Seorang tokoh tasawuf yang menentang ajaran wujudiyyah menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba, selama ini dianggap menyimpang dari ajaran syariat. Syekh Abdurrauf Al-Sinkili menyanggah ajaran ulama lain yaitu Hamzah Fansuri tentang konsep wujudiyyah yang ditentang pula oleh al-Raniri. Sinkli menanggapi persoalan ini dengan kebijakan pemikiran al-sinkli, beliau menentang ajaran wujudiyyah Hamzah Fansuri.
Syekh Abdurrauf sebutnya, dengan nama Aminuddin Abdul Ra’uf bin Ali al- Jawi Tsumal Fansuri al-Singkili. Beliau orang Melayu, Fansur, Singkel. Lahir di Singkel Aceh 1024 H/1615 M dan wafat di Kuala Aceh, tahun 1105 H/1693 M. Beliau merupakan ulama besar Aceh yang terkenal dan memiliki pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatra khususnya dan Nusantara pada umumnya. Beliau sendiri berasal dari Persia, Arabia, yang datang menetap di Singkel, Aceh, pada akhir abad ke-13.
Semasa kecil Syekh Abdurrauf mendapat pendidikan pertamanya dari orang tua sendiri, dikarenakan ayahnya merupakan seorang ulama yang memiliki dayah (madrasah) di Simpang Kanan. Selanjutnya beliau belajar pada Syekh Syamsu al-Din al-Sumatrani diperkirakan dayah-nya di wilayah Pase. Terakhir al-Singkili belajar di Timur Tengah, meliputi Dhuha (Doha), Qatar, Yaman, Jeddah dan akhirnya Makkah dan Madinah selama 19 tahun.
Untuk pengikut-pengikut al-Singkili atau yang disebut murid yang berguru kepadanya banyak, mereka berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Saat itu Aceh merupakan persinggahan para jemaah haji. Ketika di Aceh, tidak sedikit jemaah haji yang kemudian belajar agama dan tasawuf. Diantara muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti Syekh Burhanuddin dari Ulakan (Pariman, Sumatra Barat).
Karya-Karyanya beliau antara lain: Mir’at al-Thullab (fikih Syafi’I bidang muamalat), Hidayat al-Baligha (fikih tentang sumpah, kesaksian, peradilan, pembuktian, dan lain-lain), Umdat al-Muhtajin (tasawuf), Syams al-Ma’rifah (Tasawuf tentang Ma’rifat), Kifayat al-Muhtajin (tasawuf), Daqa’iq al-Huruf (Taswuf), Turjuman al-Mustafidh (tafsir) dan masing banyak karya lainnya.
Pemikiran tasawuf Syekh al-Sinkili dilihat dari pembahasan kecenderungannya untuk “merekonsiliasi” antara tasawuf dan syariat. Dari situ, ajaran tasawufnya hampir mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam.
Walaupun demikian, antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan bayangan (Allah) sang khaliq, tentu memperoleh keserupaan. Maka sifat-sifat dari manusia adalah bayangan-bayangan Allah itu sendiri, seperti yang hidup, yang mengetahui, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah.
Al-Sinkili juga menuai pemikiran tentang zikir. Beliau berpendapat bahwa zikir merupakan suatu cara untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan zikir inilah hati senantiasa selalu mengingat Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana (tidak ada wujud selain wujud Allah), berarti wujud hati yang berzikir dekat dengan wujud Allah. Pemikiran tasawuf al-Sinkili yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan.
Al-Sinkili berpendapat ada tiga tingkatan perwujudan manusia yaitu: Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmu ketuhanan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta hakikat Muhammadiyyah yang berpotensi bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan a’ayyan al-tsabitah dan dari sinilah alam semesta tercipta.
Menurutnya, tingkatan seperti itulah yang dimaksud Ibn’ Arabi dalam syair-syairnya. Tetapi pada tingkatan wahidiyyah atau ta’ayyun tsani, alam sudah memiliki sifatnya sendiri , tetapi Tuhan adalah cermin bagi manusia yang sempurna (Insan Kamil) dan sebaliknya. Namun, ia bukan pula yang lainnya. Bagi al-Sinkili, jalan untuk mengesakan Tuhan adalah dengan zikir: “la illaha Illa’llah” sampai tercipta kondisi fana.
Kajian (kosmos), alam sebagian bayangan Tuhan yang mana Tuhan dapat menciptakan alam dan manusia bukan seutuhnya sama kedudukannya dengan Tuhan, melainkan ada perbedaan antara manusia dengan Tuhan pada hakekatnya manusia dari Tuhan.
Penyampaian terhadap sang pencipta, yang bisa merasakan kehadiran sang pencipta dalam pandangan al-Sinkili mempunyai konsep melalui zikir untuk mengingat sang pencipta yang selalu dekat dengan kita. Tujuannya agar semua manusia tidak lalai atau lupa, untuk sampai menuju fana.
Dalam wujud hati yang selalu mengucapkan zikir akan dengan Tuhan antara ada dan Tiada. Pewujudan alam sebelumnya sudah ada dalam hakikat ghaib, hakikat ghaib sudah ada dalam ilmu Tuhan. Terbentuknya alam melainkan ada bentuk Hakiki yang dapat memancarkan sinar Nur Muhammad sebelum terbentuknya alam semesta ini.
Beliau berpendapat, terjadinya bentuk alam karena ada Zat yang memancar membentuk cahaya Muhammad, setelah terbentuknya nur Muhammad mulailah dalam proses beribu-ribu tahun Zat tuhan membentuk suatu alam yang pada bentuk Hakiki disebut oleh manusia adalah Tuhan.
Tanggapan al-Sinkili menentang terhadap ajaran Hamzah Fansuri tentang wujudiyyahnya, tetapi disini al-sinkili tidak menjustifikasi langsung Hamzah Fansuri dari pada al-Raniri yang mengklaim bahwa ajarannya sesat/menyimpang.
Dalam kondisi seperti ini al-Sinkili menuangkan pemikirannya tentang ajaran Hamzah Fansuri yang dianggap sesat/menyimpang oleh kalangan tokoh tertentu, melalui karya tulisnya yang menyinggung bahwa ajaran wujudiyyah Hamzah Fansuri itu jauh dari syariat. Dan diluruskan terhadap karya tulis al-Sinkili dalam memulihkan antara tasawuf dengan syariat. Wallahu A’lam. [HW]