Pada prinsipnya manusia hidup dituntun oleh imajinasinya, disadari ataupun tidak pikiran manusia selalu berkelebat guna merencanakan,menentukan ke mana hendak kaki melangkah dan cara apa yang hendak ditempuh. Inilah yang lazim disebut sebagai hidup adalah perjalanan, dan tidak aneh bila pada akhirnya manusia akan sampai (berpulang) ke pangkuan abadi setelah melewati sekian fase serta rintangan yang menyelimuti. Kadang kala berakhir gagal, kadang kala berakhir bahagia, dan kala yang lain tak berakhiran apa-apa.

Manusia, semenjak lahir, ia hadir dalam keadaan telanjang, saat itu pula kondisi ke-nol-annya bermula. Dunia yang baru saja ia rambah bergembira ria menyambut sebagai peserta baru dari ribuan, jutaan, bahkan milyaran peserta yang lebih dulu mengambil kontribusi di ruang hidup bernama dunia.

Pada gilirannya ia harus menempuh hari demi hari, waktu demi waktu, dan menjalani sekian varian hidup baik sendirian ataupun bersama. Kondisi semacam ini yang nantinya akan melahirkan semacam dilema seperti tawa bahagia atau tangisan duka ketika kedapatan yang dijalaninya tak ubahnya pil pahit yang mesti ditelannya.

Jamak kita jumpai bahwa semasa kecil, manusia tampil begitu lugu dan natural. Hal ini setidaknya tergambar oleh imajinasinya tentang masa depan yang diwakili oleh mimpi-mimpinya. Bagaimana betapa anak TK yang bila ditanya cita-cita, mereka akan menjawab begitu percaya diri dan penuh semangat. Jawaban yang muncul dari nurani terdalam sebagai manusia tulus yang lugu sekaligus jawaban steril dan belum bercampur racun kehidupan baik berupa kawan, multi-realitas, atau ketakutan-ketakutan yang kerap menjadi momok manusia.

Namun itu anak TK, bagaimana kabar dengan seorang dewasa? Apakah masih sama imajinasinya? Mari kita renungkan bersama. Saya, anda, dan kita semua adalah sama.

Pertanyaan semacam itu memiliki kesan yang sederhana dan tak terlalu njelimet untuk menjawabnya. Tidak seperti pertanyaan Najwa Shihab atau bahkan sanak-famili menjelang perayaan idul fitri dengan sebentuk tanya klise “kapan menikah?”.

Namun, alih-alih menjawabnya dengan penuh yakin serta percaya diri secara total, seorang dewasa bahkan kerap kali kelabakan bila ditanyakan tentang cita-cita, tujuan hidup, atau impian.

Baca Juga:  Puasa 11 Bulan

Hal ini nampaknya dipengaruhi oleh perputaran masa dan perpindahan waktu yang menjadi salah satu penyebab vital hilangnya girah hidup manusia terkait impian. Trauma-trauma yang timbul dari kesulitan, kegagagalan. Kesukaran dan kawan-kawannya itu telah membentuk manusia menjadi makhluk yang ringkih, rapuh, sayu, lembek, dan terkesan ‘bila meminjam istilah milenial’ lebay.

Mengapa?

Menghendaki hidup tanpa ujian kesulitan, kesukaran, kegagalan dan rasa pedih serta penderitaan yang berdarah-darah adalah pikiran utopia paling sempurna dari manusia. Hal ini dikarenakan dunia yang kita jejaki ini memang memungkinkan hal-hal tersebut terjadi. Tentu selaku pemeluk agama, dan terutama Islam kita percaya bahwa Tuhan menghendaki segala sesuatu yang baik, namun tidak serta-merta antonim dari kata ‘baik’ itu lantas sirna.

Keterjebakan semacam ini terjadi tak hanya satu-dua kali, namun berulang kali dialami manusia. Ia akan menangis tersendu bahkan terlunta-lunta ketika kedapatan dirinya gagal meraih apa yang dikehendaki. Ia akan murung seribu bahasa bila sesuatu yang diimpikan luluh lantah lalu sirna dirampas situasi, COVID-19 misalnya.

Tentu hal ini tak elok bila dibudayakan, lebih-lebih diwariskan kepada generasi setelahnya baik disadari atau tidak. Karena semesta yang agung ini, memang mendeklarasikan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Namun di sisi lain ada kekuatan Adikodrati (Ilahi) yang bermain menentukan hasil akhir dari usaha manusia. Sehingga memperkosa kehendak dan hasrat dari cita-cita, mimpi dan apapun itu adalah tindakan keliru.

Untuk menghadapi dilematis seperti itu, setidaknya manusia mempunyai pilihan untuk menanganinya. Yang dalam agama lazim disebut sabar. Sabar, satu kata ini kerap dituturkan manusia manakala dirinya kedapatan didera cobaan atau mungkin sahabat-karibnya. Kata ini ‘dalam situasi penuh cobaan’ akan menjadi semacam oase yang menyejukkan serta obat penawar bagi kegelisahan hati lengkap dengan kecamuk pikiran.

Baca Juga:  "Ngaji Pasaran" Online, Menembus Batas-batas Tradisional

Namun, sejatinya apakah sabar hanya sebentuk demikian? Mari kita bedah dengan tenang dan santai.

Sabar setidaknya memiliki dua dimensi atau ruang. Pertama, sabar dari. Kedua, sabar untuk. Kedua dimensi ini kerap alpa dalam benak dan kesadaran manusia karena terlampau mafhum dengan kata sabar sampai kurang teliti bila sabar memiliki setidaknya dua ruang tadi.

Sabar dari adalah situasi di mana manusia dituntut berlaku sabar atas cobaan yang mendera dan kegagalan-kegagalan yang menjumpainya. Hal ini terasa sakit memang, tak mudah ‘sudah pasti’ tapi bila sabar gagal dilakukan manusia kala dirinya menemui situasi di atas, maka yang akan terjadi hanya kecamuk caci dan stres berlebih sehingga menyebabkan kondisi kejiwaannya amat tertanggu. Namun sebaliknya, ia yang berlaku ‘sabar dari’ demikian ketika menjumpai kegagalan-kegagalan akan mengalami proses pendewasaan dan tempahan mental secara maksimal.

Sebab, bila kita mau merentangkan ingatan ke masa lampau, sesungguhnya para Nabi dan ulama adalah mereka yang juga memiliki sikap ‘sabar dari’ tersebut. Ambil contoh misal Nabi Adam yang dipisahkan dengan kekasih tercinta Siti Hawa selama ratusan tahun demi menebus permulaan kehidupan\ di dunia. Namun sikap ‘sabar dari’ yang dimilikinya mampu menghantarkannya kembali berjumpa dengan kekasih hati belahan jiwanya. Selanjutnya ada Nabi Nuh yang rela menanam sebilah pohon lalu merawatnya hingga besar untuk kemudian dibuat perahu kendati setelah perahu itu selesai digarap, ia harus menerima kenyataan karyanya itu kedapatan menjadi ejekkan masyarakatnya dengan  dijadikan tempat membuang air baik kecil maupun besar. Kemudian yang amat mafhum kita dengar ketika sekolah dasar adalah cerita Nabi Musa yang mesti ‘sabar dari’ ujian Tuhan berupa dirinya dikejar-kejar Firaun sampai-sampai Nabi Musa mengalami kebuntuan dalam pelariannya karena di depannya terhampar lautan luas, namun berkat kesabarannya itu, pertolongan Tuhan pun datang sehingga Nabi Musa diberi mukjizat untuk membelah laut tersebut.

Dari peristiwa-peristiwa di atas, selaku muslim yang mendaku berprinsip ASWAJA, mari kita merenungkan lalu mengaktualisasikan kisah-kisah teladan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, apalagi menghadapi pandemi ini.

Baca Juga:  Muwajjahah via Daring, Ngaji Posonan ala Pesantren Maslakul Huda

Bila cerita di atas adalah tentang sabar dari, sekarang mari kita beranjak ke sabar untuk. Dimensi sabar yang lain, yang berbeda dari dimensi sabar pertama.

Tarik napas sejenak, pejamkan mata, resapi, lalu mari mulai kembali.

Sabar untuk adalah situasi ketika manusia memiliki kehendak dan atau cita-cita di masa depan dan atau masa yang akan datang. Maka dirinya perlu berlaku ‘sabar untuk’ guna mewujudkan impiannya tersebut. Mengapa? Karena impian yang tinggi serupa bertenggernya bintang-bintang di pucuk langit, tak dapat diraih dengan menggunakan pintu Doraemon yang fiktif itu. Satu-satunya jalan semesta adalah menempuhnya, mendakinya pelan-pelan dengan kesabarannya.

Mencicil langkah satu per satu sampai nanti sampai di masa di mana cita-cita yang dicita-citakan itu menjadi bukan lagi cita-cita melainkan sudah menjadi nyata. Hal ini senada dengan adagium lama yang mengatakan perjalanan seribu mil dimulai dari satu langkah, penting bagi kita untuk melangkah. Takut gagal, artinya (kita) membatasi kemampuan kita, takut gagal berarti kita telah menghina anugerah Tuhan dalam diri kita (Ach Dhofir Zuhry).

Maka sebenarnya sabar untuk ialah kondisi di mana manusia hendaknya mengontrol hasratnya atas cita-cita dengan tidak dibenarkan menempuh jalan pintas apalagi jalur belakang, karena hal ini sama saja melucuti sifat kemanusiaan itu sendiri. Bercita-cita sebagai dokter itu mulia, namun menyogok demi mendapat gelar tersebut tentu akan berakibat petaka.

Terakhir

Sabar tidak serta-merta hadir dalam diri manusia, ia perlu dipahami dan diaktualisasikan secara perlahan. Mereka yang menempuh jalan sabar sejatinya telah berinvestasi pada kemenangan. Sedangkan mereka yang enggan menempuh jalan sabar sejatinya telah lebih dulu menceburkan diri ke jurang kegelapan hati.

Tabik, salam, dan sampai jumpa di tulisan lainnya. [HW]

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini