KH Turaichan Adjhuri Asy Syarofi

Mbah Tur atau Yai Tur, nama sapaan KH. Turaichan Adjhuri Asy Syarofi, merupakan Kiai karismatik dan ahli falak dari Kudus, Jawa Tengah. Beliau terlahir di lingkungan agamis kota santri dari pasangan suami istri KH. Adjhuri dan Nyai Dewi Sukainah. Tepatnya, pada 12 Rabi’ul Awwal 1334 H/10 Maret 1915 M di Kudus. Banyak kalangan yang meyakini bahwa beliau masih keturunan Sunan Kudus, namun pihak keluarga lebih cenderung meyakini bahwa beliau adalah keturunan Syekh Mutamakkin, Pati.

Pada masa kecilnya, Mbah Tur lebih suka bermain catur yang mengandalkan otak dari pada bermain olahraga yang bermodal fisik. Konon, pada masa kolonial Belanda Mbah Tur pernah mendapatkan penghargaan karena memenangkan pertandingan catur. Selain bermain catur, Mbah Tur juga mempunyai hobi dalam bidang seni, yakni seni rebana.

Berbeda dengan para ulama yang banyak menimba ilmu di beberapa pesantren, Turaichan muda hanya menimba ilmu kepada para ulama sekitar Kudus saja. Walaupun begitu, tingkat keilmuan beliau tidak diragukan lagi. Dalam lingkup formal, Mbah Tur belajar di Madrasah Tasywiquth Thulab As Salafiyah atau disingkat TBS Kudus sejak 1928. Di madrasah ini, beliau berguru kepada KH. Abdullah Aljufri (ilmu alat), KH. Muhit (ilmu fikih), KH. Abdul Jalil Hamid (ahli falak) dan ilmu lainnya. Selain itu, beliau juga berguru kepada KH. R. Asnawi Kudus; KH. Ma’shum Ali Kwaron (ahli falak dan menantu KH. Hasyim Asy’ari), Kiai Fauzan, Kiai Maksum (ayah Kiai Fauzan) dan lainnya.

Demi menyempurnakan separuh jiwanya, Mbah Tur menyunting seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Masni’ah binti Marwan adalah gadis yang dinikahi oleh Mbah Tur tepat pada 1942. Dari pernikahannya ini, beliau dikaruniai 10 orang anak. Namun kini anaknya tinggal tiga, yaitu Fihris, Naila, dan Sirril Wafa, dosen UIN Jakarta.

Baca Juga:  Refleksi Tahun 2020 & Taushiyah Kebangsaan Nahdlatul Ulama Memasuki Tahun 2021

Hidup Bermasyarakat

Setelah lulus dari Madrasah TBS Kudus, tepatnya pada usia 14 tahun, Kiai Turaichan diangkat sebagai pengajar di Madrasah TBS Kudus. Di madrasah tersebut, beliau mengajar ilmu faraidh dan ilmu falak. Selain mengajar di madrasah, Kiai Tur juga membuka pengajian kitab kuning di rumahnya. Di antara kitab-kitab yang dibaca, khususnya di bulan Syakban dan Ramadan adalah Kifayah Al Atqiya’, Irsyad al ‘Ibad, dan al Hikam. Namun ketika Kiai Tur sudah berusia senja, kitab yang biasanya dibaca adalah kitab yang beraroma akidah (teologi), di antaranya kitab Tuhfah al Murid, dan al Dasuqi (syarkh Umm al-Barahain).

Dalam hidupnya, Kiai Turaichan termasuk seorang kiai yang aktif. Hal ini terlihat bahwa beliau aktif di organisasi NU, berpartisipasi menjadi Rais Syuriyah PCNU Kudus, berkecimpung dalam forum bahtsul masail, anggota tim lajnah falakiyah PBNU dan tim rukyat dan hisab Depag Kudus. Kepakarannya dalam ilmu falak melambungkan namanya sebagai pakar falak kancah nasional.

Pakar Falak dan Karyanya

Sebagai seorang ahli falak, beliau sangat berjasa atas penerbitan Almanak Menara Kudus. Almanak Menara Kudus ini menjadi jaminan mutu dan mendapat kepercayaan dari masyarakat luas. Sebab prediksi terjadinya gerhana tepat sesuai dengan kenyataannya. Bahkan beliau membuat almanak 200 tahun ke depan atau 2 abad ke depan. Walaupun penulisnya sudah wafat, namun almanak ini selalu diterbitkan oleh Penerbit Menara Kudus setiap tahunnya.

Selain Almanak Menara Kudus, Kiai Turaichan tidak menulis lagi dalam bidang ilmu falak. Akan tetapi, pada 1985 Kiai Turaichan meminta muridnya yakni Kiai Abu Saiful Mujab Nur Ahmad ibn Shadiq ibn Siryani atau yang dikenal dengan KH. Noor Ahmad SS. Kiai Turaichan juga telah mengajarkan kepada muridnya tentang hisab urfi Hijriyah dari tahun 0 sampai 4329 H.

Baca Juga:  8 Zona Ziarah Muassis (Pendiri) NU, Tonggak 99 Tahun NU dan Pekan Rajabiyah

Pendiriannya yang Teguh

Bukan hanya ahli falak dan faraidh saja yang digelutinya, beliau juga ahli dalam bidang fikih yang terlibat dalam forum Bahsul Masail. Ketika pendapat Kiai Tur berseberangan dengan para ulama lainnya dalam forum Bahsul Masail, beliau tidak sungkan-sungkan untuk melontarkannya. Di antara pendapat Kiai Turacihan yang berseberangan dengan pendapat mayoritas NU adalah (1) ketika Muktamar NU ke-26 di Semarang (1979), dan (2) dalam Forum Bahsul Masail ada pertanyaan tentang apakah boleh menulis Al-Quran selain dengan huruf Arab melainkan dengan latin. Dalam hal ini mayoritas peserta sependapat dengan KH. Bisri Syansuri yang menjadi Rais Aam PBNU, bahwa hukumnya haram menulis Al-Quran dengan huruf latin. Namun, Kiai Turaichan mengatakan boleh asalkan membacanya tetap dengan tajwid yang benar. Tentu saja pendapat Kiai Tur ditentang banyak peserta termasuk Mbah Bisri. Setelah melewati perdebatan yang sengit antarpeserta, ahirnya diputuskan bahwa,

Tidak boleh menulis Al-Quran dengan huruf latin jika sampai mengubah artinya (kesepakatan Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar). Boleh menuliskannya dengan huruf latin asalkan membacanya tetap sesuai aturan ilmu tajwid (sesuai pendapat Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar tetap mengharamkannya). Dari hal ini jelas terlihat bahwa beliau mempunyai pendirian yang teguh walau terhitung minoritas pendapatnya.

Kembali ke Alam Baka

Kiai Turaichan tutup usia pada umur 84 tahun, tepatnya pada 20 Agustus 1999/09 Jumadil Ula 1420 H. Beliau dimakamkan di Kudus. Adapun pesan-pesannya sebelum wafat adalah:

Bahwa segala perbuatan harus berdasarkan syariat.
Jangan mudah heran dan takjub dengan hal-hal yang baru “ojo gumunan lan ojo kepincut”.
Berjalanlah di jalan yang benar meskipun yang melakukannya sedikit dan Jangan melalui jalur yang salah meskipun banyak yang mengerjakannya.

Baca Juga:  13 Juni, Hari Lahir Sastrawan Ahmad Tohari dan Wafatnya Tokoh NU Betawi Mualim Radjiun

Pernah dimuat di https://tebuireng.online

Nur Ifana
Mahasantri Ma'had Aly PP Tebuireng Jombang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah