alumni

Saat ini sadar atau tidak, sebagian besar kumpul-kumpul alumni pesantren memang agak redup gaungnya. Mungkin karena sudah masanya grup WhatsApp, kumpul fisik dianggap kuno dan bukan zamannya.

Tapi kalau boleh kita analisa, mungkin juga karena sebagian besar kumpul alumni selama ini selalu berbentuk acara seremonial, resmi dan formatif. Semakin hari, semakin besar dan tambah berat. Bisa itu dikemas melalui acara Halal bihalal, pengajian, bershalawat, haul, dan lainnya.

Sangkut-paut dengan suatu acara tersebut tentu berbanding lurus dengan beban yang harus dipikul bersama. Maksud saya, jika kumpul dengan bingkai acara maka kita perlu panitia, memikirkan acaranya, membuat panggung, menghadirkan pembicara, mengundang Kiai. Atau minimal ditodong iuran karena pasti banyak biayanya.

Sudah begitu saat kita datang, isinya hanya disuruh duduk manis. Sepanjang acara mendengarkan ceramah, ikut ketawa sesekali, ya kalau kiainya lucu.

Sama sekali kita tidak diberi kesempatan untuk bicara. Menceritakan siapa kita, keberhasilan kita, curhat masalah yg dihadapi, dan lain sebagainya. Paling banter yang bisa kita lakukan bisik-bisik sama teman duduk sebelah di sela-sela pengajian dengan cara curi-curi kesempatan.

Padahal, berbicara, didengarkan, dimengerti, diakui, dan sebangsanya. Adalah sebuah kebutuhan primer bagi manusia normal. Secara psikologis.

Kita lihat contohnya facebook. Sukses luar biasa kan? Karena dia bisa memberi ruang dan kesempatan kepada setiap orang yang bahkan bukan siapa-siapa. Untuk bisa eksis menunjukkan jati dirinya, keberhasilannya, keshalehannya, kemesraannya, sampai kemerdekaan berbicara. Seakan sederajat untuk seluruh umat manusia.

Nah, untuktuk itu, kenapa kita tidak kepikiran untuk mengadakan kumpulan alumni pesantren yang tidak usah pakai acara, tidak perlu ada panitianya, tidak harus kerja bakti, dan tidak jengah ditodong iuran.

Baca Juga:  Ijazah Kerasan Mondok

Bagaimana kalau ngumpul saja, misal kita sepakati hari apa dan tanggal berapa di rumah siapa, hanya ngumpul saja. Yang sempat sambil bawa makanan sendiri, Sayur, Lauk,  Snack, Rokok. Tuan rumah tinggal menyediakan nasi. Sama teh kopi, dan tikar. Mantap kan?

Tak perlu banyak, cukup se-desa, se-kecamatan, se-hoby, se-pekerjaan, dan se-se lain yg dapat digunakan sebagai simpul silaturahmi.

Lalu acaranya, yangumpul saja, makan bersama, ngobrol kangen-kangenan. Biar pantes ya didahului sholawatan dan tahlil. Memohon syafaat. Mendoakan arwah para leluhur para masyayih. Tak lupa juga mendoakan diri kita sendiri.

Kemudian giliran siapa yg mau bicara. Tidak harus bicara agama, keseringan ngaji, jenuh juga.  Sesekali kita bicara tentang kehidupan dunia, usahanya, cerita perjuangannya, pengalamannya, keluh kesahnya daan lain sebagainya. Boleh curhat juga, kalau lagi dirundung masalah rumah tangga.

Dilanjutkan musyawarah mengumpulkan saran dan masukan agar kita menjadi lebih baik, lebih berkah, syukur bisa saling membantu, saling membimbing minimal saling mendoakan siapa tahu ketemu jalan, ketemu solusi dan bisa kerjasama, saling membantu.

Jika kumpulan-kumpulan alumni kelas awam yang manusiawi ini bisa diciptakan per-daerah, per-angkatan, per-kelompok, per-berapa bulan. Insya Allah kegiatan alumni pesantren akan kembali bersinar bergema ke seluruh negeri. Mengisi relung-relung hati nan gersang. Walah… malah puitis.

Juga tambah berkah, karena kita sering silaturahmi, ketemu beneran, saling menatap, saling berjabat tangan, bahkan berpelukan, bukan hanya WA-an.

Dengan ketemu langsung, laksana nonton film 3 dimensi. Kita bisa tahu situasi dan kondisi kawan alumni lain yg sebenernya yang nyata, dan turut merasakan nafas perjuangannya ikut tenggelam dalam kebahagiaannya. Menghibur kala kesedihan datang mendera.

Secara tidak langsung, gema dakwah pun akan bersemangat kembali. Memancar indah seperti dulu. Suatu masa yang sering kita banggakan.

Baca Juga:  Menghafal Versus Menalar (2)

Lalu halal bi halalnya? Pengajiannya?  Haulnya? Sholawatannya? Ya tetep ada. Bukanya mbah Kiai sudah berpesan agar kita selalu menjaga hal-hal yang sudah baik. Dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik?

*Santri Londo, Alumni Pesantren Tremas, Mukim di Belanda.

Santri Londo
Alumni Pondok Tremas, Mukim di Belanda

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini