Ulama Indonesia di Era Milenial: Tantangan, Peluang, Harapan

Islam dan moralitas adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Terdapat banyak statemen islam yang menyebutkan betapa moralitas adalah elemen yang sangat penting bagi misi islam. Yang paling populer sudah barang tentu pernyataan Rasulullah bahwa beliau diutus untuk meyempurnakan akhlak manusia. Moralitas adalah kunci utama yang akan berfungsi sebagai tumpuan mendasar bagi perwujudan kesejahteraan manusia. Jika hal ini berfungsi dengan baik atau mengalami kerusakan maka kondisi itu sepenuhnya mengendalikan seluruh tindakan anggota tubuh yang lainnya. Rasulullah mengidentifikasikan organ ini ke dalam redaksi: “Ala, wa hiya al-qalb” (ingat, ia adalah hati). Karena pembahasan ini bukan dalam konteks lahiriyah saja, kita dengan mudah dipahami bahwa yang dimaksud organ hati adalah organ moral.

Diantara sekian masalah yang terkemuka, adalah tumbuhnya dikotomis antara seorang peserta didik pesantren (santri atau kiai) dengan lembaga klasikal, atau madrasah umum dalam pengertian populer (siswa, mahasiswa, guru, atau dosen). Dikotomi ini akan merujuk pada individu yang telah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi. Jika mengharapkan skala yang ideal, salah satunya harus mampu mewujudkan harapan yang sebenarnya yaitu seperti perspektif Imam Ghazali, ulama antara lain harus mampu memahami problematika masyarakat (faqih fi mashalih al-khalq) dalam ukuran yang paling sederhana sekalipun. Pengertiannya kurang lebih sama seperti istilah cendekiawan atau intelektual islam. Dengan demikian ia akan lebih dekat dengan pengertian ‘alim daripada ‘amil.

Tantangan dan Peluang

Zaman modern seperti sekarang ini, ukuran maju tidaknya suatu bangsa justru diukur dari penguasaan bangsa itu terhadap IPTEK. Teknologi telah mengantar manusia menuju berbagai kemajuan, yang umumnya identik dengan kemudahan, meskipun tidak dapat disangkal, ia juga membawa serta berbagai masalah baru yang berkenaan dengan filosofi dan paradigma umum dalam menilai dan menyikapi kehidupan. Salah satu tantangan ulama di indonesia secara global, adalah mampu menaklukkan teknologi dengan baik. Apa yang menerpa islam saat ini harus kita sikapi bersama dengan baik. Tantangan ulama sekarang ialah mampu mengembangkan masalah ke-Indonesia-an secara global, tidak hanya fokus pada bidang keagamaan saja. Pendidikan pesantren misalnya, hanya menaruh perhatian serius pada disiplin ilmu yang dianggap mengembangkan karakter keagamaan santrinya. Memang pernah ada eksperimen untuk memasukkan “eksperimen profesional” sebagai bagian resmi kurikulum pesantren, sayangnya belum ada tanda tanda pemikiran eksperimen tersebut dapat diterima dengan baik.

Baca Juga:  Menjadi Kyai di Zaman ‘Artificial Intelligence’

Sementara itu, dalam masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai individualistik, pendidikan hanya diarahkan hanya untuk memenuhi pesanan dunia industri akan tenaga terampil. Maka, dalam konteks ini, pendidikan hanya dijadikan instrumen industrialisasi. Ulama harus mampu merubah pola pikir yang mengarah ke salah satu tujuan saja, seperti materialistik. Secara internal, tantangan ini sebenarnya muncul karena perkembangan zaman yang sudah tidak bisa dipungkiri. Apa yang terjadi saat ini adanya internet, sumber daya yang bersinggungan dengan ruang dan waktu, mampu menambah tantangan tersendiri bagi ulama.

Era digital adalah tantangan komprehensif yang belum mampu dihadapi umat muslim dengan pemikiran yang kompetitif, ditambah lagi pemahaman tentang islam yang rahmatan lil alamin sudah bergeser dari esensinya. Banyak masyarakat belajar secara instan dengan menerima informasi secara singkat tanpa menelaah sumbernya secara akurat. Mereka menerima pengetahuan islam lewat dai yang sudah masyhur dikalangan media sosial, tanpa melihat kapasitas ilmu yang dimiliki, asal mampu merangkai kata-kata dan menyampaikan materi ayat al-Qur’an maupun Hadis, dengan sedikit kemampuan berbicara, sudah sah menjadikannya sebagai dai maupun pendakwah. Anomali yang begitu besar ini membuat profesi dai menjadi absurd. Keadaan seperti ini membutuhkan peran dan sikap ulama maupun cendekiawan muslim untuk merumuskan dan menyusun bagaimana strategi dakwah islam secara benar, maksimal, efektif, efisien dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi menyasar generasi milenial.

Tidak cukup di situ, tantangan ulama dalam mengentaskan perekonomian, mengatur perpolitikan, dan pendidikan di Indonesia sudah semakin jelas, melihat kondisi bangsa sekarang ini yang sedang menghadapi era globalisasi dan perubahan zaman.

Dalam bidang politik misalnya, ada yang membawa isu agama maupun budaya untuk menyudutkan suatu kelompok supaya tertindas. Sudah barang tentu ini akan menimbulkan perpecahan bangsa bila dibiarkan. Peluang dan peran ulama untuk mendamaikan dan mendinginkan suasana sangat besar dan dibutuhkan, melihat ulama sekarang ini menjadi penentu para pengikutnya dalam hal perpolitikan. Tugas ulama ialah mengatur dan menyampaikan pemahaman siyasah atau perpolitikan secara fiqh islam yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu; siyasah dusturiyah (hukum tata negara), siyasah dauliyah ( hukum politik yang mengatur hubungan internasional), serta siyasah maliyah (hukum politik yang mengatur keuangan negara).

Baca Juga:  Berhenti Berharap

Dalam bidang ekonomi, peran ulama ialah menuangkan gagasan ekonomi syari’ah  berbasis kerakyatan untuk menguatkan ekonomi nasional yang sudah ada. Hal ini secara perlahan akan mampu mengentaskan kemiskinan, tetapi ini memerlukan sosok penggerak yang konsisten memperhatikan betul keadaan masyarakat. Kekuatan ekonomi sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan wibawa suatu bangsa. Dengan ekonomi yang kuat dan stabil, satu negara dapat membantu negara lain, memajukan negara lain, dan mempunyai daya tawar politik terhadap negara lainnya.

Adapun dalam hal pendidikan di indonesia, materi dan nilai-nilai agama islam serta paham kebangsaan menjadi titik fokus saat ini, melihat banyak faham radikal maupun ekstrim yang telah menyebar di mana-mana. Dalam perjuangan fisik, ulama harus mampu memunculkan dan menanamkan jiwa hubbu al-wathan  juga mampu memobilisasi para alumni untuk ikut melawan kaum kolonialis maupun musuh-musuh negara Republik Indonesia dari dalam maupun luar negeri, juga mampu mendinamisir peserta didiknya agar mampu bergaul dengan sesamanya, dengan alamnya untuk memanusiakan dan menggugah serta memobilisir mereka bahwa ketidakberdayaan adalah merupakan akibat suatu keadaan atau peristiwa kemanusiaan yang dibentuk oleh manusia dan dapat diatasi oleh manusia pula.

Peluang besar yang bisa didapatkan ialah memanfaatkan teknologi modern ini, dengan cara dakwah publik lewat media sosial, internet, dan lainnya di dunia maya yang memiliki jangkauan sangat luas. Kesempatan sangat terbuka untuk menyelesaikan permasalahan di indonesia baik secara internal maupun eksternal, dari penyalahgunaan teknologi yang mudah menjerumuskan generasi milenial sekarang ini ke arah negatif.

Harapan

Indonesia mengharapkan generasi milenial sekarang ini, untuk ikut andil mewujudkan visi pemerintahan. Para ulama, terkhusus ulama muda sekarang, agar mengembangkan keilmuan yang dimilikinya, serta lebih mengedepankan dan memahami problematika masyarakat secara luas, dengan berfikir ke depan. Konflik horizontal telah terjadi di mana-mana, dan banyak negara yang menaruh harapan di Indonesia. Maka manfaatkanlah peluang ini agar negara aman, tentram, dan sejahtera. Sudah saatnya mencurahkan tenaga pikirannya dan ikut mengatur masyarakat secara luas. Bangsa ini memimpikan Indonesia yang baru, yang harus lebih baik dari masa lalu. Untuk mewujudkan mimpi ini, semua orang khususnya generasi muda milenial ini harus aktif dan konsisten dalam upayanya mewujudkan mimpi bersama ini, dan pada saat yang sama harus mengubah sikap mereka sendiri. [HW]

Badruzzaman
Santri Pesantren Maslakul Huda, Pati.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini