Perkawinan anak

Indonesia merupakan salah satu Negara yang padat penduduk, hal tersebut terjadi karena Indonesia menempati urutan tertinggi ke dua di ASEAN terkait perkawinan anak, angka tersebut setara dengan posisi ke delapan di dunia. Hal tersebut dipengaruhi banyak hal, salah satunya kemiskinan dan ketidakadilan gender. Satu dari empat anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun, data BPS dan Unicef, 2016. Pada 2012, sekitar 9,5% anak perempuan telah melahirkan dan mengandung anak pertama (SDKI, 2012). Satu  dari sembilan anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, pada 2018.  Bahkan, 0,56% atau sekitar 6.838 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 15 tahun (BPS, 2019).

Hal tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan bagi orangtua dan anak perempuan terhadap bahayanya perkawinan anak.  Budaya perkawinan anak juga disebabkan karena untuk mengatasi masalah yang terjadi di dalam keluarga salah satunya kemiskinan. Perkawinan anak juga masih dianggap sebagai solusi untuk mengatasi zina, padahal pada praktiknya hal tersebut tidak menjadi solusi malah banyak menimbulkan masalah seperti : kemiskinan, risiko kehamilan dan lain sebagainya.

Perkawinan anak bukanlah solusi yang tepat untuk menghindarkan zina, hanya karena alasan untuk terhindar dari zina, akan sangat baik jika memotivasi kaum belia agar selalu mengejar cita-cita, belajar setinggi-tingginya, berinovasi dan menghasilkan berbagai karya sebanyak-banyaknya. Jika hal tersebut terjadi, maka sudah barang tentu bukan hanya baik untuk pengembangan diri saja tetapi juga membangun generasi bangsa yang maju dikemudian hari.

Jika dilihat dari perspektif keadilan gender, Laki-laki yang menikah dini tidak memiliki efek biologis yang ketara sehingga pada praktiknya mereka masih bisa melakukan pendidikan setelah pernikahan, berbeda dengan perempuan, perempuan yang memutuskan untuk menikah dini memiliki dampak yang sangat beresiko terhadap efek biologisnya. Karena pada saat itu reproduksi perempuan belum siap untuk dibuahi dan akan mengalami kehamilan yang beresiko. Selanjutnya kehamilan dini dan pengasuhan anak akan menghambat perempuan untuk melanjutkan pendidikan setelah menikah.

Baca Juga:  Santri Mengglobal Utus 6 Santri Indonesia Untuk Mengabdi dan Mengajar Anak-Anak TKI di Malaysia

Pernikahan bukan sekedar penghalalan hubungan seksual, tetapi juga menyangkut kehidupan setelahnya. Kesiapan dan kematangan diri, baik segi jiwa, raga fisik, psikologi, finansial dan lain sebagainya harus dimiliki sebelum benar-benar menempuh perjalanan hidup baru.

Hal itu sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan :

 Adl-dlararu laayuzaalu bilmitsli

“Kemudhorotan tidak bisa dihilangkan dengan kemudhorotan yang semisal atau lebih parah.”

Sehingga kemudhorotan zina tidak bisa dihapuskan dengan kemudhorotan lain (pernikahan dini) untuk menghindari zina, seseorang bisa menundukkan pandangannya atau berpuasa. Sunnah pernikahan itu, ada pada sakinah, mawaddah, warahmah-nya. Bukan pada cepet-cepetannya. Pernikahan itu 100% urusan relasi kamu sama pasangan, orang di luar sana nggak ada urusan. Jadi, niat cepet-cepet biar bisa dipamerin itu salah banget.

Jangan percaya materi campaign nikah yang bicara cepet-cepet karena ngomong enaknya doang. Kelak, urusan kesehatan reproduksi, urusan kestabilan ekonomi, dinamika psikologis dalam rumah tangga, sampai kesalehan pribadi serta sosial yang harus kamu negosiasikan di masyarakat. Sepenuhnya adalah tanggung jawab kamu.

Banggalah pada diri kamu yang sekarang, perjuangan kamu buat sekolah, itu keren!. Perjuangan kamu buat membangun cita-cita dan profesi yang kamu impikan, itu keren!. Merawat orangtua itu privilege dan kunci surga  yang nggak semua orang punya!. Stay calm. Bahagia itu letaknya di keyakinan bahwa kamu berharga. Yes, nilai,  pikiran dan keputusan kamu untuk jadi kamu yang hari ini sangat berharga. [HW]

Ai Umir Fadhilah
Mahasiswi sekaligus Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini