Sepercik Pengalaman Magang di Perusahaan Pialang

Suatu hari, ada pesan mendarat ke kotak masuk Instagram saya. Setelah saya baca, ada yang bikin mengernyitkan dahi. Tanpa salam, tanpa tedeng aling aling, isinya kurang lebih begini:

“Mas, kenalin sama kenalan mas yang kaya-kaya, dong”

Setelah saya telusuri, ternyata yang bersangkutan sedang bekerja di sebuah perusahaan pialang. Perusahaan yang mengingatkan saya ketika magang pada medio 2013 lalu. Pesan di atas membuat saya teringat pengalaman masa lalu yang kebetulan saat ini dialami oleh si pengirim pesan.

Kebanyakan orang memang belum begitu familiar dengan perusahaan pialang. Hal ini bukan hal aneh mengingat kebiasaan warga negara kita yang lebih suka menabung, bukan memutar uang dalam investasi, perdagangan saham atau mata uang.

Namun, bukan hal itu yang bikin saya mengernyitkan dahi. Kata-kata yang to the point, tanpa ada proses persuasi untuk minta dikenalkan pada kumpulan orang-orang kaya (The Have maupun The Rich) membuat saya jadi tak nyaman dengannya.

Begini. Pada tahun ketika saya magang, kebetulan ada perusahaan serupa yang sedang dililit masalah. Mereka bermasalah dengan nasabah mereka sendiri. Para broker (marketing) perusahaan tersebut disinyalir tak jujur saat mengelola uang nasabah. Tak tanggung-tanggung, kerugiannya mencapai 100 M. Jumlah yang cukup untuk beli ribuan cangkir kopi Vietnam Drip. Sampai sekarang pun jejak digital tentang masalah itu masih mudah untuk dicari.

Masalahnya, saya baru seumur jagung ketika bekerja di perusahaan pialang. Bisa Anda bayangkan, ketika saya coba menghubungi seseorang dan saya bicara soal saham atau lainnya, pasti orang tersebut menyangka saya berasal dari perusahaan yang sedang bermasalah di atas. Hal ini mau tak mau membuat saya menjelaskan bahwa perusahaan tempat saya bekerja berbeda dengan perusahaan yang sedang tak baik-baik saja itu.

Baca Juga:  Al-Ghazali antara Pengalaman dan Kreativitas

Soal pilihan kata-kata di atas yang membuat saya tak nyaman, saya jadi teringat bagaimana trainer saya memberi pelatihan yang dinamai 7 kata acak. Caranya, kita diberi 7 kata yang sama sekali tak saling berkaitan. Dari 7 kata itu, kita harus menyusun suatu cerita yang terdengar masuk akal bagi pendengar.

Saat awal berlatih, mungkin rasanya cerita yang kita buat terdengar berantakan. Ada logika yang dipaksakan. Tapi lama kelamaan, akan terbiasa menggunakan kata-kata yang tak saling berkaitan itu untuk dijadikan cerita yang bagi orang awam sekalipun terdengar masuk akal.

Hasil dari latihan tersebut, menurut saya, berdampak pada cara kita menghadapi calon nasabah. Dengan latihan itu, kita dilatih bagaimana meyakinkan calon nasabah, bagaimana calon nasabah antusias dengan perusahaan.

Latihan itu, menurut saya, bagus untuk menghadapi orang-orang bertipe audio. Maksudnya, orang-orang itu fokus pada apa yang kita bicarakan. Biasanya mereka jarang menatap lawan bicara. Mereka fokus pada indera pendengaran mereka, berusaha menangkap apa maksud dari kata-kata yang keluar dari mulut kita. Mereka baru menatap lawan bicara ketika mendengar sesuatu yang menarik atau membuat mereka penasaran.

Latihan di atas juga bagus untuk digunakan ketika menjelaskan sesuatu kepada nasabah. Marketing tentu harus paham dengan ragam istilah seperti apa itu bearish, bullish, candlestick, oscilator, volume trading, analisa fundamental seperti keadaan geopolitik antara AS dan Tiongkok atau keadaan pandemi seperti sekarang ini, dan masih banyak lagi.

Jadi, sepercik pengalaman saya di atas membuat saya berpikir bahwa perjuangan untuk closing memang tidak mudah. Butuh banyak perangkat pendukung, mulai kemampuan analisa hingga kemampuan menghadapi calon nasabah.

Kalau proses mendekati orang yang jarang dihubungi saja to the point tanpa menjelaskan maksud dan tujuannya, bagaimana mendekati calon nasabah yang belum pernah dikenal sebelumnya. Bisa-bisa calon nasabah sudah kabur saat pertama kali dihubungi. Wallahu a’lam.

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini