Piagam Madinah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk membangun toleransi di tengah-tengah kehidupan masyarakat plural – Rochmat Wahab

Piagam Madinah (Bahasa Arab: صحیفة المدینه, shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah. Suatu dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku dan kaum penting di Yasthrib (kemudian bernama Madinah). Dokumen ini disepakati pada 12 Ramadan tahun 1 Hijriah atau 622 M. Dokumen ini hingga kini selalu menjadi rujukan banyak bangsa dalam membangun kehidupan yang rukun, damai dan toleran.

Piagam Madinah membuktikan kepada dunia, bahwa Islam adalah sebagai agama perdamaian dan persaudaraan. Piagam Madinah yang memuat kesepakatan diantara kabilah-kabilah di Madinah yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW telah mampu menjadi common platform dari kemajemukan atau heterogenitas masyarakat Madinah.

Piagam Madinah yang berisi 47 pasal disusun yang sejelas-jelasnya yang orientasi utamanya untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani ‘Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak dan kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas lain di Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.

Selanjutnya Piagam Madinah membuktikan kepada dunia, bahwa Islam adalah sebagai agama perdamaian dan persaudaraan. Secara tidak langsung ini adalah upaya untuk membangun toleransi diantara umat beragama, Nabi saw hendak menunjukkan bahwa toleransi perlu dibangun baik dalam internal agama maupun eksternal agama.

Menurut Munawir Syadzli bahwa prinsip-prinsip ketatanegaraan dan pemerintahan yang termaktub dalam Piagam Madinah terdiri atas: Prinsip Kebangsaan, Prinsip Persatuan dan Persaudaraan, Prinsip Persamaan, Prinsip Kebebasan, Prinsip Hubungan antar pemeluk agama, Prinsip Pertahanan dan keamanan, Prinsip Kerukunan sesama warga, Prinsip Tolong-menolong, Prinsip Pembelaan masyarakat lemah, Prinsip Perdamaian
Prinsip Musyawarah, Prinsip Keadilan, Prinsip Supremasi hukum, Prinsip Kepemimpinan, Dan Prinsip Penegakan kebenaran dan pemberantasan kezaliman.

Hengki Ferdiansyah, Lc. (2017) mengemukakan bahwa Piagam Madinah setidak-tidaknya memiliki empat pesan, yaitu:

Pertama, Mereformasi sistem kesukuan atau kekabilahan. Bahwa Rasulullah saw melalui piagam Madinah memperkenalkan institusi masyarakat baru, yang disebut ummatan waahidah. Yang artinya bahwa landasan membangun keumatan adalah keimanan. Walaupun dari berbagai suku atau kabilah, asal iman atau akidah sama disebut seumat. Dengan begitu disini muncul penghormatan dan respek antar suku atau kabilah.

Kedua, Mengenalkan Konsep egaliter. Piagam Madinah menyatakan bahwa setiap manusia sama tanpa harus dibedakan baik suku, warna kulit, ras maupun agama. Siapa saja yang melanggar baik dari golongan sendiri maupun golongan lain harus dikenakan sanksi. Hal ini secara tidak langsung menandakan karakteristik Islam yang egaliterian. Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada perbedaan terkait dengan kekayaan, jabatan, pangkat, atau jenis kelamin.

Ketiga, Mengenalkan konsep kebebasan. Piagam Madinah menghargai konsep kebebasan dengan sangat tegas. Orang Islam, orang Yahudi, dan beragama lainnya bebas untuk menekuni agamanya sendiri. Tidak dibolehkan memaksa orang lain untuk mengikuti agama kita. Menghargai pilihan agama sangat diutamakan. Langkah ini dapat menjaga timbulnya konflik. Karena itu sikap toleransi menjadi sangat penting.

Keempat, Mengusung keadilan. Piagam Madinah menunjukkan adanya keadilan perilaku Nabi SAW terhadap muslim ataupun non-muslim. Perjanjian damai yang adil antara kaum muslimin dan yahudi pada waktu itu, semestinya membuahkan hasil yang konkret seandainya tidak dirusak oleh tabiat kaum yahudi yang suka menipu dan khianat.

Pada hakekatnya nilai-nilai Piagam Madinah sangat menginspirasi perumusan Pancasila dan UUD 1945. Nusantara sudah tidak lagi dikuasai oleh suku atau agama tertentu atau mayoritas, melainkan sudah dibungkus dengan Indonesia, yang filsafat dan pandangan hidupnya Pancasila. Dengan Indonesia yang berdasarkan Pancasila sekali dari awal memberikan penghargaan yang sesuai dengan prestasi, tanpa memandang suku, ras dan agama. Perbedaan yang ada diawalnya, dapat disatukan pada akhirnya. Karena itu seterusnya kita wajib utamakan kesamaan dengan tetap respek antar sesama. Tidak ada lagi mayoritas dan minoritas yang merugikan. Namun masih dimungkinkan mayoritas dikedepankan untuk mengefisienkan upaya penyelesaian terhadap persoalan yang dihadapi untuk pada akhirnya diharapkan hasilnya untuk kemaslahatan bersama.

Pemahaman inilah yang seharusnya dimiliki oleh umat Islam Indonesia. Jika bisa diupayakan berbagai prinsip Piagam Madinah dalam membangun Indonesia kedepan, maka rasanya optimis bahwa Indonesia pada saatnya bisa terwujud sebagai negara yang baldatun thayyibatun warabbun ghafuur. Karena jika pemimpinnya jujur dan adil, maka insya Allah kondisi dan atmosfir Indonesia akan semakin menyejukkan, damai dan makmur. Yang terjauhkan dari konflik dan fitnah yang merusak tatanan kehidupan. Wallahu a’lam bish shawaab. [HW]

01229
Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini