Islam adalah agama yang produktif. Telah terbukti banyak reformasi dalam berbagai bidang yang terinspirasi oleh ajaran agama Islam, mulai dari hal domestik-lokal hingga publik-global. Salah satunya adalah budaya literasi. Menulis merupakan perintah agama. Hal ini setidaknya berdasarkan beberapa alasan.
Pertama, menulis merupakan kewajiban dari Allah SWT bagi setiap muslim. Tentu muncul tanda tanya tentang statement tersebut. Bagaimana bisa menulis merupakan suatu kewajiban? Bukannya yang diperintahkan adalah membaca – iqra’ !? mari kita telaah. Perintah membaca – iqra’ adalah perintah yang memiliki cakupan dan dampak yang luas. Dari satu perintah itu, muncul beberapa kewajiban-kewajiban turunan. Menurut pemateri, ketika perintah membaca disyariatkan maka secara otomatis perintah untuk membuat bahan bacaan, menerbitkan dan mempublikasi bahan bacaan pun menjadi wajib.
Berkaitan dengan logika tersebut, terdapat satu kaidah fikih yang berbunyi “mā lā yutimmu al- wājib illa bihī fa huwa wājib”. Kaidah tersebut bermakna bahwa suatu hal yang apabila sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan merealisasikan hal tersebut, maka hukumnya juga wajib. Berdasarkan kaidah itu, menulis merupakan sebuah kewajiban karena untuk dapat melakukan pembacaan, sarana yang paling realistis adalah dengan menyediakan bahan bacaan berupa tulisan.
Kedua, menulislah agar dicintai Rasulullah Saw. Sudah barang tentu kita semua ingin dan saling berlomba-lomba untuk mendapatkan cinta nabi Muhammad Saw bahkan meski hanya sekali pandangan. Beliau Saw. pernah bersabda bahwa rasa cinta beliau diperuntukkan bagi segenap umatnya yang melaksanakan sunnahnya. Sebagaimana yang kita tahu bahwa belajar merupakan salah satu sunnah nabi Muhammad Saw. Bahkan dalam sebuah riwayat, dijelaskan barang siapa yang sedang menjalani proses studi, menimba ilmu maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.
Menulis merupakan salah satu kegiatan yang penting dan vital dalam proses belajar mengajar. Transformasi pengetahuan dalam kelas maupun halaqah keilmuan tidak akan maksimal tanpa adanya tulisan karena hal itu (tulisan) ibarat tali pengikat ilmu yang telah diterima. Sebagaimana kalam hikmah “mā hufiẓa farra wa mā kutiba qarra”. Sesuatu yang dihafal akan kabur sementara sesuatu yang ditulis akan tetap pada tempatnya. Maka sungguhlah para penulis tersebut amat beruntung karena dicintai rasulullah Saw.
Ketiga, menulis dapat memperlama durasi hidup kita. Tentu pembaca kembali bertanya-tanya. Bagaimana bisa dengan menulis dapat memperlama durasi hidup kita? Sedangkan sudah jelas dan gamblang disebutkan dalam al- Quran bahwa masa tenggang hidup kita sudah ditentukan dan kematian merupakan sebuah keniscayaan bagi seluruh insan. Perlu diketahui bahwa dengan menulis maka kita telah memperpanjang kontrak hidup kita di dunia meski usia telah habis masanya.
Seorang penulis dengan karyanya, dapat hidup dalam benak masing-masing pembacanya meski jasadnya telah ratusan tahun meninggalkan dunia. Sebutlah al-Ghazali dengan magnum opusnya – ihyā ‘ulūm al- dīn. Meskipun secara fisik telah wafat berabad-abad silam namun karyanya tetap hidup dan menginspirasi mayoritas umat muslim bahkan lintas agama di berbagai belahan dunia. Saya teringat dengan ucapan Pramoedya Ananta Toer bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Bahwa dengan menulis, interaksi kita untuk memberikan inspirasi tidak lagi dibatasi oleh usia.
Beberapa poin tersebut adalah secuil dari sekian banyak manfaat yang ada dalam tiap-tiap tulisan yang kita buat. Lebih lanjut, tidak kalah penting juga untuk menata niat kita agar supaya tulisan yang dihasilkan tidak hanya memiliki unsur kemanfaatan secara fisik saja tetapi juga bermanfaat secara spiritual. Kesamaan tulisan banyak orang tentang satu isu tertentu adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi kesan yang didapat sudah pasti berbeda tergantung dari ketulusan masing-masing. Setiap yang muncul dari hati, akan pula sampai ke hati. Oleh karena itu, menulislah untuk mendapat rida Allah SWT. Mari sempurnakan Islam kita dengan menulis. Wallahu A’lam. [HW]