Sekilas Mengenal Sosok Buya Hamka

Siapa yang tidak kenal Buya Hamka? Ia adalah seorang tokoh yang cukup terkenal, ia merupakan seorang ulama, aktivis politik, dan juga sastrawan. Sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati. Hamka adalah kependekan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Buya Hamka lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan seorang ulama pembaharu Minangkabau, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, yang dikenal dengan Haji Rasul dan Safiyah.

Di Maninjau, Ayah Hamka sering bepergian untuk berdakwah. Saat berusia empat tahun, Hamka mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang panjang, belajar membaca al- Quran dan bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun, Hamka masuk ke Sekolah Desa. Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau.

Pada 1918, Hamka berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Hamka ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Hamka menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau.

Saat remaja, Hamka sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak.

Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karir sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat.

Baca Juga:  Gus Fahmi dan Cita-Cita Menelusuri Jejak Kakek Buyutnya

Hamka meninggal pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

Peran Buya Hamka dalam Mengembangkan Tasawuf

Dalam pemikirannya, Hamka mengartikan tasawuf sesuai dengan arti yang aslinya, yaitu keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji. Maksud dari penambahan kata ‘modern’ ialah menegakkan kembali maksud semula dari tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mempertinggi derajat budi, menekankan segala kerakusan, memerangi syahwat. Oleh karena itu, tasawuf yang ditawarkan oleh Hamka disebut dengan “Tasawuf Modern”.

Jadi, menurut Hamka hakikat tasawuf adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi dan membersihkan batin. Artinya tasawuf adalah alat untuk membentengi dari kemungkinan seseorang melakukan keburukan, intinya berzuhud sebagaimana teladan hidup yang dicontohkan Rasulullah lewat sunnah yang sahih. Tasawuf yang ditawarkan Hamka adalah tasawuf modern atau tasawuf positif berdasarkan tauhid. Jalan tasawufnya melalui sikap zuhud yang dilaksanakan dalam ibadah resmi sikap zuhud, yang tidak perlu menjauhi kehidupan normal.

Pemikiran Buya Hamka Tentang Tasawuf

Karakteristik pemikiran Hamka tentang tasawuf modern yang menjadi ciri khas dari pemikirannya tersebut, yang meliputi konsep hawa nafsu dan akal, ikhlas, qona‟ah, tawakal, dan kesehatan jiwa, serta konsep malu.

  1. Konsep hawa nafsu
  2. Konsep Ikhlas, Ikhlas diartikan dengan bersih, tidak ada campuran
  3. Konsep Qonaah, Dalam pandangan Hamka, qana‟ah ialah menerima dengan cukup, dan didalamnya mengandung lima perkara pokok, yakni menerima dengan rela akan apa yang ada, memohon tambahan yang sepantasnya kepada Allah yang dibarengi dengan usaha, menerima dengan sabar akan ketentuan Allah, bertawakal kepada Allah, dan tidak tertarik oleh tipu daya
  4. Konsep Tawakkal, Hamka menjelaskan bahwa tawakal ialah menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar, dan usaha kepada Apabila datang bahaya yang mengancam.
  5. Konsep Kesehatan Jiwa, hal yang perlu diperhatikan ialah memelihara kesehatan Dimana untuk mencapai kesehatan jiwa diperlukan empat sifat utama, yakni syaja’ah,‘Iffah, Hikmah, dan ‘Adalah.
Karya Buya Hamka

Hamka adalah seorang ulama besar di Indonesia. Buku-bukunya menjadi bacaan, malah buku pelajaran di Malaysia, dan mencapai cetakan yang berulang kali. Di negara-negara Islam yang lainnya Hamka juga amat terkenal. Beliau mendapat gelaran Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar di Kairo dan Universitas Kebangsaan Malaysia.

Baca Juga:  In Memoriam KH Maimoen Zubair: Sang Mutabahhir-Mutafannin Fil Ulum

Buya Hamka ialah seorang yang mahir belajar sendiri (otodidak). Buya Hamka digelar kutu buku karena selalu kehausan bila sehari tidak membaca. Hamka juga seorang pengarang. Pada umur belasan tahun, Buya Hamka telah mengarang buku sastra “Di Bawah Lindungan Ka’bah” yang nilainya sangat baik, punya daya laku yang sangat panjang bahkan sampai hari ini masih menjadi bahan bacaan sastra. Karangan keagamaannya merupakan karangan terbesar dan dikarang dikala beliau telah tuma’ninah sekali. Tafsir Al-Azhar adalah karya beliau yang terbesar. Dari Al-Azhar dapat kita lihat keluasan ilmunya, kerana menafsirkan satu ayat dipandang dari berbagai sudut ilmu.

Hamka juga seorang wartawan. Jiwa jurnalistik telah mendalam padanya sejak kecil dan sejak masih belajar di sekolah rendah. Pada tahun 1927 keluarlah karangannya di dalam surat kabar “Pelita Andalas” yang memuat kisah tentang perjalanannya menunaikan haji ke tanah suci. Kemudian Buya Hamka menulis secara tetap dalam surat-surat kabar dan majalah- majalah Islam. Sesudah itu diapun menerbitkan sendiri majalah-majalah agama kesusasteraan dan keagamaan. Di antaranya ialah majalah “Kemauan Zaman” 1928 dan majalah Al-Mahdy tahun 1932. Beliau pun menjadi seorang Pemimpin Redaksi Sumatera bernama “Pedoman Masyarakat”. []

 

REFERENSI

https://id.wikipedia.org/wiki/Hamka

Faishol, M., & Hanifuddin, H. (2019). Pendidikan Tasawuf Perspektif Buya Hamka. Intiqad: Jurnal Agama Dan Pendidikan Islam.

Hadi Ihsan, N., & Maulana Alfiansyah, I. (2021). Konsep Kebahagiaan dalam Buku Tasawuf Modern karya Hamka Analisis: Jurnal Studi Keislaman Konsep Kebahagiaan dalam buku Tasawuf Modern karya Hamka.

Mutiara Firdausi
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama