Wudhu -sebagaimana yang telah kita ketahui bersama- adalah sebuah nama untuk suatu perbuatan, yakni menggunakan air pada beberapa anggota yang telah ditentukan, dengan diawali niat. Ia merupakan salahsatu dari beberapa tujuan bersuci (maqashid thaharah). Dalam berbagai literatur fiqh, wudhu disebut sebagai penyuci yang dapat menghilangkan hadats, berbeda dengan tayamum yang tidak berfungsi sebagai penghilang hadats tetapi hanya sekadar sarana untuk diperbolehkannya shalat. Adapun yang mewajibkan wudhu adalah adanya hadats di kala hendak melakukan shalat atau ibadah lain yang mewajibkan suci dari hadats seperti thawaf, menyentuh atau membawa Al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, wudhu juga memiliki beberapa rukun atau kefardhuan yang mesti dilakukan untuk mencapai keabsahannya. Dalam berbagai literatur fiqh, disebutkan bahwasannya dalam madzhab Syafi’i, wudhu mempunyai enam fardhu, yakni niat, membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap sebagian kepala, membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan tertib.
Syekh Nawawi al-Bantany dalam kitabnya yang berjudul Kasyifah as-Saja Syarh ala Safinah an-Naja menjelaskan bahwasannya dari keenam fardhu wudhu yang telah disebutkan, ada empat fardhu wudhu yang penggalian dalil kefardhuan-nya berdasarkan nash al-Qur’an (yakni membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap sebagian kepala, membasuh kedua kaki sampai mata kaki), satunya lagi berdasarkan nash Hadits, yakni niat, sedangkan satunya lagi, yakni tertib, dalil ke-fardhuan-nya berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits.
Lebih jauh, beliau memaparkan bahwasannya dalil nash al-Qur’an yang menjadi landasan dasar kewajiban tertib dalam wudhu adalah karena Allah Swt menyebutkan ‘bagian anggota yang diusap’ berada diantara ‘bagian-bagian anggota yang dibasuh’ dalam firman-Nya Surah al-Maidah [5]: 6, yang berbunyi:
فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ
“…Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…”
Al-Qur’an -masih menurut beliau- diturunkan menggunakan bahasa Arab. Sedangkan orang Arab sendiri tidaklah melakukan pemisahan pada perkara-perkara yang satu jenis (dalam hal ini anggota-anggota yang dibasuh) kecuali karena adanya suatu faedah tertentu. Faedah disini adalah adanya kewajiban tertib, bukannya malah sunah.
Kewajiban tertib dalam wudhu tersebut -menurut Syekh Nawawi al-Bantany- juga berdasarkan indikasi dari sabda Nabi Muhammad Saw pada saat Haji Wada’, yakni ketika para sahabat bertanya, “Manakah yang harus kita awali, apakah dari bukit Shofa ke Marwa, atau dari bukit Marwa ke Shofa?”. Rasulullah Saw pun menjawab, “Awalilah dengan apa yang Allah Swt mengawali darinya”.
Adapun, meskipun sabda beliau Saw diatas konteksnya pada ibadah Sa’i, namun patokan pengambilan pemahaman (al-Ibroh) adalah dengan cakupan umum dari sabda beliau, “Awalilah dengan apa yang Allah Swt mengawali darinya”, maksudnya, “Awalilah dengan sesuatu yang Allah Swt mengawali darinya dalam berbagai macam jenis ibadah”. Hal tersebut sesuai dengan sebuah kaidah yang berbunyi ‘Al-Ibrah bi Umum al-Lafadz la bi Khusus as-Sabab’. (Syekh Nawawi al-Bantany, Kasyifah as-Saja Syarh Safinah an-Naja, Hal. 36).
Walhasil, dari paparan diatas dapat kita simpulkan bahwasannya menurut Syekh Nawwawi al-Bantany, kewajiban tertib antara satu anggota wudhu satu dengan anggota yang lainnya merupakan sebuah hukum yang didasarkan pada nash al-Qur’an Surah al-Ma’idah ayat 6 dan berdasarkan sebuah Hadits Nabi Muhammad Saw yang telah disebutkan diatas.
Wallahu a’lamu bishshowab. []
[…] Source link […]