game sejarah

Guna melengkapi kekurangan mata pelajaran (mapel) Sejarah Indonesia di tingkat SMA/MA, kurikulum 2013 (Kurtilas) menyediakan mapel Sejarah Peminatan untuk mengisi kekosongan tersebut. Misal dalam KD 3.8 & 4.8 berkaitan akar Nasionalisme, dan KD 3.10 & 4.10 mengenai strategi pergerakan nasional, sebenarnya di kelas XI berpeluang besar untuk menjelaskan peran NU dalam narasi sejarah di sekolah yang tidak dijelaskan mata pelajaran sejarah Indonesia.

Bahkan untuk memperkuat argumen bahwa masyarakat Islam di Indonesia tidak sepenuhnya mendukung gerakan Pan-Islamisme yang bersemi pada awal abad ke-20 seperti dalam KD 3.5 &4.5 yang menjelaskan mengenai timbulnya ‘faham-faham besar’ (baca: Ideologi),–keputusan NU untuk membentuk Komite Hijaz telah menjadi dasar dukungan Islam terhadap nasionalisme Indonesia. Kemudian menjadi bukti penolakan terhadap gerakan Islam Transnasional yang berseberangan dengan pergerakan Nasional.

Sayangnya, fakta bahwa NU lebih mendukung kedudukan pergerakan Nasional daripada gerakan komite Khilafah tidak dibayar dengan cara menyebutkannya dalam pelajaran sejarah yang didominasi tokoh nasionalis sekuler.

Meskipun peran NU terhadap narasi kebangsaan sangat besar, hal itu tidak menghentikan Kemdikbud menyusun buku kamus sejarah yang tidak mencantumkan pendiri NU dan tokoh yang paling dihormati tersebut.

Padahal sebagai editor kamus tersebut, Sejarawan Susanto Zuhdi sempat diundang dalam Simposium Islam Nusantara yang diadakan PBNU pada awal tahun 2020 untuk memberikan pendapatnya mengenai konsepsi yang dicetuskan NU dalam membentengi bangsa Indonesia dari narasi Islam Transnasional.

Sulit memahami bahwa beliau tidak memandang bahwa Hadratusseikh KH Hasyim Asyari lebih penting untuk disebut dalam kamus sejarah versi pemerintah daripada Van Mook (gubernur Jendral Hindia Belanda) atau Sekar Maji Kartosuwiryo (Imam DI/TII). Dimana keduanya justru tokoh yang paling menghambat gagasan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia– malah terdapat dalam kamus tersebut.

Nasib para pembuat kamus memang beresiko tinggi. Menurut Simon Blacburn penulis kamus Filsafat, pekerjaan mereka “dipermalukan oleh kesalahan, dihukum oleh kelalaian, dimana sukses teraih tanpa tepukan tangan”.

Oleh sebab itu, persoalan lebih penting, bukan apakah hal ini sebuah kesengajaan atau niat terselubung, sebab peluang kelalaian begitu tinggi. Masalah utamanya, penulisan sejarah resmi Pemerintah sampai saat ini hingga level bahan ajar pendidikan sekolah belum berkomitmen dan mungkin tidak serius memandang bahwa memang NU hadir dalam sejarah bangsa Indonesia sebagaimana kehadiran Sarekat Islam, Muhammadiyah dan organisasi pergerakan sejenis.

Meskipun peluang masuknya peran NU dalam narasi sejarah di sekolah terbuka lebar melalui sejarah peminatan, namun melalui kebijakan penyederhanaan kurikulum Nadiem Makarim, mata pelajaran Sejarah Peminatan direncanakan akan dihapus. Artinya hanya akan ada narasi tunggal soal kebangsaan yang disediakan mata pelajaran sejarah Indonesia. Anak sekolahan akan tetap kesulitan menjangkau keberadaan NU dalam Sejarah bangsa ini.

Hilangnya mata pelajaran sejarah peminatan akan berpengaruh terhadap peluang masuknya peran NU dalam narasi sejarah resmi di sekolah. Ironisnya, pembuat kebijakan tersebut dan mereka yang berperan terhadap minimnya porsi NU dalam sejarah Indonesia di sekolah–dulunya adalah–siswa-siswi berasal dari sekolah yang sejak awal tidak mendapatkan pemahaman tentang pentingnya komitmen kebangsaan organisasi Islam terbesar di dunia ini.

Alasan utamanya karena pada masa lalu narasi kebangsaan NU hanya diajarkan di pondok pesantren dan memang bukan konsumsi sekolah.

Sementara di sekolah penjelasan sejarah kebangsaan semakin kering karena kehilangan spirit magis dan terikat oleh birokrasi standar pendidikan yang meniadakan tutur sejarah sebagai penghormatan atas menyimak masa lalu.

Jika peran NU yang minim dalam buku sejarah sekolah dibiarkan maka narasi nasionalis sekuler akan makin mengeras karena sulit menemukan daya magis. Mirip ratusan monumen yang dibangun negara namun tetap ditinggalkan oleh generasi baru karena ‘mereka’ tidak merasa terlibat didalamnya. Menghasilkan rasa bosan yang terus beregenerasi. Kita sedang menyaksikan pengulangan sejarah dan akan menderita karena membiarkannya. (IZ)

 

Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah MA Al-Tsaqafah Said Aqil Siroj Foundation, Alumnus Universitas Negeri Jakarta.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini