Respon Al-Qur’an sebagai Etika Komunikasi melalui Media Sosial

Sosialisasi umat manusia mengalami perubahan yang signifikan terutama ketika komukasi tak harus melalui pertemuan tatap muka melainkan bisa diwakilkan dengan media sosial. Pada zaman dahulu komunikasi secara langsung melalui pertemuan antara penutur dan lawan tutur merupakan sebuah anugerah dan nikmat yang tak terhingga. Namun perkembangan dunia yang pesat menghasilkan pada komunikasi secara virtual dengan berbagai platform yang ditawarkan untuk para user medsos. Sebut saja platform yang tak asing bagi masyarakat saat ini  di antaranya: Whatsapp, Facebook, Instagram, Line, Telegram, dan masih banyak lainnya. Semua media yang disebut tadi merupakan sarana komunikasi yang digunakan masyarakat kini.

Dampak positif dari media sosial yang saya rasakan secara pribadi yaitu mudahnya berkomunikasi meskipun dihalangi oleh jarak dan waktu, kemudian mendapatkan informasi secara masif dan cepat, dan masih banyak lagi. Selain itu, keberadaan media sosial juga menjadi wadah yang interaktif bagi seluruh pengguna internet dan smartphone adalah salah satu bukti bahwa perkembangan ini memberikan dampak positif dab diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, sebagai media baru dalam berkomunikasi tentu ada dampak negatif yang terjadi bagi masyarakat yang menggunakannya. Pengibaratan ini terlihat layaknya seperti koin yang memiliki dua sisi. Hal itu karena media sosial mampu memberikan dampak negatif baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Fenomena-fenomena yang terjadi di media sosial pun masih banyak belum diketahui oleh para penggunanya, dan bahkan jangan-jangan kita pernah mengalami salah satu di antara fenomena ini. salah satu fenomenanya yaitu Fear of Missing Out (FOMO) atau singkatnya perasaan gelisah dan cemas akibat takut “ketinggalan”. Istilah yang penulis gunakan takut “ketinggalan” mengindikasikan ada suatu perasaan ketakutan jika tidak mengikuti berita, gosip, atau tren yang diikuti oleh banyak orang di media sosial atau bisa disebut juga dengan takut dianggap ketinggalan zaman dan kudet.

Baca Juga:  Kalimat dalam Al-Quran

Fenomena di atas merupakan dampak positif dan negatif dari eksistensi media sosial dalam hidup dan kehidupan masyarakat modern saat ini. Namun jauh daripada dampak positif dan negatif, ada beberapa rekomendasi dari saya agar diterapkan dalam berkomunikasi dalam media sosial. Rekomendasi-rekomendasi yang akan saya utarakan dalam tulisan ini basisnya bersumber dari Al-Qur’an sebagai panduan dari umat Muslim. Setidaknya ada dua hal yang fundamental yang dijadikan fokus pembaca sebagai etika  berkomunikasi dalam media sosial. Pertama, QS. An-Nur ayat 27. Yang berbunyi :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتّٰى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَهْلِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.

Ayat ini sejatinya berbicara tentang etika berkunjung ke rumah orang lain. Tetapi jika dikontekstualisasikan sejatinya berlaku dalam berkomunikasi melalui media sosial. Artinya dalam pembicaraan seharusnya dimulai dari salam kepada lawan tutur, atau sering terdengar istilah saat ini dengan “basa-basi” dulu sebelum menyampaikan tujuan kita kepada lawan tutur. Dengan bersikap sedemikian, ketika penutur ingin berkomunikasi dengan lawan tutur akan memberikan kenyamanan antara keduanya dan memberikan kesan baik dan positif antara satu sama lain.

Kedua. QS. An-Nisa: 63 yang termaktub sebagaimana berikut:

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا

Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”.

Baca Juga:  Fikih Berkurban

Pada ayat ini, saya fokus pada kata qaulan baligha’ yang memiliki makna perkataan yang tersampaikan (berbekas). Artinya jika ingin berkomunikasi menggunakan Whatsapp contohnya fitur “centang biru” penting sebagai sarana saling mengetahui apakah pesan yang dikirimkan telah dibaca oleh lawan tutur. Fitur ini merupakan wadah agar tidak adanya transparansi dalam berkomunikasi sesama kolega baik dari kalangan teman, guru, atau bahkan orang tua. Karena jika fitur ini tidak diaktifkan tentu akan berdampak pada keresahan penutur akan keadaan lawan tutur.

Berangkat dari kedua ayat itu, mungkin akan menjadi sarana dan solusi bertika dalam berkomunikasi melalui media sosial. Sehingga diharapkan melalui tulisan ini akan menjadi bahan pertimbangan para pembaca yang budiman dalam berkomunikasi dengan sesama.

Wallahu A’lam. []

M. Riyan Hidayat
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini