Pada awal tahun ajaran seperti ini, pasti banyak santri baru yang mendaftar mondok. Tak terkecuali di Kwagean. Banyak wali santri dari berbagai daerah yang datang jauh-jauh ke Kwagean untuk mendaftarkan anak-anaknya. Mereka berangkat dengan harapan besar semoga anak-anaknya menjadi santri yang tekun, dan akhirnya menjadi anak yang saleh-salihah.
Karena di Kwagean banyak lembaga pendidikan baru, maka pasti akan menimbulkan pertanyaan, dimana mereka akan memondokkan anaknya. Kebingungan inilah yang mungkin bisa menjadi sumber masalah selanjutnya. Yaitu konflik kepentingan antar lembaga.
Beberapa tahun yang lalu, Yayasan Fathul Ulum, sebagai lembaga tertinggi yang mengayomi beberapa lembaga dibawahnya mempunyai pengaturan baku bagi para santri baru yang datang mendaftar. Namun pengaturan ini direvisi oleh bapak beberapa tahun belakangan ini. Setelah banyaknya anak lembaga baru, bapak membebaskan santri baru untuk memilih mondok dimana. Bapak berpesan:” wes arek anyar arep manggon nengdi ae sembarang. Sak krasane arek e (sudah, para santri baru itu mau mondok dimana saja terserah. Sebetahnya mereka)”. Sebuah filosofi sederhana namun mengena menurut saya. Karena memang pada zaman kini, anak mau mondok saja sudah alhamdulillah banget menurut saya.
Namun dalam kenyataannya, panitia pendaftaran berdasarkan instruksi yayasan, masih tetap mengatur sesuai dengan aturan yang lama. Ini bisa menjadi sumber masalah dikemudian hari bila tidak diputuskan bersama.
Meskipun masih ada perlunya perbaikan aturan dan koordinasi, namun saya pribadi sangat bersyukur sudah pernah diajari cara bersikap oleh bapak saya mengenai hal ini.
Sekitar tahun 2012 awal, saya kembali pulang kerumah setelah beberapa tahun mondok. Waktu itu saya sudah diingatkan oleh bapak tentang hakikat santri yang datang. Beliau selalu menekankan bahwa tak peduli betapa jumlah santri yang ikut mengaji, seorang guru harus tetap tandang mengajar. Pun bagi seorang pengelola lembaga pendidikan, tak peduli berapa pun santri atau murid baru yang datang, kita harus tetap serius mendidik mereka. Tak perlu risau dengan angka-angka jumlah santri baru, karena pada hakikatnya santri adalah rezeki.
Tak akan berkurang dan atau terkurangi oleh apa dan siapa.
“Santri iku rezeki, gak usah bingung lek sakitik. Tur gak usah mikir saingan (santri itu termasuk rezeki, tidak usah bingung atau susah bila muridnya sedikit. Juga tidak usah berfikir bahwa mencari murid itu sebuah persaingan)”. Dawuh ini alhamdulillahnya sudah diajarkan kepada saya, jauh sebelum ada Assalam. Waktu itu bapak ngendikan (berpesan) dalam rangka menyikapi jumlah santri baru di kwagean.
Beliau tidak susah bila sedikit, pun tidak terlalu euforia bila jumlah santri barunya banyak.
Saya jadi teringat tentang tradisi di pondok saya dulu, disana tidak diperkenankan membuat baliho untuk mengiklankan madrasahnya. Menurut pemahaman saya pribadi, semua itu berangkat dari keyakinan para pendiri madrasah, bahwa santri itu rezeki. Tak perlu sampai mengiklankan dibaliho besar, cukup dengan iklan dari alumni, dan bukti kualitas dari murid saja. Maka dengan sendirinya para murid datang mendaftar. Dan itu terbukti benar hingga saat ini.
Tak sedikit konflik yang terjadi antar madrasah, atau bahkan pondok pesantren karena masalah ini. Mereka berlomba dalam mendapatkan murid baru disetiap tahunnya. Karena bagi mereka, jumlah santri sama dengan jumlah keuntungan. Maka semakin banyak santri, otomatis akan meningkatkan keuntungan bagi lembaga. Terutama bagi pengelola. Ini sebuah kejadian yang bila difikir lebih dalam kurang elok terjadi. Terutama dalam sebuah pondok pesantren. Sebagai lembaga yang identik dengan agama Islam, tidak seharusnya mengedepankan materi dalam bersikap. Karena lembaga pesantren bertanggung jawab pada tarbiyatur ruh, atau pendidikan jiwa, maka selayaknya mengedepankan kebijakan ruhaniyah daripada material.
Sebagaimana mencari rezeki, kita dianjurkan untuk ikhtiar mencari, secara dzohir maupun batin. Yaitu dengan memperbaiki fasilitas, atau mungkin iklan yang menarik. Juga dibarengi dengan doa atau mujahadah bersama para pengurus. Namun kita tidak diperbolehkan untuk berlebihan dalam mengharapkan dan mengusahakannya. Dalam sebuah doa, yang paling penting adalah usaha kita mendekat pada yang maha kuasa. Adapun hasil, sudah selayaknya kita serahkan pada Allah saja.
Kita tak pernah tahu, bagaimana Allah mendatangkan rezeki-Nya untuk kita. Sebagaimana kita tidak tahu, bagaimana cara Allah mengetuk hati seorang anak atau orang tua dalam memilih sebuah pondok.
Beberapa hari yang lalu ada seorang calon santri yang kebetulan mau mondok disalah satu pondok besar di Kediri. Ketika ditanya kenapa memilih mondok disana, dengan yakinnya dia menjawab: ”saya memilih mondok disini, karena akun instagramnya centang biru. Ini bukti kalau pondok ini kredibel”. Saya yang mendengar cerita ini hanya bisa cengar-cengir sendiri, hahaha. Bahkan seorang mark zuckerberg pun bisa mempengaruhi seorang santri mondok dimana.
Inilah yang dimaksud dengan santri itu rezeki, tak perlu takut terkurangi, juga tak perlu rakus menambahi. Mari kita berdoa saja sebagaimana saya diajarkan berdoa oleh bapak saya: ”ya Allah, berikan saya rezeki sesuai dengan kadar yang mampu saya terima”.
Semoga kita selalu mampu memahami ruh, tak hanya tubuh, apalagi kulitnya saja. []