Pentingnya Mempelajari Ilmu Qira’at Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Kitab itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju zaman yang terang, serta membimbing kejalan yang lurus. Nabi menyampaikan al-Qur’an kepada Sahabat secara langsung, sehingga mereka dapat memahami dengan naluri jernih. Karna itu, apabila para Sahabat dalam memahami dan membaca, menjumpai ayat-ayat mutasyabihat “menyerupai”, mereka akan menanyakan langsung kepada Rasulullah saw.

Secara historis al-Qur’an telah membutikan kemukjizatannya dalam menjawab tantangan zaman, ia akan tetap relevan hingga akhir zaman. Tentu hal ini membuktikan bahwa al-Qur’an memang benar-benar kalamullah tanpa interverensi manusia. Upaya untuk menjadikan al-Qur’an tetap relevan, yaitu dengan menjadikan al-Qur’an sebagai pusat kajian atau disiplin ilmu, sehingga dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Salah satu pembahasan yang urgen untuk di kaji adalah ilmu qira’at. Disiplin ilmu ini memiliki otoritas tertinggi dalam  menentukan autentitas sumber utama ajaran Islam. Tanpa merujuk terhadap standar yang ditentukan disiplin ilmu seperti ini,  mungkin sumber ajaran Islam tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Secara garis besar ilmu qira’at adalah ilmu yang mempelajari sistem dokumentasi tertulis dan artikulasi lafal al-Qur’an (Wawan Djunaedi, Sejarah Qira’at di Nusantara, hal 5). Hanya saja, ilmu qira’at tidak begitu populer di kalangan kaum muslim. Masyarakat muslim lebih akrab dengan  ilmu “tajwid” sebagai ilmu yang berkaitan dengan bacaan ilmu al-Quran ketimbang ilmu qira’at. Tak heran jika kebanyakan kaum muslim banyak yang tidak mengetahui “Madzhab Qira’atul Qur’an” yang dibaca setiap hari.

Qira’at secara definitif

Secara terminologi qira’at adalah salah satu Madzhab “aliran” pengucapan al-Quran yang dipilih oleh salah seorang Imam Qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan dengan madzhab lainnya (Manna Khalil al-Qattan, studi ilmu-ilmu Quran, hal 247). Banyak dari kalangan para Ulama yang mendefinisikan Ilmu Qira’at, oleh karena itu ada beberapa pendapat Ulama yang penting untuk diperhatikan antara lain :

  1. Abu Syamah al-Dimasqi
Baca Juga:  Objektivitas dalam Beragama dan Perluasan Istilah Islam

Menurut Abu Syamah al-Dimasqi ilmu qiraat adalah :

عِلم القراءت علم بكيفية أداء كلمات القرآن واختلافها معزوّا لناقله

Artinya : Ilmu qira’at adalah disiplin ilmu yang mempelajari cara melafalkan kosa kata al-Quran dan perbedaannya yang disandarkan pada perawi yang mentransmisikannya (Wawan Djunaedi, Sejarah Qira’at di Nusantara, hal 21).

  1. Al-Zarkasyi

Menurut Al-Zarkasyi ilmu qiraat adalah :

القراءات هى اختلاف ألفاظ الحي المذكور في كتابه الحروف أوكيفيتها من تخفيف و تثقيل و غيرهما

Artinya : Perbedaan beberapa lafal wahyu (Al-Quran) dalam hal penulisan huruf maupun cara artikulasinya, baik secara takhfif “membaca tanpa tasdid”, tatsqil “membaca dengan tasydid”, dan lain sebagainya.

  1. Ali Ash-Shabuni

Menurut Ali Ash-Shabuni  ilmu qiraat adalah :

القراءت مذهب من مذاهب النطق في القرآن يذهب به إمام من الأئمّة القرّاء مذهبا يخالف غيره في النطق بالقرآن الكريم و هي ثابتة بأسانيد ها إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم

Artinya : Qira’at adalah salah satu mazhab dari beberapa madzhab artikulasi (kosa kata) al-Quran yang dipilih oleh salah seorang Imam Qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya serta berdasar pada sanad yang bersambung pada Rasulullah saw.

Dari uraian diatas dapat diketahui aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi disiplin ilmu qira’at.  Obyek kajian ilmu qira’at adalah al-Qur’anul al-Karim. Dari segi perbedaan lafal dan cara artikulasinya, dan epistimologinya ialah berasal dari riwayat Rasulullah saw. Sedangkan aksiologinya, untuk mempertahankan keaslian materi yang disampaikan. Hal ini dipertegas dengan pernyataan al-Zarqani didalam kitabnya Manahil al-Irfan yang menyebutkan bahwa, nilai guna al-Qur’an sebagai salah satu intrumuen untuk mempertahankan orisinilitas, sekaligus juga bermanfaat sebagai kunci untuk memasuki disiplin Ilmu Tafsir (Al-Zarqoni, Manahil al-Irfan  fi ulum al-Quran, hal 226).

Baca Juga:  Kontribusi Pondok Pesantren di Masa Awal Kedatangan Islam di Indonesia
Macam-macam Qira’at

Dari segi jumlah, qira’at terbagai 3 (tiga) berikut:

  1. Qira’at as-Sab’ah (qira’at tujuh) yang dinisbatkan kepada 7 (tujuh) imam qira’at yang terkenal yaitu: Nafi, Ashim, Hamzah, Abdullah ibn Amer, Abdullah ibn Katsir, Abu Amru ibn al-Ala, dan Ali al-Kassa’i.
  2. Qira’at al-Asyarah (sepuluh), qira’at yang dinisbatkan kepada imam qira’at tujuh di atas ditambah dengan 3 (tiga) imam qira’at yaitu: Abu Ja‘far, Ya‘qub dan Khalaf.
  3. Qira’at al-Arba’ah, yaitu imam qira’at yang sepuluh ditambah dengan 4 (empat) Imam qira’at yaitu: Imam Hasan al-Basri, Ibn Muhaisin, Yahya al-Yazidi dan al-Syambuzi (Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz 1, hlm 416-417).

Dari segi sanad qira’at terbagi 6 (enam) macam/tingkatan berikut:

  1. Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh banyak orang (periwayat) yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta, dan sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Kategori ini menurut jumhur Ulama adalah qira’at sab’ah. Contohnya: QS. al-Fatihah 1:4 ماَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ)) Imam Ashim membacanya dengan tanwin dhammah pada huruf kaf كُ sedang yang lain membaca sebagaimana dalam teks.
  2. Masyhur, yaitu qira’at sahih sanadnya sampai kepada Rasulullah saw, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, hanya diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang adil dan tsiqah, sesuai dengan bahasa Arab dan sesuai dengan rasm Utsmani serta terkenal dikalangan ahli qira’at. Qira’at macam ini dapat digunakan dan boleh dibaca pada waktu shalat atau diluar shalat. Adapaun bacaan al-Qur’an pada tingkatan ini adalah bacaan yang dibangsakan kepada tiga imam qira’at, yaitu Abu Ja’far ibn Qa’qa al-Madani, Ya’qub Khadrami, dan Khalaf ibn Hisyam al-Bazzar. Contoh QS. al-Fatihah 1:7 صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَYa’qub al-Hadrami membacanya dengan dhammah pada huruf mim غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمُ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ  Sedangkan yang lain membacanya seperti yang tertulis dalam teks lafad aslinya.
  3. Ahad, yaitu qira’at yang sahih sanadnya, tetapi menyalahi (tidak sesuai) dengan rasm Utsmani dan kaedah bahasa Arab serta tidak terkenal seperti kedua tingkatan qira’at di atas. Qira’at macam ini tidak dapat digunakan dan tidak wajib menyakininya.
  4. Syaz, yaitu qira’at yang sanadnya cacat (tidak sahih) dan tidak bersambung sanadnya kepada Rasulullah saw. Qira’at ini tidak bisa dijadikan pegangan dalam membaca al-Qur’an.
  5. Maudhu’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya, dibuat-buat dan dinisbatkan kepada seseorang tanpa dasar. Qira’at ini juga tidak diakui keabsahannya.
  6. Mudraj, yaitu qira’at di dalamnya terdapat tambahan qira’at sebagai penafsiran al-Qur’an seperti qira’at Sa‘ad ibn Abi Waqqas وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌdengan menambahمِنْ اُمٍّ  pada akhir kalimat tersebut (Halimah B, “Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya dalam Istinbaht Hukum” dalam Al-Risalah, Volume 19 Nomor 1 Mei 2019, hal 97-108).
Baca Juga:  Interpretasi Psikologi dan Hukum Islam dalam Memandang Lawan Jenis

Jadi macam-macam dan tingkatan qira’at di atas yang termasuk bacaan yang sahih dan boleh diamalkan bacaannya adalah qira’at mutawatir dan masyhur, sementara qira’at ahad, syaz, maudhu’, dan mudraj adalah yang tidak sahih dan tidak boleh diamalkan bacaannya. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pustaka