Menjadi Indonesia selaku bangsa yang lahir dari rahim sejarah panjang dengan segala fluktuasi dan dilematika baik sosial, budaya, agama, politik dan hal-hal yang membungkusnya selalu menjadi cindera mata tersendiri. Kehadiran kata Indonesia bukan datang dari ruang hampa turut membentuk karakteristik bangsa Indonesia.

Mengulas sedikit soal sejarah, bagaimana dulu anismisme dan dinamisme telah menjadi agama purba nusantara yang hadir lebih awal dari agama yang lain yang saat kini kita bisa saksikan dan lihat. Dengan kata lain perjalanan pendewasaan bangsa Indonesia juga sejatinya tak terlepas dari sendi-sendi agama yang menjadi pelajaran dan falsafah hidup.
Perjalanan bangsa Indonesia dalam menemukan bentuk falsafahnya dalam konsepsi bernegara tak terlepas dari apa yang sering disebut sebagai agama.

Agama, bagi bangsa Indonesia menjadi bahan bakar tersendiri guna membentuk satu karakteristik yang bernilai istimewa sebagai kekayaan yang jarang dimiliki bangsa lain. Bagaimana di Indonesia kendati msyarakatnya berbeda agama namun masih tetap rukun dalam berlaku sosial berlandaskan satu prinsip yang sering kita sebut sebagai Bhineka Tunggal Ika.
Bergeser dari hal tersebut, saat ini kita tengah melewati dua momentum unik yang bertepatan pada hari yang juga berdempetan. Bagaimana 30 september sebagai flashback memori bangsa Indonesia atas tragedi yang dipantik oleh PKI, dan juga 1 oktober sebagai hari kesaktian pancasila.

Pada tulisan ini, hemat penulis bukan untuk mengulas kedua soal tersebut tapi lebih kepada bagaimana menanyakan ulang soal pancasila, tentu ada pertanyaan mengapa saya pancasila? dan pertanyaan mendasar mengapa pancasila mampu diterima bangsa Indonesia? yang multikultural, multietnik, multibahasa dan memiliki agama yang heterogen.

Sebagai bangsa ber-agama, pancasila tentu bukan agama, tapi mengapa pula hadirnya pancasila di Indonesia yang dirumuskan atas pemikiran para founding fathers mampu diterima oleh semua agama, pun menjadi pertanyaan selanjutnya yang perlu direnungkan.
Jawaban paling mendasar adalah karena pancasila meskipun bukan agama namun mengandung nilai universal agama sehingga lahirnya pancasila mampu diterima semua agama. Pancasila juga mengandung nilai luhur falsafah hidup bangsa yang darinya mampu diterima semua golongan dari berbagai dimensi sosial masyarakat.

Baca Juga:  Nilai-Nilai Pancasila yang Luhur Tumbuh Subur dalam Bingkai Kebhinekaan Generasi Santri Masa Kini

Selain daripada itu, mengapa banga Indonesia yang mayoritas muslim tidak menerapkan syariat islam sebagai ideologi pun memiliki satu narasi catatan sejarah yang istimewa adalah bagaimana dulu para Founding Fathers menerima penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta lalu menggantinya dengan satu kalimat yang lebih bernilai universal yakni Ketuhana yang Maha Esa yang oleh karena pertimbangan takut terjadi gesekan atas nama agama dan ketidak adilan sebab bangsa Indonesia adalah bangsa pemeluk taat agama dan tidak hanya islam. Islam ketika dipadukan dengan pancasila maka keduanya selaras dan tidak bertolak belakang, bahkan tiap silanyapun mengandung nilai islam seperti sila pertama yang mengandung unsur ketauhidan.

Kemudian bila kita melihat lebih mendalam bagaimana butir-butir pancasila mengandung refleksi sosial yang tinggi menjadi penyebab selanjutnya diterimanya pancasila. Tak hanya itu, dalam butir pancasila juga terkandung nilai kesetaraan, keadilan, cinta tanah air yang selaras dengan karakteristik bangsa Indonesia.

Atas dasar tersebut bila pancasila dikawinkan dengan falsafah atau nilai universal berbagai agama yang ada di Indonesia maka kita akan menemukan kecocokan dan muskil kiranya pancasila bertentangan dengan nilai luhur agama. Keduanya akan selaras sehingga dalam bernegara, kita dapat menjadi warga yang beradab.

Maka hemat penulis, selaku manusia yang hidup di zaman katakanlah milenial atau ada yang menyebutnya generasi Y, penulis dengan teguh dan tegar bahwa pancasila adalah saya, tentu hal tersebut bukan satu bentuk laku arogansi namun bagaimana selaku bangsa beradab kita patut bangga atas ideologi tersebut yang mampu menjadi payung bagi semua. Kendati hingga saat ini masih hidup dan eksis tokoh-tokoh eks ormas islam terlarang yang telah dibubarkan oleh pemerintah lewat perpu ormas msih terus menyuarakan Negara transnasional atau khilafah yang dulu diusungnya, namun hal itu tidak menjadi pengaruh untuk bercerai dengan pancasila lalu meminang ideologi khilafah tersebut.

Baca Juga:  Benarkah Allah Menjanjikan Kembalinya Khilafah?

Pada peringatan kali ini, maka penting bagi kita, sekali lagi saya katakan penting untuk menanyakan ulang apa nilai pancasila dan bagaimana ia lahir dan hadir ke dunia bernama Indonesia yang tentunya kelima asas tersebut bukan hanya kalimat yang ditulis tanpa pertimbangan atau pemikiran yang besar serta refleksi yang mendalam. Sehingga memperingati hari kesaktian pancasila tidak melulu memposting baik di WA, Instagram, atau akun sosmed lainnya tapi yang lebih penting dan mendasar dari itu adalah kita mampu merenungi dan mnerapkan nilai-nilai luhur pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia dan mengaplikasikannya dalam kegiatan sehari-hari guna terus melajutkan estafet perjuangan para pendahulu dan juga sebagai pijakan untuk membangun masyarakat madani (civil society).

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Santri