Dewasa ini, sering kita mendengar banyak yang men-judge sembarangan
tak berdasarkan dalil, dalam hal ini tuduhan itu ditujukan kepada para ulama yang terlihat mempunyai hubungan erat kepada para pemimpin Negeri, mereka sebut ulama ini dengan istilah ulamanya penguasa ataupun ulamanya partai. Sungguh ini tidak dibenarkan, karena tugas ulama yang dekat kepada pemimpin sesungguhnya bertugas sebagai penasihat penguasa apabila salah dan mengingatkan mereka dalam ajaran islam sehingga terealisasikan hubungan yang harmonis antara umara dan ulama dan semua masyarakat.

Taat kepada pemimpin adalah sebuah kewajiban bagi masyarakat, dalil tersebut terdapat di dalam Alquran dan hadis di kutub sunnah. Dalam Alquran Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4]: 59)

Dalam ayat ini perintah wajib mentaati pemimpin termaktub dalam urutan ketiga, yang mana sebagai tabi’ atas dasar taat kepada Allah. Maka apabila pemimpin mengajak untuk tidak taat kepada Allah kita boleh untuk tidak mentaati perintahnya dengan selalu berbuat baik untuk diri sendiri dan orang lain, dan apabila ingin menegurnya, islam telah menjelaskan bagaimana cara menegur sesuai syariatnya.

Adapun hadis yang memerintahkan ketaatan kepada pemimpin walaupun ia zalim salah satunya terdapat dalam Shahih Muslim :

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

Baca Juga:  KH Ahmad Hanfiah: Sang Syahid dari Lampung

Dari Alqamah bin wail al Hadrami dari ayahnya ia berkata : Salamah binti Yazid Al Ju’fi bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Ya Rasulullah, bagaimana jika terangkat di atas kami pemimpin pemimpin yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah anda memerintahkan pada kami? Pada mulanya beliau mengabaikan pertanyaan itu, hingga beliau ditanya yang kedua kalinya atau ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menarik Al Asy’ats bin Qois dan bersabda: Dengarlah dan taatlah kamu sekalian (pada mereka), maka sesungguhnya di atas mereka ada tanggung jawab/kewajiban atas mereka sendiri dan bagimu ada tanggung jawab tersendiri.” (HR Muslim).

Hukum taat kepada pemimpin adalah sebuah kewajiban kita sebagai masyarakat bernegara, walaupun ia tetaplah manusia yang terkadang juga memiliki kesalahan. Dan cara mengingatkannya pun harus selalu dengan baik dan sopan sehingga tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar. Semua aturan ditujukan untuk menciptakan kedamaian, karena sesungguhnya Rasulullah Saw selalu ingin melihat umatnya dalam kedamaian.

Dan ulama sebagai pewarisnya, selalu memiliki peran besar dalam kedamaian itu, terkadang memiliki terobosan suatu masalah yang lebih baik dan lebih menciptakan kedamaian. Namun kita tergesa gesa, belum memahami yang nyata,  sehingga yang terjadi hanyalah kesalahfahaman belaka, tanpa adanya kejernihan dalam berfikir.

Siapakah ulama penjilat penguasa?

Sesungguhnya hubungan antara ulama dan pemimpin adalah hubungan komplementer yang bersifat saling melengkapi, dan juga hubungan tanaasuh yaitu saling menasihati. Semuanya mempunyai peran untuk menciptakan kedamaian dan kemaslahatan. Pemimpin membina negara dan seluruh region di dalamnya juga untuk masyarakatnya, begitupun ulama dengan meningkatkan intelektual keilmuan dan juga mencetak generasi unggul masa depan. Semuanya saling bersinergi melengkapi satu sama lain, bersatu dalam naungan tujuan kebaikan.

Baca Juga:  Tiga Ulama Pentashih Kitab Nailul Masarrat Karya KH. Ahmad Basyir Kudus

Salah satu yang sering dituduh oleh sebagian pembencinya sebagai ulamanya penguasa adalah Mufti Agung Mesir dan dewan anggota ulama senior al Azhar yaitu Syeikh Ali Jum’ah, dalam salah satu wawancara di stasiun televisi Syeikh Ali Jum’ah menjelaskan siapa sebenarnya yang sering dimaksud dengan istilah ulama sulthan atau ulamanya penguasa itu?

Beliau menjawab dalam bahasa amiyah Mesir yang dalam intinya menerangkan :

“Ulamanya penguasa adalah ulama yang dalam fatwanya disetir oleh penguasa, membuat hukum khusus untuk segelintir orang, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, atau bisa dikatakan ulama tersebut dikuasai dalam ilmu dan dirinya untuk berfatwa sesuai keinginan penguasa.”

Mari kita lihat, siapakah ulama kita yang tega seperti itu? Dan adakah buktinya? Banyak ulama terdahulu yang telah banyak membahas hal ini, salah satunya al Imam As-Shuyutyhi dalam kitabnya Ma Rawahu al-Asatin fi Adami al-Maji’i ila al-Salatin yang mengumpulkan banyak hadis di dalamnya membahas masalah ini.

Dalam hal kedekatan dengan pemimpin Syeikh Sālih ibn Mutrān Bakran Bāmaʻbad. Dalam kitabnya Ka’s al Rahiq, merupakan komentar terhadap kitab Sullam at-Taufiq karya Imam Abdullah Bin Husain bin Tahir al Hadrami. Beliau mengecualikan untuk bentuk kedekatan kepada pemimpin, dikatakan dalam kitabnya :

إلا لحاجة أو ضرورة أو مصلحة دينية راجحة على المفسدة, إذا كانت نيته حسنة صالحة

(Dianjurkan untuk tidak dekat kepada pemimpin) Kecuali dengan hajat atau urgensi atau maslahat keagamaan  yang dominan menyebabkan kerusakan, apabila niatnya baik dan benar.

Ulama salaf sendiri banyak berbeda dalam menentukan sikap beliau dalam mendekati penguasa, ada yang dekat dan ada yang tidak. Semua karena kadar kemampuannya, jika dirasa tidak mampu untuk mengingatkan penguasa dalam kebaikan dan menasihatinya untuk selalu mengingat Allah, maka mereka memilih menjauh dan tidak mendekatinya. Dalam hal ini kita temukan ada beberapa salaf yang mencontohkan : Imam Hasan al Bashri, Imam Sufyan atsauri, Imam Hanafi dan juga Imam Ahmad dan banyak ulama lainnya. Ada juga sebagian salaf lainnya dekat dengan penguasa di masanya dengan tujuan mengingatkannya dalam kebaikan dan mengingat Allah. Diantaranya : Tabiin agung dan menteri di zamanya yaitu Raja’ bin Haiwah, juga ada Imam As-Sya’bi, Imam Azzuhri dan Imam Malik. Semuanya ikut andil untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.

Baca Juga:  Kenangan Mas Muhammad Abid Muaffan bersama KH. R. Muhammad Najib Abdul Qadir Munawwir Krapyak

Maka setelah kita membaca tulisan ini, yang harus kita lakukan adalah selalu taat kepada pemimpin, apabila salah maka sampaikanlah kritikan dengan sopan santun sesuai prosedur yang ada. Tidak setuju dengan suatu keputusan pemimpin adalah hal yang wajar, namun juga harus disampaikan dengan cara yang baik dan benar. Dan yang terpenting adalah berbaik sangka kepada seluruh pemimpin dan ulama kita, selalu mendoakannya untuk tercapainya kedamaian di bumi pertiwi tercinta.

Semua ulama memiliki peran masing-masing, ada yang tidak dekat dengan penguasa dengan tujuan menghindari fitnah yang ada, tetapi selalu mendoakan dan mendukung pemimpin agar terciptanya kedamaian bagi masyarakat, dan ada yang bertugas dalam pemerintahan dengan mengambil peran sebagai penasihat apabila pemimpin salah, pengingat untuk selalu berpegang teguh dengan ajaran Allah yang Maha Kuasa. Adapun cara yang diajarkan Islam dalam mengingatkan penguasa dengan penuh kedamaian akan saya tulis dalam kesempatan yang akan datang. [HW]

Ade Rizal
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin al Azhar Kairo Mesir, Pondok Modern Gontor, Tabarukan di Lirboyo,Pondok Kwagean Kediri, Pondok Hamalatul Qur'an Jombang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini