Siapa tak kenal Imam Ghazali (wafat 505 H). Ulama besar yang bernama asli Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ini bergelar Hujjatul Islam (gelar kepada ulama yang berjasa mempertahankan prinsip-prinsip Islam dengan argumen yang sulit dipatahkan lawan), sebagai seorang ulama Sufi ‘Alim Rabbani (seorang yang mengajari manusia hal-hal yang mendasar sebelum mengajari mereka dengan berbagai hal yang rumit), yang memformulasikan obat bagi banyak “penyakit hati” lewat karya-kkarya sufistik wabil khusus masterpiece-nya kitab Ihya ‘Ulumuddin.
Di antara karyanya, ada satu pembahasan menarik yang nampaknya tak begitu lazim ditemui dalam karya atau pembahasan sufistik lain. Yaitu pembahasan tentang suami dan istri.
Ada dua bab yang berjudul “haq az-zaujah ‘ala az-zauj“, dan “haq az-zauj ‘ala az-zaujah” (hak istri pada suami dan sebaliknya). Pembahasan suami dan istri dalam literasi “tasawwuf” ini menandakan bahwa pondasi bangunan keluarga yang kokoh bukan hanya berdiri di atas ilmu fiqh (lahiriyah) namun juga ilmu tasawwuf (ilmu batin).
Melihat dari urutan babnya, yang mendahulukan hak istri atas suami daripada sebaliknya mengesankan bahwa seorang suami harus berbesar hati dan lebih memprioritaskan hak istrinya atas dirinya daripada sebaliknya. Firman Allah swt:
“… فإن كرهْتموهن فعسىٰٓ أَن تكْرهوا۟ شيْـًٔا ويجْعل ٱللَّهُ فيه خيْرا كثيرا
“Dan pergaulilah mereka (istri) dengan cara yang ma’ruf (patut) Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak“.(Qs An-Nisa : 19).
Di antara bergaul dengan cara ma’ruf ialah (siap) menanggung rasa sakit, kecewa, tersinggung, dari sifat-sifat mereka, inilah yang disebut ihtimal al-adza, bukan sekedar kaff al-adza (menghentikan perilakunya yang menyakiti atau mengecewakan), dan tetap menyayanginya karena terbatasnya pemikiran istri.
Menanggung dan menahan kekecewaan akibat tingkah laku istri itu sulit. Maka, motivasi hebat yang membuat seorang suami mampu ihtimal al-adza adalah motivasi Tuhannya.
وأخذْن منكم ميثقا غليظا
“Dan mereka (istri) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat”. (Qs An-Nisa 21).
Perjanjian, sumpah atau pengakuan yang kuat itu adalah untuk memegang mereka dengan sebaik-baiknya atau melepas dengan sebaik-baiknya, dan para suami telah memegang istrinya bukan hanya dengan amanah mertua, tapi dengan amanah Allah swt.
Motivasi hebat kedua untuk mampu ihtimal al-adza adalah sabda Rasulullah yang dikutip oleh imam Ghazali: “Siapa yang mampu bersabar atas keburukan akhlak istrinya, Allah akan memberikannya pahala seperti pahala yang diberikan pada Nabi Ayyub as atas ujiannya. Dan istri yang bersabar atas keburukan akhlak suaminya, Allah berikan ganjaran sebagaimana ganjaran Asiyah istri Firaun“, dan pahala Asiyah tak lain adalah rumah di sisi Allah swt.
Ada “sirr tarikh” yang di sajikan imam al-Ghazali dalam bab pembahasan tersebut bilau mengkisahkan: Di era Khalifah Harun ar Rasyid hidup seorang penyair yang alim Al-Asmu’i benama asli Abdul Malik Al Asma’i. Ia lahir di kota Basrah pada tahun 121 H wafat pada 216 H. Imam al Ashmu’i memberi nasihat: “Salah satu adab istri terhadap suami adalah tidak berbangga diri atas suami dengan kecantikannya dan menghina suami karena bermuka jelek”.
Aku berjalan-jalan ke suatu pedesaan dan mendapati seorang istri yang begitu cantik bersuami bermuka jelek.
Kemudian aku berkata kepada sang wanita:
“Wahai wanita, mengapa engkau rela bersuamikan orang yang bermuka sepertinya”?.
Wanita itu menjawab:
“Wahai laki-laki diamlah engkau, sungguh jelek amat ucapanmu, Mungkin Suamiku adalah orang yang shalih dan sangat baik dengan Tuhannya sehingga menjadikanku yang cantik sebagai pahalanya. Atau mungkin aku bukanlah orang yang baik dengan Tuhanku sehingga menjadikan wajah jeleknya sebagai balasan kekurang sholihahnya diriku”.
Seorang Suami berkata kepada istrinya:
خذي العفو مني تستديمي مودتي * ولا تنطقي في سورتي حين أغضب
فإني وجدت الحب في القلب والأذى * إذا اجتمعا لم يلبث الحب يذهب
Carilah Maaf dariku, maka hal itu akan melanggengkan cintaku
Dan janganlah engkau berkata akan kepribadiaanku saat aku sedang marah
Karena aku tahu bahwa ketika “cinta dan rasa sakit” bersatu di hati.
Dan ketika keduanya berkumpul maka cintalah yang selalu akan pergi.
(Mukasyafat Al-Qulub Ila Hadrat ‘Allam Al-Ghuyub Fi ‘Ilm At Tasawwuf). []
والله اعلم