah 18 Maret atau dua hari setelah pemerintah memberlakukan PSBB.

Ceramah senada juga disampaikan oleh Habib Lutfi dari Pekalongan. Di depan ribuan jamaahnya, habib yang juga anggota Watimpres ini meminta korona pergi dari Indonesia, kembali kepada yang membuatnya. Secara implisit, dalam video yang diunggah 23 Maret, ia mengatakan korona ada yang “membuat”. “Di sini adanya corona mobil Toyota,” katanya. Vidio yang diunggah NU Channel ini sampai Selasa (14/7) ditonton 156,980, jauh lebih banyak daripada video Gus Ali yang “hanya” 48,602.

Berbeda dengan dua kiai di atas, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menunjukkan sikap dan pendapat yang sebaliknya. Kiai Said yang juga pengasuh Pesantren ats-Tsaqafah Jakarta Selatan ini menghimbau agar masyarakat berupaya, berusaha, dan melakukan sesuatu agar terhindar dari mara bahaya. Ia menyampaikan statemen itu di Kompas TV secara langsung, 21 Maret

Baca Juga:  PCI NU dan Muhammadiyah Inggris Kolaborasi Lawan Covid-19

Kiai Said banyak memberikan pernyataan tentang korona karena kedudukannya sebagai ketua umum PBNU. Dan baru-baru ini ia memberikan ceramah di Satgas Covid-19. Senada dengan Kiai Said, KH A Mustofa Bisri atau Gus Mus juga menyampaikan padangan yang hati-hati, menghimbau masyarakat agar taat protokol. Khusus terkait salat Jumat, Gus Mus berpesan bahwa agama itu tidak menyulitkan, agama itu menghindari bahaya.

Meskipun ada perbedaan tajam di kalangan NU dan ulama pesantren, tidak serta-merta mereka berbeda secara mencolok di lapangan. Misalnya, baik Gus Ali ataupun Habib Lutfi meliburkan banyak kegiatan keagamaannya, apalagi setelah jumlah yang terinfeksi Covid-19 makin meningkat. Salat Jumat, pengajian, salat tarawih, hingga salat Idulfitri mematuhi himbauan pemerintah.

Nahdliyin di daerah-daerah banyak yang melaksanakan salat Idul Fitri, namun dengan protokol ketat. Kondisi di lapangan yang “relatif” kompak, di tiga bulan pertama wabah, disyukuri oleh banyak pihak, Gus Lukman misalnya, menyatakan syukur karena di lapangan relatif terkendali.

“Alhamdulillah, meski kiai-kiai terbelah menjadi tiga “mazhab” di lapangan masih banyak yang mematuhi protokol,” kata Pengasuh Pesantren Tremas Pacitan ini. Tapi di sisi lain, setelah Idulfitri, kondisinya berbeda, perselisihan muncul terkait pesantren yang sudah libur dari tiga bulan. “Banyak kiai yang ‘tidak betah’ melihat pesantren libur terus. Akhirnya tiga mazhab pecah lagi di lapangan,” kata Gus Lukman yang juga pengurus PBNU.

Gus Lukman menjelaskan tiga mazhab itu, pertama, kiai yang menganggap Covid-19 itu nyata, bukan rekayasa. Mazhab ini di lapangan berikhtiar dan melawan korona. Mereka bertindak sangat hati-hati, dengan meliburkan semua kegiatan yang mengumpulkan massa dari pengajian hingga Jumatan. Pesantren-pesantren banyak yang belum buka, sebagaimana sekolah.

Baca Juga:  Pandemi dan Krisis Kemanusiaan

“Secara sederhana kiai-kiai mengambil dalil itu loh, Mekkah dan Madinah saja lockdown,” Gus Lukman mencontohkan.

Mazhab kedua, kata Gus Lukman, kiai yang beranggapan korona ini konspirasi, nyata tapi konspirasi. Mereka mengimbau jangan takut korona, takut kepada Allah. Meskipun demikian, di lapangan mereka tidak frontal, tidak melawan kondisi ini, karena pihak pemerintah melakukan persuasi.

Mazhab ketiga itu “moderat”, kata Gus Lukman. “Kiai-kiai ini percaya korona, tapi menganggap enteng. Asal imunitas kita tinggi ya tidak ada masalah. Kayak rokok itu, kalau usia lanjut dan ada penyakit yang menyertai itu yang perlu diwaspadai,” jelasnya Gus Luman, Senin (13/7), melalui sambungan WA. [HW]

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Alif.ID

Hamzah Sahal
Founder alif.id. Belajar di sejumlah pesantren serta aktif di Rabithah Ma'ahid Islamiyah PBNU.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini