Fungsi Kementerian Agama ada dua. Pertama, melayani urusan agama-agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Kedua, mewakili urusan khusus umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya; bukan hanya soal sejarah tapi memang itu adalah kebutuhan, akan dibahas nanti.

Terkait fungsi pertama, melayani urusan agama-agama. Agama memang menjadi urusan penting di negara demokrasi bernama Indonesia. Setelah reformasi, bahkan “hasrat beragama” semakin meningkat. Suka atau tidak, isu utama dalam Pilpres 2014 dan 2019 kemarin pun adalah isu agama. Maka Kementerian Agama harus ada dan menjadi kebutuhan bagi warga negara Indonesia yang beragama.

Fungsi kedua, agama mewakili urusan umat khusus umat Islam, setidaknya dalam tiga hal. Pertama dalam bidang pendidikan (Islam); kedua dalam pelaksanaan hukum keluarga dan renik-reniknya; dan ketiga dalam beberapa aspek peribadatan yang memang harus melibatkan negara.

Pertama, soal pendidikan Islam. Ini terkait dengan aspek sejarah. Sebagian besar umat Islam memilih jalur nonkooperatif dari sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda, dan berlanjut sampai Indonesia merdeka. Ada dikotomi pendidikan yang dikelola oleh dua kementerian sekaligus: Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Pada saatnya saya yakin dikotomi ini akan lebur. Banyak juga lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang nampak lebih islami.

Kedua, dalam bidang hukum keluarga dimulai dari proses akad perkawinan sampai penanganan sengkatanya oleh para qadi/hakim agama Islam (ditangani oleh pengadilan agama-Islam yang sejak 2006 terpisah secara struktural dari Kementerian Agama) . Ada dikotomi juga di sini; Pengadilan Agama dan Pengadian Negeri. Namun berbeda dengan pendidikan (Islam) vs Pendidikan Umum, dikotomi dalam soal hukum keluarga ini akan tetap ada. Mengapa? Wali hakim dalam prosesi akad nikah, qadi atau hakim dalam peradilan hukum keluarga merupakan kepanjangan tangan dari “ulul amri” yang menjadi prasyarat pengamalan ajaran Islam. Lugasnya, presiden dan Kementerian Agama serta perangkatnya adalah bagian dari konsep beragama Islam.

Baca Juga:  Masih Pandemi, Pemerintah Tidak Memberangkatkan Jemaah Haji 1442

Ketiga terkait dengan beberapa aspek dalam peribadatan yang memang harus melibatkan negara. Islam memang tidak mengatur bentuk negara tertentu. Tidak ada ketentuan mengenai negara Islam, atau apapun. Namun ada ketentuan soal kepempimpinan atau “ulul amri” di atas. Beberapa aspek pengamalan ajaran Islam tidak bisa terlaksana tanpa melalui ulul amri, dan kepenjangan tangan ulul amri di Indonesia adalah Kementerian Agama.

Contohnya adalah penetapan awal bulan Ramadhan untuk mengawali puasa wajib. Ini dilakukan oleh pemerintah atau ulul amri atau Kementerian Agama.

Belakangan soal “beragama dengan melibatkan negara” ini meluas pada urusan haji, zakat-wakaf dan halal. Beberapa aspek pengamalan ajaran atau hukum Islam itu dinyatakan memerlukan negara dan itu melalui perantaraan kementerian agama (Islam).

Sejauh ini proses legislasi beberapa hukum Islam (baca: khusus umat Islam) seperti soal haji, zakat, wakaf dan halal ke dalam sistem hukum nasional itu berlangsung lancar, bahkan lebih lancar dari beberapa aspek hukum yang berkaitan dengan umat agama lain seperti soal pornografi dan minuman keras.

Mengapa bisa ada legislasi hukum Islam di negara Indonesia yang mempunyai banyak agama? Hasil sementara penelitian saya, bahkan diam-diam negaralah yang sebenarnya lebih aktif dalam proses legislasi hukum Islam itu.

Pada zaman orde baru kepentingan negara hanya agar agama Islam dapat mendukung program “pembangunan”. Namun di zaman reformasi, kepentingan negara terhadap pengamalan ajaran Islam (setidaknya untuk empat hal di atas) bisa lebih dari itu. Akan kita bincang ini lain kali.

Terkait dengan pembahasan kita kali ini, Kementerian Agama menjadi pintu masuk atau jalan bagi pelegalan hukum materiil Islam ke dalam hukum formal nasional itu. Ampun Jenderal!

A Khoirul Anam
Dosen UNUSIA Jakarta dan Redaktur NU Online.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini