Press ESC to close

Tren “Intimate Wedding” Dikalangan Gen-Z, Bagaimana Islam Menyikapinya?

Animo pasangan untuk mengikuti program “nikah masal” yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama RI (Selanjutnya Kemenag RI) pada bulan Juni 2025 bisa dikatakan cukup tinggi. Bahkan pasangan yang mendaftar nikah masal melebihi kuota yang ditetapkan oleh Kemenag RI. Berbagai fasilitas ditawarkan Kemenag RI untuk menarik simpati pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan seperti biaya adminitrasi, mas kawin, rias pengantin, dan penginapan di hotel. Melihat suksesnya acara nikah massal, Kemenag RI melakukan inisiatif untuk menggelar nikah masal di seluruh Indonesia dengan berbagai fasilitas.

Mengingat animo pasangan yang mengikuti program tersebut yang tinggi, ini menjadi tanda bahwa gen-Z memang lebih menyukai acara pernikahan yang sangat sederhana dan praktis. Berdasarkan data pada tahun 2022, hampir 39% gen-Z lebih menyukai pesta pernikahan yang sederhana dan intim (intimate wedding), 30% gen-Z memilih untuk merayakan secara besar-besaran (luxury wedding). Sedangkan 31% gen-Z memilih untuk netral, yaitu karena melihat kondisi keluarga (Lihat, Goodstats, 2025 ).

Berdasarkan data yang tercantum dalam goodstats tahun 2024, pasangan memiliki keinginan untuk mengadakan acara resepsi pernikahan yang hemat biaya sebesar (78%), dan sederhana (72%). Bahkan terdapat pasangan yang menginginkan pernikahan intim ( intimate wedding ) sebesar (40%), pernikahan sederhana sebesar (34%), dan pernikahan besar (35%) (Lihat, Goodstats, 2025 ).

Melihat data diatas, perbedaan keinginan untuk melangsungkan resepsi pernikahan intim dan pernikahan besar tidak terlalu jauh. Akan tetapi ini menjadi indikasi bahwa dalam perspektif sosiologi, terjadi penerimaan tren dari masyarakat terkait dengan pernikahan intim (intimate wedding) yaitu resepsi pernikahan dengan skala kecil yang mengundang keluarga dan kerabat dekat sehingga menghemat pengeluaran. Pertanyaanya adalah bagaimana Islam menyikapi tren ini?

Hakikat Resepsi Pernikahan

Pada dasarnya Islam tidak mempersoalkan tentang model resepsi pernikahan (wedding reception) selama masih dalam koridor yang sesuai dengan norma atau aturan agama. Bahkan secara fikih beberapa ulama memiliki perbedaan padangan yaitu kelompok yang memandang wajib dan sunah mengadakan walimah. Akan tetapi mayoritas ulama lebih cenderung kepada hukum sunah (Lihat Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani, Subul as-Salam Juz 3, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2017), 158).

Kendati demikian, baik dipandang sunah atau wajib, ini menjadi indikasi bahwa respesi pernikahan (wedding reception) mendapatkan perhatian dari Islam. Hal ini juga menjadi indikasi bahwa pada hakikatnya resepsi pernikahan memiliki nilai maslahat atau dampak positif terhadap lingkungan sekitar.

Setidaknya ada dua hakikat resepsi yaitu; pertama, sebagai pemberitahuan bahwa pasangan tersebut sudah resmi terjalin ikatan kuat (mtsqan ghalīdhan). Resepsi pernikahan merupakan bentuk realisasi mengenalkan ikatan suci kepada kerabat ataupun khalayak umum bahwa pasangan sudah sah menjadi suami dan istri. Tentunya ini juga sebagai protektor jika terdapat pandangan negatif dikemudian hari.

Kemudian yang kedua, meningkatkan kepekaan sosial seperti halnya untuk mempererat tali silaturahmi. Tidak sedikit resepsi sebagai ajang reuni kerabat yang sudah lama tidak terjalin komunikasi. Bahkan bentuk kepekaan lainnya juga berupa solidaritas kepada kelompok rentan dengan memberikan bingkisan dan jamuan makan yang menggemberikan. Sebab sejatinya dalam konteks budaya resepsi diidentifikasi sebagai acara pesta yang didalamnya disajikan makanan untuk menjamu tamu undangan.

Melihat dua hakikat tersebut, bisa dinilai bahwa intimate wedding  yang sedang tren akhir-akhir ini tetap mengacu kepada hakikat resepsi pernikahan. Hanya saja secara kuantitas, tamu undangan hanya keluarga dan kerabat terdekat untuk meminimalisir pengeluaran. Mungkin ini yang diinginkan oleh gen-z yang memang memiliki kecenderungan yang sederhana minimalis dan efesien serta cenderung menolak komsumerisme berlebihan (less is more). Gen-z menganggap hidup minimalis mampu memberikan kebahagiaan karena akan mengasilkan sesuatu yang lebih baik (Lihat Vijay Kumar Jain, dkk, “ Minimalistic consumption practices and well-being among generation Z: exploring mediating role of satisfaction and happiness”,  Environ Dev Sustain , (2024).

Islam, Kesederhanaan, dan atau Sesuai Kemampuan

Mungkin saja, tren intimate wedding  juga merupakan bentuk perlawanan terhadap kristalisasi budaya pernikahan mewah (luxury wedding) yang mengakibatkan kegelisahan bagi pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan. Tidak sedikit pasangan yang terjerat hutang untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan. Sebab itu intimate wedding  bisa dikatakan sebagai anti tesis dari luxury wedding .

Lantas bagaimana Islam meresponnya? Dalam konteks ini, pada dasarnya Islam tidak mempermasalahkan respesi pernikahan dengan bentuk sederhana ataupun mewah. Islam mengembalikan kepada konsep “sesuai kemampuan” yang mana setiap orang memiliki kondisi berbeda-beda, baik secara ekonomi dan sosialnya.

Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. bahwa beliau pernah merayakan resepsi pernikahan dengan Ummi Salamah atau istri beliau lainnya dengan hidangan lebih sedikit daripada satu ekor kambing, dan resepsi pernikahan Rasul dengan Zainab dan Maimunah binti al-Haris hanya satu ekor kambing dan mengundang penduduk Mekah untuk mengadirinya. Bahkan penduduk kota Mekah merasa bahagia atas hidangan yang disajikan Rasulullah Saw. (Lihat Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani, Subul as-Salam Juz 3 , (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2017), 159).

Bekaca pada kejadian di atas, resepsi pernikahan disesuaikan dengan kemampuan pasangan. Tidak ada salahnya menyelenggarakan dengan model intimate wedding atau bahkan luxury wedding selama tidak melanggar aturan-aturan agama.

Akan tetapi yang perlu diingat juga bahwa Islam merupakan agama yang sangat mengapresiasi prinsip kesederhanaan (frugal living). Dalam konteks Islam sederhana lumrah direinterpretasikan dengan zuhud   yaitu tidak berlebihan dalam segala hal. Melalui Al-Qur’an, Islam telah mengajarkan prinsip kesederhaan yaitu larangan berperilaku berlebihan, baik dalam mengkonsumsi makanan ataupun gaya hidup, karena dianggap menyerupai tindakan setan. Tidak hanya itu, perilaku isrāf juga termasuk perilaku yang tidak disukai oleh Allah Swt. (Inna Allah lā yuḫibbu al-musrifīn).

Melihat hal ini, model intimate wedding  mungkin lebih diapresiasi oleh Islam mengingat dalam rangka menghindari tabzīr  dan juga isrāf dan selama tidak keluar dari hakikat resepsi pernikahan dan norma agama. Akan tetapi disisi lain, Islam juga tidak melarang perayaan pernikahan yang mewah yang memang sesuai dengan kemampuan.

Mohammad Fauzan Ni'ami

Akrab dipanggil Amik. Seorang santri abadi pegiat hukum keluarga, gender, dan disabilitas.

[Pesantren ID] hadir berkat kerja keras jaringan penulis dan editor yang terus menghadirkan artikel, video, dan infografis seputar keislaman dan pesantren. Dukunganmu, sekecil apa pun, sangat berarti untuk menjaga karya ini tetap hidup dan berkembang. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada para donatur yang telah berbagi rezeki — berkat kalian, Pesantren ID dapat terus menyebarkan pengetahuan dan inspirasi yang bermanfaat bagi banyak orang.

Donasi QR Code

(Klik pada gambar)

QR Code Besar

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

@PesantrenID on Instagram
Pengalaman Anda di situs ini akan menjadi lebih baik dengan mengaktifkan cookies.