Toleransi yang Presisi Sebagai Sikap Moderat yang Tepat

Untuk menyeimbangkan sesuatu kita tidak harus selalu membagi sama panjang atau sama besar di kedua sisi yang akan kita timbang, karena bisa jadi tingkat kepadatan benda berbeda atau masa jenis bendanya memang berbeda jauh bila materi penyusunnya tidak sama, itu bila dalam hukum fisika. Dalam hal kehidupan sehari-harinya khususnya yang menyangkut agama atau keyakinan, kita pun bisa menerapkan hukum fisika tersebut agar sikap kita dapat presisi. Alih-alih kita ingin bersikap moderat malah kita bisa bersikap berat sebelah bila tidak mengenali persoalan yang akan kita timbang nanti.

 Pada awal tahun 2020 Wahid Institut merilis hasil survey yang meyebutkan bahwa Intoleransi-Radikalisme cenderung mengalami kenaikan. Menurut lembaga survey tersebut ada 0,4 persen atau sekitar 600 ribu dari 150 juta warga Indonesia remaja sampai dengan dewasa yang terpapar paham radikal. Balita tidak masuk dalam survey karena balita dianggap tidak mungkin melakukan tindakan radikal. Seperti itulah singkatnya berita dari Media Indonesia versi daring yang dipublikasikan pada tanggal 18 Januari 2020 yang lalu. Entah apa saja yang dijadikan acuan “radikal” tersebut, yang pasti isu intoleransi di Indonesia oleh media arus utama tanah air disebut-sebut semakin memprihatinkan.

Seperti yang sudah disinggung pada paragraf pembuka tentang sikap yang presisi, bila kita mau melakukan komparasi kejadian demi kejadian di berbagai wilayah dengan kaca mata yang objektif tanpa sentimen apapun, sebenarnya isu intoleransi itu sendiri tidaklah semenakutkan seperti yang ramai dipemberitaan. Gesekan antar kelompok umat beragama memang benar ada terjadi, akan tetapi ada latar belakang sosial atau konflik kepentingan lain yang melatarbelakanginya. Bila kita bisa melihat lebih luas secara utuh dalam bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke, maka kejadian “gesekan” antar umat beragama yang murni dipicu karena keyakinan boleh dibilang sangat sangat sedikit terjadi.

Baca Juga:  Menelusuri Jalan Sunyi Petapa Katolik

Kenapa kemudian penulis menghubungkan dengan hasil survey soal Intolerani-Radikalisme pada paragrap kedua di atas? Karena sikap moderat dalam beragama selalu dipandang sebagai antitesa dari pemikiran yang konservatif juga fundamentalis, padahal menurut penulis konflik karena intolerani itu hanya salah satu sebab kecil saja. Atau bisa jadi para pengamat kurang presisi dalam mengambil sudut pandang karena tergesa-gesa atau bisa juga minim informasi.

Sikap moderat yang kurang presisi menurut penulis bisa berisiko menjadi berat sebelah, dan malah justru memperkeruh suasana. Sebagai contoh adalah ketika pernah seorang ustadz yang dalam ceramahnya menyinggung keyakinan agama lain. Yang justru ramai-ramai mempersoalkan adalah sebagian kelompok umat Islam sendiri. Alih-alih mereka membela agama lain yang disinggung oleh si penceramah, malah yang ada timbul gap atau dua kutub yang pro dan kontra.

Yang pro beralasan bahwa merupakan suatu kewajaran bila dalam agama tertentu pemuka agamanya berceramah kepada jamaah bahwa agama yang dianut adalah yang benar, dan agama lain adalah salah. Selama ceramah itu terjadi di majlis mereka sendiri bukan di depan umum maka itu adalah sah-sah saja. Kemudian yang kontra dan mempersoalkan ceramah yang dianggap terlalu fundamendalis dan intoleransi itu tetap saja salah, karena di era digital ini rekaman ceramah tersebut bisa menjadi konsumsi publik.

Kecenderungan sikap moderat yang porsi kritiknya terhadap pemikiran fanatisme lebih banyak dibanding kritiknya kepada pemikiran yang liberal sangat berisiko memperbesar gap atau jurang pemisah antara kelompok, karena mereka yang masih atau memang secara sadar memilih memahami agama secara konservatif merasa tidak dibela dan menganggap kelompok moderat adalah musuh ideologinya juga.

Pemikiran dan sikap yang moderat harus bisa merangkul semua kelompok. Memberikan tambahan wawasan kepada mereka yang masih sempit pemahaman, dan menyadarkan mereka yang terlalu bias dalam pemikiran. Sikap moderat tidak akan pernah bisa berhasil menjadi penengah bila memihak pada salah satu: boleh atau tidak, benar atau salah, wajib atau haram. Sikap moderat harus selalu mengampanyekan sekaligus mengedukasikan toleransi yang presisi. Toleransi yang menerima perbedaan atau pilihan pemikiran, sekaligus mengajarkan cara-cara yang elegan untuk mengekspresikan keyakinan dan sikap yang berbeda. []

Ayu Wulandari
Mahasiswa Institut Pesantren Matholi’ul Falah Purworejo Jawa Tengah

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini