Dalam beberapa tahun terakhir ini kita saksikan pertumbuhan yang cukup pesat pada kepustakaan Islam di negeri kita. Terlihat perkembangan yang sangat kentara, baik dalam jumlah, jenis kertas, maupun isi-isi buku-buku agama yang terbit dan beredar dalam masyarakat kita. Buku-buku tentang agama Islam memang merupakan komoditas yang cukup potensial untuk dikomersilkan, sampai-sampai seorang penerbit tua memberi nasehat kepada penerbit muda agar memusatkan usahanya pada penerbitan buku-buku genre tersebut, sebab pasti laku.
Tidak mengherankan apabila beberapa penerbit (baik lama maupun baru), seakan-akan berlomba dalam mencari naskah, baik karangan asli maupun karya terjemahan, untuk diterbitkan dalam rangka memenuhi tantangan kebutuhan masyarakat Islam akan literatur keagamaannya.
Untuk melihat lebih jelas betapa beragam buku-buku tentang agama Islam itu setidak-tidaknya kita perlu pergi ke dua tempat, toko buku dan toko kitab. Selain itu perlu pula dilihat buku-buku apa yang dijual oleh para penjaja buku, baik yang keluar masuk kampung demi kampung, yang menawarkan buku-buku di berbagai website maupun media sosial, atau yang menawarkan buku-buku di kaki lima dan jembatan penyeberangan.
Tatapan sekilas terhadap perkembangan kepustakaan Islam sebagaimana terlihat dari buku-buku atau kitab-kitab yang disajikan oleh tempat-tempat penjualan di atas, menyadarkan kita betapa mencolok perbedaan yang terdapat di antara dunia buku dan dunia kitab.
Buku-buku Islam seperti yang disinggung sebelumnya, memperlihatkan perkembangan yang semakin semarak. Sebaliknya kitab-kitab Islam yaitu kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Melayu klasik dan bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Sunda, bahasa Bugis dan bahasa Makassar, baik yang ditulis dalam aksara Arab-Melayu (Pegon) maupun aksara daerah seperti aksara Jawa dan aksara Bugis tidak lagi berkembang, bahkan terancam punah dan menghilang. Padahal kitab-kitab tersebut pernah mewarnai alam pemikiran Islam di kawasan Asia tenggara. Berangkat dari tatapan sekilas di atas, tulisan ini mencoba membicarakan dua hal masalah penulisan buku-buku baru dan masalah pelestarian kitab-kitab klasik.
Berinovasi dalam Penulisan Buku-Buku Baru
Pertama-tama mungkin buku-buku Islam dapat kita pilah-pilah dalam beberapa kategori yang masing masing mempunyai ciri dan sasarannya sendiri. Pada kelompok pertama kita lihat buku-buku Islam yang bersifat tadrisiyyah, yaitu buku-buku yang bersifat instruction yaitu buku buku yang mengandung petunjuk praktis, misalnya buku-buku tentang pelajaran shalat, manasik haji, pelajaran puasa, cara cara pemulasaran jenazah dan sebagainya. Buku-buku ini mempunyai konsumennya sendiri dan jumlahnya cukup besar, yaitu kalangan awam.
Menarik untuk dicatat bahwa buku-buku seperti ini tidak hanya berkembang jumlahnya, akan tetapi juga meningkat tempat penjualannya. Kalau pada beberapa waktu yang lalu kita saksikan di para pedagang kaki lima dan dibawa oleh para penjaja buku. Sekarang buku-buku itu mudah sekali kita temukan di toko-toko buku baik secara online maupun offline.
Kelompok kedua bisa kita catat buku buku Islam yang bersifat ta’limiyyah, yaitu buku-buku agama yang bersifat learning, buku-buku pelajaran dan pengetahuan, misalnya buku-buku yang memuat tentang dirasah Islamiyah seperti buku pelajaran agama Islam karya Hamka dan Islamologi karya Muhammad Ali, adalah contoh-contoh yang bisa disebutkan.
Begitu pula dengan buku-buku tentang pengetahuan ke-Islam-an pada umumnya dan beberapa hasil penelitian ilmiah (risalah al-jami’ah) berupa skripsi, tesis, dan disertasi juga masuk kategori kedua ini, seperti buku Islam syariat; reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia merupakan disertasi dari Haedar Nashir yang dibukukan, peminatnya cukup didominasi dari kalangan mereka yang sudah terdidik.
Kelompok yang terakhir adalah buku-buku Islam yang bersifat difa’iyyah yaitu karakter buku yang bersifat dakwah sekaligus bergaya apologi membela dan mempertahankan Islam dari kritik orang lain. Masuk dalam kategori ini ialah buku planning jundullah karya Said Hawwa.
Berkreasi dalam Pelestarian Buku-Buku Klasik
Pembahasan tentang penulisan buku-buku Islam agaknya lebih relevan dengan kelompok kedua. Sebab pengembangan dalam penulisan buku-buku Islam yang bersifat ta’limiyyah akan memberikan resonansi kualitatif yang bersifat positif terhadap buku-buku yang bersifat tadrisiyyah dan buku buku yang bersifat difa’iyyah. Dalam kaitan ini ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama-tama penulisan buku-buku Islam yang serius juga tidak asal jadi, tentu memerlukan kesungguhan dan perhatian penuh dari sang penulis. Penulisan seperti ini adalah karya profesional dan bukan sekedar kaya amatiran. Kepenulisan harus menjadi suatu profesi, penulis harus dapat hidup dengan hasil tulisannya, tidak hanya untuk hidup, tapi untuk melengkapi literatur kepustakaannya. Namun kondisi kita sekarang masih sangat jauh dari hal ini. Kepenulisan masih merupakan kerja sambilan dan karena itu hasilnya pun tidak memuaskan.
Kedua perlu tersedia sarana perpustakaan yang cukup memadai. Sayang sekali dalam masalah perpustakaan ini, perhatian pihak yang berwenang masih jauh dari yang diharapkan. Kita bisa melihat ini dari kondisi perpustakaan berbagai perguruan tinggi baik Islam maupun umum. Ketiga, terjaminnya kebebasan intelektual, pelarangan buku dan ketakutan membaca sebagaimana yang dilakukan pada buku-buku yang penulisnya berafiliasi pada sekte/pemahaman tertentu sebut saja: syi’ah, liberal, ataupun radikal-konservatif, mestinya tidak perlu terjadi. Kalaupun ada pihak yang menganggap terdapat kekeliruan, mereka bisa menulis buku/tulisan untuk membantah maupun mengkritik buku-buku yang dianggapnya keliru itu dan karena itu tidak perlu melarang, sebab bukankah dengan adanya aneka macam pandangan kita bisa belajar banyak?.
Seperti disinggung sebelumnya terkait kitab-kitab klasik yang terancam punah, yang dimaksudkan di sini ialah kitab-kitab Islam yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau bahasa-bahasa daerah lainnya. Dalam perkembangan intelektual Islam di Asia Tenggara umumnya dan Nusantara khususnya, kitab-kitab klasik tersebut pernah berperan sangat dominan.
Perkembangan dalam bidang bahasa, pemikiran dan pengetahuan ke-Islam-an telah mendesak kitab-kitab lama tersebut dan menempatkannya sebagai barang yang sudah tidak diperlukan lagi dan dibiarkan hilang dari khazanah intelektual kaum muslimin. Lebih lebih di negeri kita peniadaan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab-Melayu (Pegon) menyebabkan semakin jarang orang yang mampu membaca kitab-kitab klasik tersebut.
Meskipun usaha melestarikan kitab-kitab klasik kurang menguntungkan secara komersial. Namun bagi khazanah keilmuan Islam di negeri kita, usaha ini sangatlah penting. Tidak saja karena kitab-kitab itu pernah mewarnai salah satu periode dalam perkembangan Islam di Nusantara, akan tetapi juga karena di dalam kitab-kitab itu tersimpan kekayaan pengetahuan ke-Islam-an yang cukup besar, dan hal ini mestilah menjadi PR perguruan tinggi Islam maupun umum. Memang pelestarian kitab-kitab klasik itu pada tingkat pertama seyogyanya dilakukan sebagai kegiatan akademis apa yang telah dilakukan oleh Tudjimah, Simuh, Ahmad Baso, dan juga Oman Fathurrahman, hendaknya dijadikan titik tolak bagi penggalakan kegiatan-kegiatan akademis serupa, bukan hanya bagi para dosen, akan tetapi juga bagi masyarakat umumnya, sebagai bentuk usaha melestarikan khazanah intelektual Islam yang terancam punah. []