Era digital mendorong peluang baru dan memperluas jangkauan dakwah. Ulama sebagai sumber ilmu perlu menyikapi dengan proses adaptasi dengan strategi yang jitu, butuh kreatifitas memoles konten dakwah dengan kemasan yang menarik dan bermutu. Jika tidak, akan nihil hasil dan tidak akan memperoleh apa yang dituju.
Mau tidak mau tugas dakwah mesti diperankan oleh setiap individu umat, dan tak terkecuali juga para Dai tak mencukupkan secara offline saja, tapi online pun harus tidak ditinggalkan. Sehingga para Dai tidak hanya menyandang sebutan “Dai sejuta umat” tapi saat ini juta diperlukan “Dai sejuta viewer”. Bukankah begitu?
Era digital telah mengubah cara masyarakat memperoleh wawasan. Tak terkecuali mendapatkan informasi keagamaan jika dulu bertanya pada ustadz di pengajian, sekarang mesin pencari yang menjadi rujukan. Di sinilah pegiat dakwah perlu mengambil peran. Ketiban tanggung jawab untuk mengarahkan agar para awan yang alami dahaga pengetahuan dan spiritual agar tak salah jalan.
Salah satu pilar kesuksesan dakwah harus bisa berbaur dengan situasi dan kondisi yang ada di suatu ruang dan waktu. Kalau kita menerka ulang masa lalu misalnya wali songo yang merupakan Dai yang sukses memasukkan nilai-nilai Islam moderat ke dalam nilai-nilai masyarakat yang sedang ngetren pada saat itu.
Misal dalam metode dakwahnya para wali songo waktu itu, untuk mengajak orang-orang Majapahit menyuruh ngaji bisa saja mereka frontal, tapi para wali mempunyai cara sendiri, karena pada waktu itu orang Majapahit sangat suka nonton wayang, maka para wali membuat Wayang kulit yang gepeng, pipih, bentuknya seperti bayangan manusia tapi bukan manusia. Ketika sudah berhasil mengumpulkan orang majapahit Wayang inilah yang dijadikan sarana dakwah, lakon-lakonnya berisi kalimat tauhid, seperti lakon Puntadewa Jamus Kalimasada yang menceritakan tentang dua kalimat syahadat dan ini berlanjut pesan-pesan Islam dititipkan dalam pagelaran wayang tersebut.
Kajian terhadap hal ini menjadi penting karena umat muslim Indonesia termasuk bagian pengguna aktif di dunia maya, dan data penggunaan internet dan aksesnya di Indonesia terus meningkat, media sosial memang dapat memberikan pengaruh negatif dan positif, demikian halnya dalam dakwah keagamaan.
Sebagai contoh, fenomena cyber muslim global dan wacana yang diproduksi termasuk khilafah nyatanya berdampak terhadap muslim Indonesia. Dari tahun ke tahun mulai abad 21, tren dakwah konservatif hingga radikal masih banyak berpengaruh, dan kontestasi dakwah baik sesama konservatif maupun dengan yang moderat nyata keberadaannya.
Jauh sebelumnya, Karen Armstrong pernah membuat pernyataan bahwa kesalehan militan atau fundamentalisme akan muncul di setiap tradisi agama besar pada akhir abad ke-20. Pada abad ke-20, memang diramalkan manusia menjadi lebih rasional dengan arus keterbukaan informasi, tetapi kenyataannya kaum fundamentalis melawan sekulerisme dan menempatkan agama di panggung utama di dunia modern.
Martin van Bruinessen pun pernah meramalkan bahwa lslam di Indonesia pada masa setelah tahun 2000 akan marak oleh Islam konservatif yang di antaranya mengarah juga pada radikalisme, sementara kaum muslim mainstream seperti NU dan Muhammadiyah kurang terlihat melakukan konter terhadap hal itu. Ramalan Amstrong dan Bruinessen ini tentu mengawatirkan, terlebih bertentangan dengan program diseminasi moderasi beragama yang terus digaungkan.
Dalam moderasi beragama pemerintah tidak lepas dari bantuan dan peran para ulama atau para Dai Indonesia. Akan tetapi, peranan para Ulama atau Dai moderat terutama di media sosial kurang terukur. Studi agama dalam internet sejauh ini dapat dikatakan menyajikan permasalahan terkait tiga hal.
Pertama, Agama telah termediasi dari realitas empiris menjadi realitas virtual, juga bahwa pembelajaran agama tidak selalu melalui tokoh atau ahli agama. Kedua, internet telah mengubah ruang agama menjadi demokratis sehingga publik dapat terlibat aktif dalam pembentukan makna realitas agama. Ketiga, agama menjadi alat propaganda sekaligus objek yang diproduksi dan dikonsumsi publik sehingga pemeluk agama dilibatkan dalam kepentingan sistemik media.
Sejauh ini, kajian yang memfokuskan pada produksi wacana keagamaan ulama moderat khususnya melalui media sosial/internet belum banyak dilakukan, yang ada semisal kajian pendahuluan yang masih umum tentang dakwah Ulama atau Dai moderat di media sosial ataupun kajian dengan perspektif kedaerahan.
Tulisan ini memberikan koreksi dan narasi wacana keagamaan moderat kepada pegiat media sosial, Dai atau ulama menjadi tantangan ‘’serius’’ untuk bisa mengcounter fenomena dakwah konservatif. Yang notabene digoreng di medsos dengan issue berbau suguhan komunisme, radikalisme dan etnosentrisme, sehingga ujung-ujungnya takfiri (gampang mengkafir-kafirkan), takbid (gampang membi’ah-bi’ahkan) Tasyrik (gampang mensyrik-syirikkan), dan tasykik (menanamkan propaganda, disinformasi, dan hoaks).