Dalam fase perkembangan manusia, terdapat fase yang selalu berkesinambungan dengan aspek sosial, moral, maupun religius. Fase ini disebut fase perkembangan remaja yang sangat rentan mengalami ketidak seimbangan, dimana jiwa seorang remaja akan dihadapkan pada dua hal, menemukan jati dirinya, atau membiarkan dirinya terombang-ambing dalam arus suatu lingkungan. Kebutuhan akan lingkungan yang sehat menjadi kebutuhan yang sangat penting demi terbentuknya jiwa yang utuh dalam memahami realitas sosial, baik secara internal maupun eksternal.
Pesantren sebagai miniatur masyarakat dengan keberagaman karakter,sifat, maupun latar belakang dinilai mampu menjadi dominasi kendali pada fase-fase perkembangan remaja. Dalam prosesnya, interaksi yang terjadi sesama santri dalam lingkungan pesantren secara tidak langsung dapat menjadi proses pembentukan karakter.
Dalam suatu metode pendidikan, terdapat salah satu metode yang disebut dengan peer education atau pendidikan sebaya, yaitu proses interaksi dan komunikasi dengan status umur dan kematangan diri yang tidak jauh berbeda dengan diri sendiri, sehingga tidak merasa enggan atau terpaksa dalam menyampaikan dan menerima suatu ide dan sikap.[1] Penggunaan istilah peer education memang masih terasa asing, namun penerapannya sudah terjadi di sekeliling kita, baik di kehidupan masyarakat secara umum maupun kehidupan pesantren secara khusus.
Ada tiga keutamaan yang terkandung dalam proses peer education. Pertama, konsep pendidikan yang memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mendampingi kehidupan remaja untuk menghadapi tantangan zaman. Kedua, pendekatannya yang sesuai dengan psikologi remaja pada umumnya, serta remaja santri khususnya. Ketiga, konsepnya mengandung multiplier effect, yaitu harapan dari hasil yang didapatkan dengan menularkan ketrampilan kepada teman sebaya lainnya. [2]
Dalam topik ini, yang disorot adalah remaja dengan fase perkembangannya, fase ini merupakan fase yang dipenuhi badai dan tekanan. Pada fase ini, seorang remaja akan mengalami ketidakstabilan emosional dalam dirinya. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku, pemikiran dan prinsip kehidupannya. Pada tahap ini, peran lingkungan menjadi persoalan krusial bagi pertumbuhan remaja.
Dalam pesantren, sebuah lingkungan yang sangat kental akan intisari agama memiliki banyak elemen yang terdiri dari Kiai, Santri serta elemen lain yang akan sangat mempengaruhi proses karakterisasi seorang santri. Di kehidupan pesantren, penerapan peer education ditunjukkan dengan adanya istilah yang biasa disebut ngemong, yaitu memberikan kepercayaan kepada santri senior untuk memberikan suri tauladan yang baik kepada santri junior, tidak hanya memberikan contoh, namun juga mendidik dan mengembangkan karakter santri.[3]
Pada aspek kehidupan pesantren, rutinitas seorang santri akan didampingi oleh santri senior, proses ini lambat laun akan menjadi proses interaksi positif yang dapat mempengaruhi perkembangan santri. Saat seorang santri merasakan ketidakstabilan emosi seperti gelisah dan bimbang terhadap sesuatu, maka santri senior diharapkan mampu mendengarkan, membina dan membantu memecahkan masalah tersebut. Hal ini tentunya menjadi proses penyerapan sikap, pola pikir dan keyakinan dalam diri seorang santri remaja untuk dijadikan karakter. [4]
Ketika fase remaja dikatakan sebagai fase yang penuh dengan kegoyahan, maka peran lingkungan akan sangat dibutuhkan dalam pengembangan karakter seorang remaja. Pencetakan karakter remaja juga akan didapat berdasarkan lingkungan yang pernah ia tinggali. Maka dari itu, tugas kita adalah memutuskan dan bertanggung jawab mengenai lingkungan seperti apa yang akan kita jadikan proses pengembangan jiwa dan diri kita.
Pesantren dengan segala implikasi dan peranannya telah dibicarakan oleh banyak kalangan. Apalagi jika pembicaraan ini keluar dari kalangan non pesantren, yang akan menjadi nilai lebih bagi pesantren sendiri. Hal ini menunjukkan adanya eksistensi pesantren yang telah mampu memberikan peran positif bagi kehidupan yang ada. Pada prinsipnya, pesantren selalu menekankan arti pentingnya tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yaitu mampu meningkatkan kemampuan pribadi. [5]
Jika kita menilik isu remaja, maka lingkungan pesantren merupakan lingkungan yang ramah akan hal itu. Mereka mendapatkan pembentukan watak karakteristik melalui pendekatan persuasif sesuai dengan pluralitas latar belakang mereka. Upaya pendekatan ini tidak lain adalah salah satu jalan menuju tujuan terbentuknya manusia yang qawiyyun aminun.[6]
[1] Deby Sinta Darise, Pengaruh Peer Education Terhadap Perilaku Kebiasaan Konsumsi Jajanan Pada Remaja di Kabupaten Gorontalo.
[2] Prof. Dr. Abu Yasid, M.A., LL.M., dkk, Paradigma Baru Pesantren (Yogyakarta, IRCiSoD, 2018).
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta, LKiS, 2011)
[6] Ibid.