Ujian Cinta Putri Sulung Rasulullah SAW

Kisah cinta yang mengharukan terjadi kepada Zainab binti Muhammad SAW, ia merupakan putri sulung Rasulullah SAW dan Siti Khadijah. Ia menikah dengan Abu al-‘Ash bin Rabi’ yang merupakan putra dari Halah binti Khuwailid yang merupakan saudara perempuan Siti Khadijah. Selain merupakan keturunan terhormat, ia juga terkenal memiliki kepribadian yang baik. Pernikahan mereka terjadi sebelum Rasulullah SAW menerima wahyu. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua orang anak, anak pertama mereka bernama Ali bin Abu al-‘Ash dan anak kedua bernama Umamah binti Zainab.  Mereka berdua sangat mengasihi dan mencintai satu sama lain. Mereka menjalani rumah tangga dengan penuh kebahagiaan. Kehidupan pernikahan mereka ibarat kehidupan pernikahan impian setiap orang.

Tibalah waktu Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah swt dan saat itu pula cinta mereka diuji. Zainab yang mendapatkan hidayah mengikuti ajaran Rasulullah SAW dan ia termasuk orang yang beriman. Namun, sang suami agar tidak dianggap berkhianat nak terpaksa ia tetap teguh kepada ajaran nenek moyangnya dan tidak mengikuti agama Islam. Saat itu belum turun Wahyu dari Allah SWT tentang larangan menikahi beda agama (non muslim). Kehidupan rumah tangga mereka sudah tidak sama, tidak sebahagia sebelumnya dimana saat ini ditengahi oleh perbedaan agama. Sementara itu, perlawanan dari kaum Quraisy semakin menjadi, kaum Quraisy melakukan pemboikotan terhadap semua yang memeluk agama Islam. Zainab selalu mendoakan ayahnya beserta saudara-saudara dan para sahabat muslim agar selalu dalam perlindungan Allah SWT. Hingga kurang lebih tiga tahun lamanya, catatan pemboikotan akhirnya berhasil hancur. Namun tak lama setelah itu, kabar duka menyelimuti berturut-turut dimana sang paman, Abu Thalib, berpulang ke Rahmatullah dan tiga hari sang ibunda Siti Khadijah menyusul sang paman.

Baca Juga:  Hakikat Mencintai Rasulullah, Mampukah Dijangkau Logika?

Setelah itu, Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabat yang beriman melakukan perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah, tetapi tidak dengan Zainab, ia masih di kota Makkah bersama sang suami tanpa mengetahui peristiwa hijrah tersebut. Tak lama dari itu, terjadilah perang besar antara kaum muslimin dan kaum musyrikin pun pecah dalam perang Badar. Abu al-‘Ash ditarik dalam pasukan kaum musyrikin yang berarti ia harus berperang melawan ayah mertuanya sendiri. Perang ini melibatkan 313 pasukan kaum Muslim dan 1000 pasukan Quraisy. Zainab sangat dilema, ia sangat mencemaskan keselamatan ayahandanya beserta kaum muslimin yang lain dan di sisi lain ia juga mencemaskan keselamatan sang suami. Kemudian terdengar kabar bahwa kaum muslimin memenangkan peperangan ini, dan sang suami tertangkap menjadi tawanan perang di Madinah.

Zainab yang mendengar hal itu pun hendak menebus sang suami dengan menyuruh saudara laki-laki Abu al-‘Ash membawa harta dan juga kalungnya, dimana kalung tersebut merupakan peninggalan hadiah pernikahannya dari almarhumah sang ibunda Siti Khadijah. Rasulullah SAW yang melihat kalung itu langsung teringat akan sang istri tercinta. Beliau pun bertanya kepada sahabat akankah sahabat mau membebaskan Abu al-‘Ash untuk Zainab dan mengembalikan tebusannya (kalung), pada sahabat menyetujui hal tersebut. Pada saat itu pula turunlah perintah larangan menikah beda agama. Rasulullah SAW pun membebaskan Abu al-‘Ash dengan syarat, ia akan melepaskan Zainab untuk mengikuti beliau hijrah ke Madinah dengan maksud melepaskan Zainab, Abu al-‘Ash menyetujui persyaratan itu. Setibanya di Makkah, dengan berat hati Abu al-‘Ash menyuruh Zainab untuk berhijrah. Zainab pun dengan berat hati pula harus meninggalkan suami tercintanya. Nasib malangnya tidak hanya sampai disitu, pada saat itu Zainab mengandung dan dalam perjalanannya ke Madinah, ia dihadang oleh kaum musyrikin sehingga ia terjatuh dari unta yang ditungganginya dan menyebabkan kandungannya mengalami keguguran. Setelah melewati perjalanan yang begitu sulit, ia pun akhirnya sampai di Madinah dengan bekas darah yang masih ada akibat keguguran.

Baca Juga:  Aisyah (Radhiyallāhu Anha): Wanita Istimewa Pendamping Rasulullah

Sudah enam tahun kedua insan terebut terpisah, hingga pada suatu hari, Abu al-‘Ash memimpin  kafilah dagang dari Syam. Namun, untuk kedua kalinya pula rombongannya dihadang dan seluruh hartanya disita eh kaum muslimin. Beruntungnya Abu al-‘Ash berhasil lolos dan ia pun menuju ke rumah Zainab, ia meminta perlindungan kepada Zainab. Zainab yang memang pada dasarnya sangat mencintai suaminya pun akhirnya menyanggupi permintaan tersebut. Ketika kaum muslimin sedang shalat berjama’ah, ia menyerukan bahwa Abu al-‘Ash mendapatkan perlindungan darinya. Abu al-‘Ash dan rombongannya pun dibebaskan dan seluruh hartanya juga dikembalikan. Setelah mengantarkan rombongan kafilah ke Makkah, ia pun mengucapkan syahadat dan menyatakan diri masuk Islam. Kemudian Abu al-‘Ash pun dengan segera kembali ke Madinah untuk menemui istri yang sangat mencintainya, Zainab.

Genaplah sudah rasa sakit dari perpisahan yang mereka alami. Mereka akhirnya hidup bahagia dengan keimanan yang sama, agama Islam. Namun, hanya satu tahun pertemuan mereka setelah enam tahun berpisah. Mereka berpisah untuk selamanya, Zainab telah dipanggil di sisi Allah SWT setelah menderita penyakit yang begitu lama akibat keguguran yang ia alami di tengah padang pasir dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah. Mereka dipisahkan oleh agama dan dipersatukan pula oleh agama. []

Syndi Gabriella Ting
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini