Refleksi Makna Kemerdekaan Bagi Penyandang Disabilitas

Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan salah satu ajang kita untuk merefleksikan segenap jiwa dan raga. Bagi kita kemerdekaan adalah bebas dari segenap belenggu. Umumnya kemerdekaan dimaknai sebagai bebas dari segala bentuk kolonialisme. Begitu juga bagi penyandang disabilitas yang menginginkan kemerdekaan. Mereka menginginkan terwujudnya hak-hak yang diakui dan terbebas oleh segala bentuk diskriminatif.

Saya berani mengatakan bahwa penyandang disabilitas sampai saat ini masih belum dikatakan merdeka secara utuh. Penyandang disabilitas masih saja menjadi korban diskriminasi. Sebagaimana riset Joan Susman yang berjudul “Disability, Stigma, and Deviance” yang menyimpulkan persepsi masyarakat luas tentang fisik menghasilkan sudut pandang yang negatif dan berujung pada diskriminasi simbolik. Diskriminasi tersebut berupa stigma negatif, pengucilan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait dengan kondisinya.

Menjadi ironi, bahwa penyandang disabilitas terlebih perempuan disabilitas mengalami kekerasan seksual. Hal ini terlihat jelas dari laporan kasus yang termuat di Catatan Tahun Komnas Perempuan sejak 2015-2023. Tercatat sebanyak 578 kasus kekerasan yang dialami perempuan penyandang disabilitas dengan rincian; tahun 2015 sebanyak 40 kasus, 2016 sebanyak 29 kasus, 2017 sebanyak 61 kasus, 2018 sebanyak 48 kasus, 2019 sebanyak 89 kasus, 2020 sebanyak 87 kasus, 2021 sebanyak 77 kasus, 2022 sebanyak 42 kasus, dan 2023 sebanyak 42 kasus.

Negara telah memberikan perhatian khusus kepada penyandang disabilitas melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Dimulai dari UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang kemudian direvisi karena perubahan konsep dari charity-based menuju human rights-based. Kemudian UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities yang berujung kepada munculnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas  bersama beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang menyertainya.

Baca Juga:  Refleksi Hari Guru: Urgensi Guru Mendidik dengan Hati Pasca Daring Pandemi

Inilah persoalanya, negara sudah memberikan payung hukum bagi penyandang disabilitas tetapi diskriminasi masih mengakar di masyarakat secara luas. Di hari kemerdekaan yang ke-79 tentu ini menjadi refleksi kita bersama untuk memikirkan apa makna merdeka yang sesungguhnya bagi penyandang disabilitas? Apakah aturan tertulis sudah membebaskan penyandang disabilitas?

Kebebasan dan Kesetaraan

Dalam rangka memperingati kemerdekaan Republik Indonesia ke-79, sudah sepatutnya seluruh lapisan masyarakat mampu meningkatkan kesadaran disabilitas (disability awarness) yang menuntut ke arah kebebebasan dan kesetaraan. Kebebasan dalam arti penyandang disabilitas bebas dalam berekspresi, aktualisasi peran, dan bebas belenggu stigma negatif. Kesetaraan dalam arti memandang posisi sebagai makhluk ciptaan tuhan yang sempurna.

Bagi penyandang disabilitas, kemerdekaan adalah terbebas dari ableisme yang masih merambah dalam pikiran masyarakat. Sampai saat ini, penyandang disabilitas masih menjadi korban ablesime yang berujung kepada diskriminatif. Ableisme dapat dipahami dengan kecenderungan memandang penyandang disabilitas sebagai makhluk yang tidak sempurna, dan perbedaan yang diasosiasikan sebagai penyakit. Ableisme menganggap bahwa penyandang disabilitas merupakan kelompok yang inferior.

Pemahaman ableis ini masih banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari seperti menganggap penyandang disabilitas merupakan orang yang “menderita” sehingga diperlakukan tidak dengan semestinya. Hal semacam ini justru menomorduakan penyandang disabilitas dalam mengaktualisasikan peranya sebagai manusia.

Kemerdakaan harus dimaknai sebagai pembebasan pola pikir dan paradigma ableisme. Ini dimaksudkan supaya penyandang disabilitas memiliki kebebasan berekspresi, aktualisasi peran, dan bebas belenggu stigma negatif. Merdeka memiliki arti bahwa penyandang disabilitas bebas menentukan dan menjalankan hak-hanya, yaitu hak untuk hidup, bebas dari stereotip ataupun pelabelan negatif, hak privasi, keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, politik, sosial budaya, pelayanan publik, dan yang paling penting adalah bebas dari diskriminasi atau eksploitasi.

Baca Juga:  Tingkatkan Layanan Responsif Disabilitas, Perpustakaan IAIN Kudus Benchmarking ke UB Malang

Dalam hal ini, kebebasan tidak semata bebas dari kolonialisme penjajah, melainkan bebas menjalankan segala hak yang dimiliki oleh segenap warga negara. Begitu juga dengan penyandang disabilitas, kemerdekaan disini adalah bebas berkespresi sebagai wujud warna negara. Oleh karena itu negara harus menyediakan perangkat, fasilitas, ataupun akomodasi yang mempuni untuk penyandang disabilitas. Tujuanya tidak lain adalah menciptakan aksesibilitas di berbagai sektor seperti, politik, pendidikan, kesehatan, dan sektor pelayanan publik. Aksesibilitas yang baik akan membantu penyandang disabilitas untuk berekspresi.

Bagi penyandang disabilitas, kemerdekaan yang hakiki adalah kesetaraan. Persepsi keliru masyarakat tentang penyandang disabilitas umumnya dibentuk oleh budaya yang disertai oleh mitos. Masyarakat ada yang mengaitkan dengan bentuk hukuman sebagai penebus dosa. Hal ini berujung kepada perlakuan dikotomis masyarakat kepada penyandang disabilitas. Mitos semacam ini tidak bisa dibenarkan sebab penyandang disabilitas merupakan makhluk ciptaan tuhan yang sempurna.

Kesetaraan bisa terwujud jika masyarakat kita paham tentang human right-based baik dengan menggunakan pendekatan teologis dan sosialis. Pendekatan teologis sebagai mana yang sedikit penulis singgung diatas yaitu bahwa tuhan menciptakan manusia dengan bentuk sempurna. Tuhan tidak memandang fisik hambanya, melainkan tingkat ketakwaannya. Sedangkan pendekatan sosial adalah bahwa demi persatuan membutuhkan kesetaran, artinya tidak memandang jenis kelamin, etnis, ras, dan suku, yang terpenting adalah masyarakat bekerja saling mengisi ruang untuk mencapai kebaikan bersama.

Kesetaraan disini adalah keadaan yang mendudukkan penyandang disabilitas sebagai subjek hukum yang bersifat penuh dan memberikan peluang kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan seluruh potensi yang dimiliki tanpa melihat perbedaan.

Kemerdekaan Sebagai Momentum

Peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 merupakan satu momentum untuk memaknai kemerdekaan secara hakiki. Kebebasan dan kesetaraan adalah penafsiran yang hakiki bagi penyandang disabilitas. Hadirnya peraturan perundang-undangan mengenai penyandang disabilitas mengindikasikan upaya negara untuk memberikan kebebasan dan kesetaraan. Kenyataanya adalah aturan tertulis masih belum memerdekakan penyandang disabilitas. PR nya terletak dalam masyarakat, yaitu sejauh mana implementasi pemahaman kebebasan dan kesetaraan yang telah menjadi paradigma peraturan tersebut.

Baca Juga:  Refleksi Satu Abad NU

Setiap kemerdekaan Republik Indonesia, seyogyanya menjadi momentum kita untuk refleksi paradigma inklusif yaitu kebebasan dan kesetaraan bagi penyandang disabilitas. Dengan inklusif kita kembali diingatkan penghormatan terhadap penyandang disabilitas, sehingga kita dapat bersama-sama berperan dan berkontribusi dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan sebagaimana warga negara Indonesia. []

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini