Ngalor-ngidul yang dibahas ujungnya kembali lagi ke hakikat manusia. Bertindak salah itu boleh dan memang seharusnya manusia bertindak salah. Mengapa, sebab hakikat manusia ya memang salah. Yang membedakan manusia dengan Tuhannya ialah salah itu sendiri. Muskil kan jika Tuhan melakukan salah.
Bang Haji Roma Irama pun membawa hal ini pada salah satu lagunya yang berjudul “kehilangan tongkat”. Sepenggal liriknya yang sangat mengiang dikepala “Tak seorang pun dalam dunia yang tak pernah berdosa. Karena sudah kodrat manusia tempatnya salah dan lupa. Tapi kalau selalu salah itu sih bukan lupa. Tapi kalau selalu salah itu mah disengaja”
Pastinya ada pertanyaan muncul tentang salah yang dimaksud menurut pandangan siapa. So, pastinya salah disini yang berkaitan dengan vertikal-horizontal hubungan manusia. Dengan Tuhannya dan sesama manusia.
Mencoba mengupas sedikit tentang kesalahan horizontal atau berkaitan sesama makhluk Tuhan. Kita kesampingkan dulu yang vertikal. Hubungan antar sesama makhluk ini pastinya sangat pelik ketika kita bahas dengan remeh. Bukan sebab manusia itu makhluk yang rewel atau banyak tingkah namun lebih pada banyaknya perspektif yang membangun dari masing-masing kepala.
Sebuah maqolah arab menjelaskan yang artinya “tindakan yang buruk itu mudah menular“. Benar, hal tersebut mudah untuk kita temui dalam kenyataan. Namun pernahkah kita berangan-angan tentang perihal apa yang menjadikan tindakan buruk lebih berpotensi menular.
Dalam disiplin ilmu psikologi, sedikit saya mengintip, ada di situ yang namanya “modelling” sebuah teknik dimana kebanyakan manusia itu meniru dari apa yang dilihat dan didengar. Terlebih pada apa yang pernah ditangkap oleh sensor dirinya. Teknik ini mengupas secara rinci bahwa naluri meniru manusia ini memang bawaan lahir. Akan tetapi penyortiran plus minus dari model yang ditiru itulah yang teramat penting.
Cobalah kita berandai tentang terjadinya insiden pembunuhan antar sesama manusia. Tentu jelas jika tindakan ini tergolong dalam kriminal karena menghilangkan sebuah nyawa. Namun jika kita singgung dengan teori diatas pasti akan ada koneksi dengan orang pertama di dunia yang melakukan pembunuhan. Siapa kalau bukan putra dari Nabi Adam as dan Siti Hawa. Tindakan yang dilakukan oleh Qobil terhadap Habil menggambarkan bagaimana tindakan kesalahan yang disini adalah pembunuhan telah terjadi di masa awal adanya manusia di permukaan bumi ini.
Hal tersebut pastinya akan memberi stimulus pada para manusia yang akan melampiaskan kekesalan antar sesama dengan pembunuhan. Membunuh dianggap menyalurkan kekesalan emosional dan dirasa mencapai sebuah titik kepuasan. Justru ini lah yang menjadi sorotan saat ini tentang bagaimana tindakan kesalahan ini memungkinkan untuk terulang.
Kajian yang lebih intens seharusnya tidak hanya berkutat pada sebuah kesalahan itu sendiri. Namun mengapa tindakan yang sudah gamblang salah bisa terulang lagi. Padahal agama sudah mengancam dengan hukuman, di dunia maupun akhirat. negara sudah Mengatur nya sedemikian dalam diktum peraturan. Mengapa hal tersebut masih saja terjadi?.
Fine, boleh saja saat kita melulu bicara pasal pembunuhan itu tindak kesalahan. Namun harusnya kita juga berupaya, setidaknya berpikir langkah apa yang harus dilakukan agar memutus rantai pembunuhan. Muskil, ya itu memang. Namun setidaknya memperkecil angkanya itu jauh lebih baik daripada tak ada upaya apa-apa.
Kita tidak bisa menyalahkan orang yang bisanya hanya ngomong tentang kesalahan itu tindak tercela dan menular. Namun kita yang faham harusnya menoleh pada sisi yang lebih vital terkait pengulangan kesalahan itu sendiri dan upaya preventif jauh lebih mulia dibanding sekedar mencari alasan dibalik kesalahan. [HW]
SubhanaAllah, kita bisa mulai dari diri sendiri untuk menjadi lebih baik dari bagian dunia yang semoga segera membaik.