Dalam madzhab Hanbali aurat perempuan merdeka adalah seluruh anggota tubuh tanpa kecuali. Meski demikian, mazhab ini memberikan sedikit kelonggaran. Yakni bahwa wajah dan telapak tangan boleh dibuka ketika dalam shalat dan untuk keperluan yang tak dapat dihindari. Sebaliknya sebagian ulama dari mazhab ini justeru memberlakukan secara lebih ketat dengan mewajibkan menutup seluruh anggota tubuh tak terkecuali dalam shalat. Abu Bakr al-Harits, salah ulama dari kelompok ini mengatakan bahwa seluruh anggota tubuh perempuan merdeka adalah aurat yang wajib ditutup, termasuk kukunya.
Mengenai batas aurat perempuan hamba sahaya (budak), para ulama juga berbeda pendapat. Al-Nawawi menyebutkan ada tiga pendapat;
Pertama, aurat mereka sama seperti aurat laki-laki. Yakni bagian tubuh antara pusat (puser) dan lutut. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar murid Imam al-Syafi’i.
Kedua, auratnya sama seperti aurat perempuan merdeka kecuali kepala. Ini pendapat Imam al Thabari.
Ketiga, bahwa auratnya adalah selain anggota tubuh yang diperlukan dibuka ketika bekerja (khidmah), yaitu selain seluruh kepala, leher dan kedua lengan tangan.
Kitab-kitab fiqh klasik lain juga menulis tidak jauh berbeda dari tiga pendapat di atas. Ada pendapat sebagian kecil ulama yang mengatakan bahwa perempuan hamba sahaya (budak) apabila sudah dikawini oleh seseorang, atau menjadi hak milik satu orang, maka auratnya adalah sama dengan perempuan merdeka.
Ibn Hazm al-Zhahiri, tokoh aliran literalis, juga berpendapat bahwa batas aurat perempuan hamba dan perempuan merdeka adalah sama dalam keadaan apapun, yaitu seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan, karena tidak ada teks syara’ yang otoritatif yang secara eksplisit membedakan antara perempuan merdeka dengan perempuan hamba.
Tetapi dalam pandangan mayoritas ulama fiqh, aurat perempuan merdeka lebih tertutup dari aurat perempuan hamba, bahkan mayoritas mereka cenderung menyamakan perempuan hamba dengan lelaki.
Dari uraian di atas tampak bahwa tidak ada batasan aurat yang sama, tunggal atau disepakati para ulama. Di balik seluruh pandangan tentang batas-batas aurat di atas tentu ada sederet dasar hukum yang menjadi rujukan dan pijakannya, baik berasal dari teks-teks agama (syara’) yang otoritatif; al-Qur’an dan hadits, maupun dari logika (‘illat) hukum.