Di bumi Jawa, kisah orang-orang yang ‘menyimpang’ dalam mendalami Islam selalu dihubungkan dengan tokoh Siti Jenar. Kolega Sunan Kalijaga yang juga kesohor dengan sebutan Syaikh Lemah Abang ini telah dianggap sebagai orang yang paling bertanggung-jawab terhadap munculnya kelompok muslim yang menyimpang dari syariat. Hingga sekarang pun, bila mendengar nama Siti Jenar yang terbayang di pikiran kita adalah Islam sesat dan peristiwa hukuman pancung.
Demikianlah anggapan orang awam, Siti Jenar adalah orang yang keliru memahami ajaran Islam. Karena itu para pengikutnya adalah kumpulan orang tersesat. Akibatnya, orang kemudian melihat segala yang berhubungan dengan Siti Jenar sebagai kesesatan.
Belakangan, kata abangan muncul dan galib digunakan untuk menyebut para pengikut Sang Syaikh. Meskipun, kata abangan juga merujuk kepada orang-orang (yang mengaku) Islam yang longgar dalam menjalankan ajaran agama.
Penggunaan kata ‘abangan untuk menunjuk (mengidentifikasi) mereka yang memiliki kedekatan dengan ajaran dan perilaku yang disematkan pada Siti Jenar sangat mungkin berasal dari kata abang. Kata abang sendiri tidak lain merupakan penyebutan pada Syaikh Lemah Abang (Syaikh Siti Jenar).
Dewasa ini, abangan adalah masyarakat muslim tertentu (bukan non-muslim atau ateis) yang bahkan tidak diterima oleh kaum santri sendiri. Artinya, kelompok abangan bukan kaum santri, meskipun tidak selalu berhadapan sebagai lawan. Sebagaimana Siti Jenar, kelompok abangan dinilai telah keliru dalam memahami ajaran Islam.
Bila kita berkesempatan melakukan hunting informasi di tengah masyarakat, orang-orang yang menemukan sosok Siti Jenar sebagai kekeliruan itu tidak sepenuhnya keliru. Pasalnya, mereka menerima pemberitaan tentang Siti Jenar beserta ajarannya memang seperti.
Dari cerita-cerita yang beredar di masyarakat (sumber lokal), demikian pula pemberitaan dalam serat dan babad, semuanya menghadirkan sosok Siti Jenar sebagai dongeng kekeliruan dalam beragama. Babad Pajang (1820 M), misalnya, di dalamnya menceritakan sepak terjang Siti Jenar yang berhadapan dengan dewan wali Sembilan yang diwakili oleh Sunan Kudus.
Puncaknya kedua belah pihak terlibat adu kekuatan. Dan bisa diduga, eksekusi atas sosok yang memiliki basis pengikut fanatik di daerah Pengging (sekarang dekat Boyolali) itu menjadi sesi penutup cerita.
Jadi, memang ada pembuatan narasi sosok Siti Jenar sebagai figur yang berhadapan dengan Islam yang benar. Sampai hari ini pun masih kita temukan film, drama, hingga pertunjukan seni kethoprak tradisional yang mempersembahkan kisah Siti Jenar sebagai musuh para wali.
Dalam konteks inilah saya mengemukakan informasi lain tentang Syaikh Siti Jenar. Tujuannya, paling tidak untuk menegaskan bahwa penggambaran kisah Siti Jenar sebagaimana terlanjur beredar di masyarakat bukan satu-satunya.
Leluhur dan Nasab Siti Jenar
Membicarakan asal-usul (nasab) Syaikh Siti Jenar tidak bisa melewatkan Sayyid Abdul Qadir (Sunan Gunungjati), putra Sayid Maulana Ishaq yang masih memiliki garis keturunan langsung (nasab) dari Kanjeng Nabi Muhammad. Ishaq memiliki dua adik kandung, yaitu: Ibrahim al-Samarqandi dan Sayidah Ashfa.
Al-Samarqandi adalah ayah Sunan Ampel. Sedangkan Ashfa dinikahi seorang kaisar negeri Ngerum (Rum; Turki) yang bernama Abdul Majid. Maulana Ishaq, Ibrahim al-Asmar, dan Sayidah Ashfa adalah anak-anak dari Syaikh Jumadi al-Kubra.
Adapun Jumadi al-Kubra adalah putra dari Mahmud al-Kubra, putra dari Zain al-Husain, putra dari Zain al-Kubra, putra dari Zain al-Azhim, putra dari Zain al-Abidin, putra Sayid al-Husain, putra Sayidah Fatimah al-Zahra, yang tidak lain adalah putri terkasih Rasulullah Muhammad, dan istri tercinta dari Sayidina Ali Karramallahu wajhahu.
Jadi leluhur Sayyid Abdul Jalil atau Syaikh Siti Jenar secara berantai menyambung pada Sunan Gunung Jati, Maulana Ishaq, Sayid Ibrahim Al-Samarqandi, dan sampai kepada Nabi Agung Muhammad.
Mengarungi Samudera Ilmu Marifat
Abdul Jalil muda belajar ilmu keislaman dan sosial kemasyarakatan di pesantren Ampel gading, dibawah asuhan seorang wali sepuh Sayid Rahmat. Bersama-sama dengan Raden Sahid (Kalijaga) dan lainnya, Jenar memulai bersentuhan dengan khazanah keilmuan pesantren Jawa.
Dari kitab Ahla al-Musamarah (1420 H) kita bisa mengetahui, sejak menjadi santri Sunan Ampel perilaku Siti Jenar sudah menunjukkan hal-hal yang aneh. Cucu Maulana Ishaq ini memiliki himmah (kemauan) yang kuat dalam mempelajari ilmu tasawuf.
Di bawah bimbingan sang guru (Sunan Ampel), Siti Jenar menceburkan diri ke dalam lautan ilmu tauhid dan makrifat. Ia mulai berkenalan dengan hal-ihwal yang berhubungan dengan konsep ketuhanan. Ibarat samudera, Jenar mulai mengetahui kekuasaan, ilmu dan semua milik-Nya yang tidak berbatas.
Dan meskipun telah berada di samudera, Siti Jenar tidak juga merasa puas, bahkan semakin tertarik untuk menjelajahi ilmu mukasyafah. Kepada Siti Jenar mulai dibukakan tabir-tabir rahasia yang suci. Siti Jenar terus melanjutkan penjelajahannya. Ia betul-betul keasyikan, sampai kemudian menenggelamkan dirinya ke dasar samudera.
Silsilah Nasab Syaikh Siti Jenar
1. Nabi Muhammad
2. Sayidah Fatimah al-Zahra istri Sayidina Ali
3. Sayid Al-Husain
4. Sayid Zain al-Abidin
5. Sayyid Zain al- Azhim
6. Sayyid Zain al-Kubra
7. Sayyid Zain al-Husain
8. Sayyid Mahmud al-Kubra
9. Sayyid Jumadi al-Kubra
10. Sayyid Maulana Ishaq
11. Sayyid Abdul Qadir
12. Sayyid Abdul Jalil (Syeh Siti Jenar)
Sumber: Abu al-Fadhal dalam kitab Ahla al-Musamarah (1420 H)
Puncaknya, Siti Jenar menemukan dirinya hilang ditelan samudera yang dia arungi. Iya, Siti Jenar hilang. Hanya jejaknya yang masih ada. Jejak dialog perjumpaan antar dua kekasih yang mabuk.
Sang guru paham betul kelebihan muridnya. Pada satu hari, Siti Jenar minta ijin kepada Sunan Ampel untuk meninggalkan pesantren Ampilgading.
Selanjutnya, dengan berbekal restu sang guru, Jenar keluar dari Ampel menuju satu daerah baru yang tanahnya berwarna merah (kelak dikenal dengan nama Lemah Abang). Di tempat yang baru itu, Siti Jenar memutuskan diri dengan segala urusan duniawi (uzlah).
Selanjutnya, ia memasuki alam sunyi (khalwat). Siang dan malam digunakan untuk berzikir (mengingat Allah), tafakur (memikirkan ciptaan Allah) dan berdoa untuk mencapai ridha-Nya. Makan, minum, dan tidur pun dilakukan hanya seperlunya.
Dari paragraf-paragraf di atas bisa dimengerti bahwa proses perjalanan Siti Jenar dalam mengarungi samudera ilmu marifat dibimbing langsung oleh gurunya, Sunan Ampel. Raden Rahmat kemudian juga mendukung (menginjinkan) keinginan muridnya itu untuk menyinkir pada satu tempat yang lebih khusus.
Hal yang harus digaris-bawahi, meskipun Siti Jenar kemudian berada secara terpisah dari Ampel, namun kehadiran dan bimbingan guru spiritual (mursyid tarekat) kepada muridnya akan terus terjadi secara kontinu. Dalam kondisi yang demikian, terjadinya sengketa antara Siti Jenar dengan para koleganya, para dewan wali yang juga sama-sama belajar kepada Sunan Ampel kecil kemungkinan terjadi. Wallahu a’lam.