Pengabdian dan Pekerjaan

Banyak beredar cerita curahan hati tentang seorang penghafal al-Qur’an yang dulunya ngajar di pesantren, kemudian memilih melamar kerja di sebuah perusahaan. Semua karena perusahaan ini mampu memberi penghargaan berupa materi yang lebih dibandingkan lembaga pendidikan yang notabene berlabel islami. Meskipun terkesan tidak salah, namun pada hakikatnya ada sebuah perbedaan persepsi yang mendasar disini. Yaitu antara pekerjaan dan pengabdian.

Dalam dunia pesantren, ada satu prinsip yang sangat kental bagi para santri, yaitu khidmah. Prinsip ini didasarkan pada dawuh: “Wahai dunia, layanilah orang yang melayaniKU. Dan perbudaklah, orang yang melayanimu “. Jadi, memang sangat layak dan umum bila seorang santri berkhidmah.

Kemudian yang perlu difahami bahwa pada dasarnya Pesantren adalah tempat mengabdi bagi para santri, maka akan menjadi salah tujuan bila dijadikan tempat mencari materi dunia. Inilah kenapa di Kwagean, bapak tidak pernah berani melarang santri yang akan boyong, meskipun santri tersebut masih sangat dibutuhkan Pesantren. Apabila memang sudah tidak bisa melanjutkan pengabdian maka bapak tidak berani melarang mereka untuk boyong. Dengan alasan, bapak merasa belum mampu mencukupi kebutuhan mereka, apalagi yang sudah berkeluarga. Dan juga, bapak berfikir bahwa kecukupan adalah relatif. Maka tak heran bila hingga saat ini bapak belum pernah secara sengaja menahan seseorang untuk tidak boyong, dan berjanji memenuhi kebutuhannya. Kalaupun ada yang bertahan tidak boyong, biasanya karena keinginan dan atau persetujuan sang santri sendiri.

Untuk masalah pemenuhan kebutuhan yang berupa materi, bapak selalu mengingatkan tentang pentingnya ilmu tentang pekerjaan yang menghasilkan materi dunia. Sebagaimana dawuh: “ Bila ingin mendapatkan dunia, maka harus belajar dan menguasai ilmu dunia. Pun bila ingin mendapatkan akhirat, maka harus belajar ilmu akhirat. Bahkan bila ingin mendapatkan keduanya, yaitu dunia dan akhirat, tetap harus mempunyai ilmunya “.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (4): Wawancara Eksklusif dengan Alissa Wahid

Berangkat dari hal ini, maka akan sangat berbahaya, bila mempelajari al-Qur’an dan atau menghafalnya namun bertujuan mendapatkan gaji yang cukup darinya. Ini namanya sudah salah niat sejak awal. Karena hampir semua kiai sepakat, bahwa mempelajari al-Qur’an dengan tujuan mendapatkan materi dunia setelahnya adalah salah. Bahkan berbahaya. Karena bisa masuk dalam kategori orang-orang yang menjual ayat Qur’an demi materi yang sedikit.

Bila ingin mendapatkan materi dunia, maka seorang santri selayaknya belajar dan mengamalkan ilmu dunia. Seperti bertani, berdagang, dan atau ilmu lainnya. Ini sesuai dengan keterangan dalam ngaji ihya’ yang diterangkan bapak beberapa hari yang lalu: “Gak popo lek mulang ancen gae golek bayaran. Tapi yo ojo arep-arep bayaran akhirat. Dadi lek isuk mulang neng sekolahan, arep-arep gaji. Ko golek dalan liane gae golek ganjaran akhirat. Koyok to bengine ngulang ngaji, seng digoleki ganjaran akhirat e tok. Yo ra popo ngono iku (tidak apa-apa kalau memang mengajar untuk mencari gaji. Tapi ya jangan kemudian mengharapkan bayaran akhirat. Jadi kalau pagi mengajar di sekolahan, demi gaji. Lantas kemudian mencari jalan lain untuk mencari pahala akhirat. Seperti mengajar ngaji di malam harinya, dan niatnya murni untuk mengharap bayaran akhirat. Yang seperti ini tidak apa-apa)”.

Hal seperti ini seringkali diterangkan juga dipraktekkan oleh bapak di Kwagean. Dengan tujuan agar para santri faham, bagaimana nanti menentukan sikap dan langkah ketika sudah kembali ke rumah. Tidak hanya kepada santri, bapak juga menata anak-anaknya dengan penataan yang sama. Kami diharuskan ngajar ngaji, dan juga diharuskan punya usaha atau pekerjaan lain yang bersifat materi dunia. Seperti buka kantin, laundry, ataupun usaha lain yang tidak begitu menyita waktu. Semua itu diniatkan agar tenang ketika ngaji. Tidak harus ngaji sambil resah memikirkan kebutuhan dapur, karena sudah tercukupi oleh hasil usahanya.

Baca Juga:  Cium Tangan Bolak Balik, Salah Satu Kebiasaan Santri

Meskipun toh begitu, tapi pesantren juga harus faham, bahwa mereka adalah tempat menyebarkan ilmu agama, bukan tempat mencari kekayaan. Bila ada kelebihan biaya yang dibutuhkan dari pembayaran santri, maka sudah selayaknya bila kelebihan itu dikembalikan untuk kesejahteraan pesantren. Entah itu untuk menambahi kesejahteraan guru, menambahi bangunan, ataupun keperluan lain yang berhubungan dengan kebaikan pesantren. Memang kita tidak bisa menilai dari luar ukuran kebaikan dan kejujuran pesantren dalam mengelola keuangan, namun para pelaku didalamnya bisa mengukur diri dan jujur pada hati, sejauh mana mereka mengusahakan kebaikan dan keadilan pesantrennya.

SPP atau bayaran bulanan yang mahal, bila dibarengi dengan pelayanan prima, kualitas keilmuan yang mantab, maka adil-adil saja menurut saya. Pun bila SPP dibuat semurah mungkin agar semua kalangan bisa menjangkau, juga sangat baik menurut saya. Yang tidak baik adalah seseorang yang selalu menyalahkan pihak lain yang tidak sama pilihan dengan dirinya.

Setiap pribadi tak layak untuk menghakimi pihak lain, karena kita tidak tahu sejauh mana seseorang berjuang untuk menyebarkan agama dan juga kemaslahatannya. Yang kita bisa hanyalah menghitung diri, sejauh mana kita berusaha untuk baik laku dan jujur hati. Bila ada yang kurang tepat dari diri, koreksi. Bila ada yang kurang baik menurut kita dari orang lain, maka pelajari, dan jadikan perbaikan diri di kemudian hari.

Semoga kita mampu memilih yang baik, dan kemudian dengan jujur berlaku sesuai dengan kebaikan tersebut. []

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Hikmah

    Generasi Qurani

    اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَق َ(1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَق ٍ(2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah