Beberapa hari yang lalu, saya menonton film Seaspiracy. Film dokumenter yang dirilis Netflix belum lama ini. Saya merasa terpanggil untuk menuliskan ulasannya agar lebih banyak orang yang menontonnya (tidak bermaksud iklan). Disutradarai dan dinarasikan oleh produsen film Inggris Ali Tabrizi, film ini membawa kita berkeliling samudra di dunia untuk melihat bagaimana aktivitas ekonomi kelautan yang dilakukan oleh industry ikan menghancurkan ekosistem laut dan pada akhirnya akan berdampak pada manusia. Film ini hanya berdurasi satu jam setengah. Tapi jujur saja, saya menontonya hampir 2 hari. Film itu terlalu mengerikan untuk ditonton sekaligus. Apalagi untuk perasaan saya yang lembut.

Seapiracy menggambarkan bagaimana praktek penangkapan ikan komersial telah menimbulkan efek kerusakan lingkungan laut yang sangat fatal, padahal laut berkontribusi dalam menciptakan 85 persen oksigen yang kita hirup saat ini.  Seapiracy mengungkap sejumlah fakta mencengangkan yang dapat mengubah cara pandang kita terhadap makanan laut. Hidangan laut yang tersaji di meja untuk kita makan ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan, tapi berkelindan dengan berbagai ragam tindak kejahatan seperti penghancuran ekosistem laut, korupsi, konspirasi, perbudakan, dan bahkan pembunuhan.

Saat menangkap ikan untuk dijual di pasaran, industry besar menggunakan kapal yang sangat besar dan canggih sehingga dalam menangkap ikan, mesin-mesin itu seperti membuldoser lautan sehingga terjadi kasus tangkapan sampingan, atau tertangkapnya ikan dan spesies laut lainnya secara tidak sengaja. Jumlahnya kasus tangkapan sampingan mencapai 40 persen. Misalnya kapal ikan bermaksud menangkap ikan tuna, secara tidak sengaja, jaring kapal yang canggih dengan ukuran super besar akan turut menangkap ikan jenis lain, yang kemudian akan dibuang kembali ke laut dengan kondisi sekarat atau mati.  Statistik mengejutkan yang disimulasikan dalam film tersebut menunjukkan bahwa 50 juta hiu dan 100 ribu lumba-lumba menjadi tangkapan sampingan, padahal kedua jenis ikan ini sangat penting bagi ekosistem dan pelestarian laut.

Baca Juga:  LPBI NU Adakan Pelatihan Pengelolaan Risiko Bencana dan Luncurkan Film tentang Penanggulangan COVID-19

Di Eropa, ikan-ikan yang dipasarkan seringkali mendapatkan label “Dolphin Safe” yang meyakinkan konsumen bahwa ikan yang dijual merupakan hasil tangkapan dengan mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan, artinya tidak merusak laut dan aneka ragam hayati yang ada di laut termasuk lumba-lumba. Namun, label yang dikeluarkan oleh organisasi Dolphin Safe and Marine Stewarship Council tidak dapat memberikan jaminan apapun. Sutradara film bahkan menelusuri hubungan antara Dolphin Safe and Marine Stewardship Council dengan industri penangkapan ikan. Industri ikan ternyata merupakan donatur Dolphin Safe and Marine Stewardship Council.

David Phillips, direktur Proyek Mamalia Laut Internasional dari Earth Island Institute, memperkuat temuan ini dengan mengatakan industry dengan label “Dolphin Safe” justru bertanggung jawab atas angkat kematian lumba-lumba tertinggi dalam sejarah kapal penangkap ikan tuna yaitu pembantaian terhadap lebih dari 100.000 lumba-lumba setiap tahun.

Budidaya Ikan yang Tidak Sesuai Harapan

Pada iklan komersil produk ikan di Eropa, produsen budidaya ikan sering mengklaim lebih ramah lingkungan daripada penangkapan ikan di alam liar, karena tidak diambil dari populasi di alam liar. Namun yang tidak kita ketahui adalah beberapa spesies ikan budidaya diberi makan dari ikan tangkapan liar. Artinya, dibalik budidaya, mereka mendukung dan menjalankan praktik tangkapan sampingan untuk pakan ternak ikan mereka. Tidak sedikit ikan-ikan yang dibudidayakan mengalami sakit dan mati terbuang sia-sia. Ikan salmon yang secara fitrahnya merupakan ikan penjelajah, mengalami parasit kutu laut, anemia dan penyakit jantung saat dibudidayakan.

Jaring Penangkap Ikan

Jika kita seringkali resah atas penggunaan plastik termasuk kantong belanja dan sedotan sehingga kita mengurangi penggunaannya, itu merupakan niat mulia. Tapi sesungguhnya hal tersebut sama dengan upaya untuk mengurangi penggunaan tusuk gigi agar penggundulan hutan dapat dikendalikan. Relasi dan dampaknya dapat dikatakan nihil. Seaspiracy mengungkapkan bagaimana jaring penangkan ikan sebenarnya merupakan sumber polusi plastik yang paling besar yang hampir tidak pernah dibahas.

Baca Juga:  Film HATI SUHITA Tayang 25 Mei 2023 di Bioskop

Limbah sedotan faktanya hanya mencapai 0,03 persen dari total pencemaran plastik yang ada di laut. Fakta yang sebenarnya adalah jaring dan peralatan penangkap ikan merupakan pencemaran plastik dalam jumlah massif di lautan kita yaitu sekitar 46 persen dari limbah sampah plastik di lautan Samudra Pasifik. Jika diukur, panjang limbah jaring ikan bisa mencapai 500 kali putaran jika dililitkan pada planet bumi.

Perbudakan dan Pembunuhan Pekerja Kapal

Kita mungkin pernah mendengar tentang Blood Diamond, praktik perbudakan pekerja di pegunungan tambang berlian di Sierra Leone. Dimana sejumlah warga dipaksa menjadi budak dan sering kali berakhir tragis saat melakukan penambangan berlian yang dijual belikan dengan harga fantastis diseluruh dunia. Para bohir yang membelinya tidak sadar (atau mungkin sadar) bahwa berlian-berlian itu dihasilkan dengan menumpahkan darah para budak pertambangan.  Dalam industri ikan, praktik serupa juga terjadi dengan sebutan “blood shrimp”. Dalam Seapiracy, jurnalis lingkungan yang bernama George Monbiot mengatakan bahwa “blood shrimp” mendapatkan perhatian besar setelah adanya laporan mengerikan tentang pekerja paksa di Thailand untuk menangkap udang di laut. Seorang mantan nelayan yang diwawancarai dalam Seaspiracy menggambarkan bagaimana dia dianiaya, dipukul, diguyur air panas bahkan diancam dengan todongan senjata, jika mereka sakit dan tidak bisa bekerja saat berlayar. Sebagian dari mereka terjebak bertahun-tahun di dalam kapal, bahkan ada yang dipekerjaan paksa di kapal selama 6-10 tahun. Para mantan nelayan ini juga mengatakan adanya mayat nelayan yang disimpan di lemari es kapal penyimpanan ikan setelah dibunuh. Ada juga yang langsung dibuang ke laut.

Akhir kata, ada dua permintaan yang ingin saya sampaikan, pertama, jika mungkin, tontonlah Seaspiracy. Film ini dapat memberikan gambaran nyata bagaimana kejinya manusia dalam memperlakukan sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Betapa rakus dan semena-menanya industry ikan. Tonton dan bukalah mata hati dan batin kita. Kedua, belilah ikan dari nelayan kecil yang berangkat malam dan pulang pagi/siang dengan beberapa kilo tangkapan saja. Jumlah tangkapan yang tidak akan menghancurkan ekosistem laut, jumlah tangkapan yang sekedar untuk menafkahi keluarga dirumah dan bukan untuk menguasai perekonomian dunia. Kapal yang tidak menggunakan mesin dan jaring raksasa yang menggerus apa yang ada didalam laut. Kapal yang tangkapannya hanya akan memenuhi kebutuhan gizi kita tanpa menghabisi hak gizi anak cucu kita di masa mendatang. Selamat menonton!

Herni Ramdlaningrum
Manager Program The Prakarsa, Mahasiswa Crawford School of Public Policy, Alumnus The Australian National University

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini