Penyalahgunaan Maulid

Akhir-akhir ini kita harus belajar bersabar dan memaafkan. Dan, oleh karena hidup seringkali menguji dan mengajarkan banyak hal, tugas kita untuk belajar tak kunjung usai. Anda boleh membenci pelajaran A dan tidak suka guru B, tapi belajar tak boleh berhenti.

Memaafkan, Anda tahu, adalah hadiah yang kita berikan kepada diri kita sendiri, sebab kebencian tidak pernah menjadi solusi. Menyalah-nyalahkan, praktis hanya akan terus membuang umur dan energi. Anda mungkin berhasil membuat orang lain merasa bersalah, dihantui kecemasan, tetapi Anda tidak akan merubah apapun yang membuat Anda tidak bahagia. Well, keharuman selalu ada pada tangan-tangan tulus yang memberi mawar, memberi maaf, sementara durinya selalu akan dimiliki para pembenci. Jangan lupa, para pencaci dan perengek itu penggemar Anda juga juga, mereka rela menghabiskan waktu dan sumberdaya demi sesuatu yang hilang arti: mengeluh, meratap, dan terus menebar energi negatif. Bila kayu habis, api akan padam.

Tidak ada secuilpun kekerasan dan kebrutalan dalam Islam, tidak ada dendam dan angkara murka dalam agama dan kemanusiaan. Yang mau memuliakan “Maulid” (momen, ruang waktu dan peristiwa kelahiran) Nabi silahkan, yang mau merayakan “Maulud” (sosok dan keagungan pribadi) Nabi ya monggo, yang tidak mau tak elok menyalah-nyalahkan dan menebar kebohongan, sebab persaudaraan dan persatuan jauh lebih penting dan utama dari segala ambisi kekuasaan. Nah, bagaimana jika momen sakral peringatan Maulid Nabi justru digunakan sementara golongan untuk mencaci pemerintah, mendoakan cepat mati para pemimpin kita dan menggalang massa demi agenda suksesi politik?

Nun di jagad insepsi hiper maya, kita bisa dengan mudah mendapati kaum cuti nalar yang gila-gilaan memberhalakan Turki dan Erdogan, semantara kaum defisit logika tetap kekeh menyembah-nyembah monarki despotik Saudi dengan keyakinan dan cinta buta bahwa Arab itu ya Saudi, Saudi itu ya Islam, ya surga, ya bertabur bulu ketiak bidadari. Tak kalah heboh, para pemuja oknum habib tertentu—yang demi kelamin kekuasaan—justru mengabaikan semua aturan dan membuat onar, pura-pura lupa bahwa Negara dan seluruh elemen terkait sedang terseok-seok berjuang mengatasi pandemi dan memulihkan ekonomi.

Baca Juga:  Mengenang Kehadirannya Sebagai Indikator Cinta

Karuan saja, mereka yang terang-terangan menolak tradisi Maulid Nabi nan agung juga kearifan lokal khas Nusantara lainnya dengan menjadikan Saudi sebagai standar dan acuan adalah mereka yang hanya membuka diri pada hoaks dan enggan merentangkan pikiran jernih, sehingga jauh dari pemutlakan pendapat. Padahal, kejahatan perang Saudi pada Yaman belum lama ini, juga krisis kawasan Teluk berkali-kali hampir saja dibongkar mendiang Khassoghi sebelum akhirnya sang juru warta dimutilasi secara biadab di Turki persis menjelang pernikahan almarhum. Namun demikian, oknum simpatisan ormas pentungan yang dengan bantuan kapital gaib malah sengaja mengadakan maulid politik, fastabiqul politik, hablun minal politik, padahal baru-baru ini dengan sangat tidak obyektif media menuduh klaster baru persebaran korona di pesantren. Tentu kita semua sangat berharap tidak ada persebaran covid-19 klaster 212, sub klaster Petamburan. Memang, nafsu berkuasa tak bisa dimutilasi, terutama jika dibumbui agama dan asesoris islami. Hukum seolah tumpul ke sorban tajam ke rok mini.

Belum lagi kebusukan-kebusukan Wahabi 24 karat sejak memisahkan diri dari imperium Ottoman—tapi anehnya lantas meneriakkan pekik khilafah dan pan islamisme—yang bisa kita endus sepak terjangnya di salah satu parpol dan maupun rekam jejaknya pada gerakan tarbiyah di kampus-kampus, juga bagaimana mereka dulu bersekutu dengan negara-negara Adidaya untuk membumihanguskan semua situs bersejarah dan makam-makam, tanpa terkecuali makam sang Nabi. Sedangkan Hitler (1889-1945) dan Mussolini (1883-1945) saja tidak pernah memerangi dan menghancurkan mayat/kuburan. Untunglah ada komite Hijaz dari Nusantara yang mengambil jalan diplomasi agar rezim Saudi tidak menghancurkan makam Nabi. Nah, apakah neo-Komite Hijaz dari kalangan Nahdliyyin milenial dibutuhkan perannya untuk menghentikan para perusak situs-situs kebinekaan dan kerukunan yang terus meresahkan Indonesia sejak reformasi bergulir? Hm…

Memaafkan adalah akhlak mulia teladan sang Nabi. Tidak ada dendam dan angkara murka dalam agama dan kemanusiaan, apalagi dendam politik lima tahunan yang sengaja dibiayai para oligark, para demagog dan bohir-bohir qorunistik yang biasa menggadaikan Indonesia.

Baca Juga:  Pohon Nabi Muhammad SAW

Apabila mau kita renung-insyafi, Rabiul Awal, hari ke-12, Nabinda lahir, hijrah dan wafat di tanggal yang sama. Kalimat tauhid yang tak henti-hentinya dipolitisasi para tempurung jahat itu juga berjumlah 12 huruf (لا اله الا الله) dan 12 berikutnya (محمد رسول الله), bahkan sehari 12 jam dan semalam 12 jam. Inilah contoh cocokologi yang keren. Apapun itu, baginda Nabi terlalu istimewa untuk tidak kita peringati kelahiran, perjuangan, cara berpikir, pola sikap dan seluruh korpus akhlaknya. Namun, mengapa terus ada kawanan penyamun yang sok membela Nabi, mencintai keturunan sang Rasul justru dengan mengacau negerinya sendiri, kencing di celana sendiri? Jika belum mampu berbuat baik untuk Tanah Air ini, bukankah diam saja dan tidak mengacau sudah cukup wow?

Kini, hampir 1,5 milenium sejak kelahirannya, umat Islam (khususnya) Indonesia senantiasa memperingatinya, membubungkan shalawat dan doa ke angkasa, sampai langit berpesta cahaya. Meski terus ada pemuja selangkangan politik, mantan pejabat dan tokoh nasional yang sengaja merendahkan dirinya demi selangkangan kekuasan, namun mencintai Nabi tak boleh bosan, mencintai NKRI tak boleh berhenti.

Dari pesantren kecil di Kepanjen, secangkir shalawat terhatur untuk kanjeng Nabi, semoga semesta syafaat terpancar dari sang Nabi untuk bumi Pertiwi. Bersamaan dengan Resolusi Jihad, Hari Santri, hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan semoga negeri ini aman damai dan terus bangkit dari ketertinggalan. Mereka yang berbeda, mencaci dan berdusta atas nama agama demi secuil kuasa itu saudara kita. Tugas kita (kalau bisa) adalah mengingatkan, memaafkan, mendidik, mendoakan dan tentu saja tidak menjadi seperti mereka.

Apakah saya sedang membela perilaku kaum barbar alumni gerombolan demo politik SARA yang kelihatannya sedang diberi panggung dan asupan kapital untuk menyusun kuda-kuda politik demi suksesi 2024? Tidak, sama sekali tidak. Saya tidak membenarkan kelakukan mereka di rumah kita, Indonesia. Mereka, dan tentu saja kita, numpang hidup dan cari makan di negara hukum (rechtsstaat) ini. Semua sama di depan hukum. Lagi-lagi ini sabda Nabi. Para perusuh itu juga punya hak hukum, berhak membela diri dan alhamdulilah jika mau memperbaiki diri.

Baca Juga:  Ketum Pagar Nusa: Nabi Muhammad Sang Pemimpin, Kita Menikmati Getaran Cinta di Perayaan Maulid

Ajakan rekonsiliasi dan revolusi akhlak, tentu kita sambut gembira jika misi ini tanpa pretensi dan hipokrisi, bahkan jika oposisi merangkul dan memberi panggung untuk mereka, hal itu justru menyemarakkan demokrasi. Setidaknya, koalisi gendut di Parlemen punya kerjaan untuk rapat maraton dan rakyat punya tontonan. Jujur saja, rakyat sudah malas ke Senayan, makanya kita kirim wakil-wakil kita ke sana. Meski kita tahu, tidak satupun gerakan yang melibatkan banyak orang yang tidak ditulangpunggungi oleh hasrat berkuasa. Dan, sudah barang tentu, infiltrasi asing sangat rimbun pada setiap penggalangan massa. Apalagi yang mereka mau selain Indonesia pecah berkeping-keping seperti Suriah dan Irak?

Namun demikian, Negara ini didirikan atas daulat rakyat, bukan agama tertentu dan apalagi ormas. Oleh karena itu, politisasi agama, politisasi Maulid jelas inkonstitusional. Mengapa Negara seolah diam, takut dan segan? Atau Negara ini sengaja memelihara mereka demi kepentingan elektoral 2024? Tukang ada mandornya, kecerdasan tukang ada aktor intelektualnya. Dan mereka adalah orang-orang bayaran. Dan, betapa tengik dan menjijikkan mereka yang menjual negaranya, bahkan memperjualbelikan Tuhan dengan harga yang murah. Inilah keceman Kitab Suci. Apakah kita tetap harus memaafkan mereka? Bagaimana caranya?

Sementara, kita kembali pada rutinitas dan kewajiban kita: bertani, mengajar, menulis, ke pasar, ke kebun, melaut, ke kantor, dst. Gerombolan perusuh itu memang bak duri dalam daging, para pembuat onar kerkedok agama itu harus dicabut, sebab akan membuat Bangsa ini tidak produktif. Kita tentu masih percaya Negara ini ada. Secangkir kopi untuk negeri ini, secangkir shalawat untuk Nabi. []

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini