Menyemarakan Usul An Nahw di Indonesia

Di lembaga pendidikan Islam Indonesia, seperti pondok pesantren, madrasah dan perguruan tinggi Islam, istilah naḥw sangat familier. Bahkan, khusus di kalangan pesantren, kemampuan naḥw merupakan salah satu syarat utama menjadi atau disebut kiai. Maka tak heran jika naḥw selalu menjadi materi pelajaran favorit di lembaga ini.

Hingga muncul ungkapan, inna aṣ-ṣarf umm al-ulūm wa an-naḥw abūhā (ilmu morfologi/ ṣarf adalah induk ilmu-ilmu pengetahuan, dan ilmu sintaksis/naḥw adalah bapaknya). Alasannya, dari kedua ilmu inilah, seluruh ilmu agama seperti tafsir, hadis, fikih, tasawuf dan lain-lain bisa dipahami.

Umumnya, di pesantren salaf (tradisional) meteri naḥw diambilkan dari kitab-kitab klasik yang berjenjang. Mulai terendah, misal Ajurūmiyyah, dan tertinggi, misal Syarh Alfiyyah Ibn Mālik. Sementara di pesantren khalaf (modern), madrasah dan perguruan tinggi, materi naḥw, umumnya disusun sendiri berdasarkan kitab-kitab klasik.

Pada saat ini penyusunan naḥw secara mandiri yang bersifat praktis untuk kepentingan pembelajaran dari para ilmuwan bahasa Arab semakin masif, misalnya, buku Amsilati dan Metode 33. Ini dilatarbelakangi karena naḥw dari kitab-kitab klasik dianggap kurang aplikatif dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mempelajarinya, sementara kecenderungan karakter para murid pada saat ini lebih suka yang instan.

Selain itu, pembelajaran bahasa Arab yang tidak hanya berorientasi pada kajian keislaman yang lebih intens di kemahiran membaca (mahārah qirāah), juga menjadi penyebab kemunculan naḥwnaḥw praktis itu.

Namun demikian, di lembaga pendidikan Indonesia, pembelajaran dan penyusunan naḥw seperti di atas kurang diimbangi dengan kajian terhadap ilmu yang melahirkan naḥw itu sendiri yang disebut usul an-nahw (epistemologi sintaksis Arab). Padahal, dengan usul an-nahw ini dapat diketahui hal-hal yang selama ini kurang mendapat perhatian.

Baca Juga:  Bagaimana Kerangka Al-Qusyairi Digunakan untuk Menghadapi Masyarakat Indonesia?

Pertama, bisa membedakan antara naḥw teoretik yang dipakai para linguis dan naḥw aplikatif yang digunakan untuk kepentingan praktis seperti pendidikan, politik, sosial, bahkan gender.

Kedua, bisa diketahui persamaan dan perbedaan mazhab-mazhab naḥw yang disertai dengan argumentasi masing-masing. Sehingga kita bisa memilih pendapat yang paling kuat atau kita sukai mengenai perdebatan naḥw.

Ketiga, bisa mengetahui perkembangan dasar-dasar ilmu bahasa Arab, khususnya naḥw mulai klasik hingga modern. Ini sekaligus menunjukkan bahwa naḥw tidak statis, melainkan berkembang layaknya ilmu lain. Di titik ini, akan tampak perpaduan antara linguistik Arab dan linguistik Barat.

Keempat, membantu menyelesaikan problem-problem pembelajaran bahasa Arab, utamanya dalam penyusunan naḥw yang diperuntukkan untuk pembelajaran (talimi) bahasa Arab. Lebih khusus lagi, naḥw talīmī untuk penutur Indonesia. Pada poin terakhir inilah, dengan memahami uṣul an-naḥw secara komprehensif akan membuka peluang memunculkan epistemologi dan naḥw baru yang khas untuk pembelajar Indonesia.

Tentu saja, yang dimaksud uṣūl an-naḥw di sini, bukan hanya dari ulama klasik, melainkan yang sudah dikembangkan oleh nuḥāh modern dan diintegrasikan dengan disiplin ilmu lain seperti filsafat, pendidikan, sosial, psikologi dan antropologi.

Untuk itulah, saatnya uṣūl an-nahw kita semarakkan agar menjadi kajian yang familier bagi pembelajar bahasa Arab, khususnya para mahasiswa bahasa Arab dan santri, dan menambah khazanah kebahasa-araban baik klasik maupun modern bagi penyuka bahasa Arab. [HW]

Khabibi Muhammad Luthfi
Alumnus Pon Pes Raudlatul Mutaallimin Jagalan 62, IKSAB TBS 04 dan Alumnus Doktor Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini