Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Sebuah tradisi yang terus dilakukan secara terus menerus akan melahirkan sebuah kebudayaan. Keterikatan batin yang kuat antara anak cucu dengan leluhurnya seperti mata rantai yang saling meronce bertautan.

Seluruh keinginan bahkan untuk hal apapun selalu memprioritaskan dan mengkhususkan sajian yang terbaik. Bahkan ada yang mengkhususkan dalam menghormati leluhurnya dengan memberi tempat peristirahatan terakhir di atas bukit sebagai tempat yang tinggi dan luhur.

Kalau ada ungkapan “kita fokus pada objeknya” ketika mengkaji maupun meneliti benda yang diduga obyek cagar budaya ini sepertinya informasi dan ungkapan ini kurang jangkep dan perlu belajar kembali. Sebab seluruh aspek yang melingkupi benda-benda yang bernilai sejarah dan berada di  masyarakat, harus juga dikaji aspek sosialnya.

Kalau kita hanya terpaut pada bendanya saja jadinya terperosok pada benda juga. Bahwa kita ini terjebak dengan materi dimana mendewakan kemajuan pengetahuan yang katon-katon (materi). Dimana sebenarnya dibalik itu semua ada spirit dari leluhur yang dapat di tekuni dan di perjuangkan tentunya.

Namun kita tak dapat mengaksesnya karena kita terjebak pada barang katon, wadah kita belum bisa untuk mewadahi ketika ingin menggali itu semua seperti aspek sosial, aspek kebudayaan, dan sebagainya yang lebih dalam, anehnya yang mengaku tim ahli pun melalaikan hal itu. Entahlah.

“Jika kita minum air, maka kita harus selalu ingat kepada sumbernya,” Berdasarkan pepatah tersebut, jika dikaitkan dengan kehidupan manusia maka kehidupan yang kini dijalani tidak akan ada jika tidak berasal dari leluhur. Oleh karena itu, manusia harus tetap mengingat dan bersyukur akan kehidupan yang dijalani dengan menghormati leluhur.

Dengan melanjutkan perawatan dan melestarikan laku bakti atau yang berbakti itu memberi perawatan. Bukan sekadar memberi penanda identitas dan status sosial orang yang dikubur, tapi juga bentuk penghormatan manusia yang hidup kepada mereka yang telah meninggal. yaitu komplit dengan nisan maupun kijing dan tentunya dengan nyekar, membersihkan makam.

Baca Juga:  Bagaimana Puasa Kita Pasca-Ramadan?

Terkait dengan pemberian hormat bekti kepada mbah-mbahnya dan leluhurnya ini adalah ikhtiar yang belum apa-apa dibanding perjuangan yang di telurkan oleh beliau sehingga bisa hidup dengan ayem-tentrem seperti saat ini. kita ini adalah bagian dari tirakat mbah-mbah dulu, namun malah kita melupakan atau perjuangan itu di hapus oleh sejarah itu sendiri.

Beliau-beliau ingkang sumare, yang telah disemayamkan tentunya legowo dan lapang dada atau nyegoro, tak apa-apa ketika tak ada tanda atau pathok, nisan atau apapun. Beliau sudah tentram dan tenang bukan sebuah masalah, tetapi kita ini sebagai anak cucu yang memiliki ikatan batin yang kuat memiliki chemistry dengan leluhur mosok tak ingin menghormati, dan memperjuangkan selain dengan memberi tanda tentunya doa terus menerus di langgengkan setiap saat. Umbul dungo selawase.

Maka dari itu ada nyekar, nyadran, khaul dan sebagainya menjadi bagian penting Sebab, tradisi ini menjadikan sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta.

Kita pun belajar dan diajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu. Seperti dalam istilah Jawa yang mengatakan “Mikul dhuwur mendem jero” yang kurang lebih memiliki makna “ajaran-ajaran yang baik kita junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita tanam-dalam”. Wallahu a’lam bishowab. Linnabi lahumul Fatihah. []

Mukhamad Khusni Mutoyyib
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, berminat dalam kajian sejarah dan Kuburan Kuno.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini