Menemukan Konsep Sederhana Ilmu Tauhid Melalui Science

Man ‘Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu, Siapa mengenal dirinya, maka akan mengenal Rabb-Nya. Banyak yang mengatakan kalimat tersebut adalah pepatahnya Aristoteles ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah kata dari Jalalludin el-Rumi. Lantas mana yang benar, memang dalam beberapa kitab hadis terutama dalam kitab Kutubut Tis’ah saya tidak menemukan hadis tersebut, jadi bisa dikatakan kalimat tersebut bukanla Hadis Nabi, yang saya tahu adalah maqala tersebut sangat masyhur dikalangan para sufi.

Meskipun menjadi perdebatan, tetapi maknanya juga tidak salah, sebagaimana kita ketahui, banyak mirip-mirip sabda Nabi Muhammad SAW dengan Aristoteles. Seperti hadis Nabi  berikut ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ-صلى الله عليه وسلم- قَالَ (لاَيُلْدَغُ الْمُؤْمِنْ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ). رواه البخاري.

Seorang mukmin itu tidak akan terperosok di lubang yang sama dua kali.”(HR. Al-Bukhari).

Aristoteles juga mengatakan demikian “Orang bijak itu tidak tersandung di batu yang sama”, memang ada kemiripan tetapi tidak lantas menyamakan Aristoteles dengan Rasulullah SAW, melainkan makna dari hadis Rasulullah SAW dan pepatah Aristoteles  hikmahnya sama.

Orang yang kenal dirinya berarti kenal Tuhannya, yang menjadi pertanyaan, siapa di sini orang yang sudah kenal dirinya. Tidak mudah orang mengenali dirinya sendiri. Apalagi jasadnya saja belum kelar, seperti yang kita ketahui, bahwa jazad kita hari ini, bukanlah jazad kita yang dulu, jazad yang dulu sudah habis dan sudah ganti secara berulang-ulang.

Setiap hari 8018 milyar sel manusia rusak akibat beraktifitas, dan ketika malam hari saat kita tidur, sel-sel yang telah mati tersebut diganti dengan yang baru. Dan saat usia saya 20 tahun, badan saya bukan badan saya ketika saya berumur 2 tahun.

Baca Juga:  Pelaksanaan Uji Coba Kompetisi Sains Madrasah Tingkat Provinsi Tahun 2021 Berjalan Lancar

Oleh karena itu, kalau Allah SWT itu mau memberi seseorang umur yang panjang, maka proses pergantian sel setiap hari harus dicetak secara sempurna, dan sering kita ketahui kalau orang sudah tua, itu seperti anak bayi lagi, giginya mulai ompong, seperti saat balita dahulu. Itulah sedikit gambaran bagaimana kita saja belum kenal jazad kita sendiri, dan ini masih dalam hal jasmani belum lagi rohaninya.

Saya yakin orang yang kenal dirinya, pasti kenal Tuhannya. Dalam anatomi tubuh misalnya, mengenal bagaimana leukosityang bekerja secara sporadik saja itu sudah. Dari sini saja kita sudah bisa mengungkap kebenaran Tuhan. Bisa dikatakan analogi tersebut adalah kunci sederhana untuk mengenal Tuhan.

Di sisi lain Science menjadi kunci dalam ilmu Tauhid. Melalui Science kita bisa lebih mudah mengenal dengan semua proses metabolisme yang terjadi di alam ini. Jika ingin belajar Tauhid dari ayat-ayat kauniyah atau nonliter, maka pelajarilah Biologi, Kimia, dan Fisika dengan Matematika sebagai ilmu alatnya.

Pertama adalah Biologi. Biologi memberi peluang kepada manusia untuk mengenal dirinya, fungsi-fungsi organ tubuhnya, mengenai makhluk hidup dan sekitarnya, memahami tabiat hewan dan tumbuhan dengan detail. Bahkan mempelajari makhluk yang bukan tumbuhan dan bukan hewan sekaligus. Makhluk yang sangat kecil yang berada di ambang kehidupan dan ketidakhidupan.

Kedua adalah Kimia. Ilmu yang membuat kita mengerti komposisi dan sifat zat atau “materi” dari skala “atom” hingga molekul. Juga untuk mengetahui perubahan serta interaksi mereka untuk membentuk materi. Misalnya, kita mempelajari udara, faktor paling vital pendukung kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup. Ilmu Kimia akan mengantarkan kita memahami apa unsur-unsur penyususn udara, bagaimana komposisinya, sifatnya, sampai model hubungan unsur-unsur penyusun itu hingga menjadi udara.

Baca Juga:  Agama, Filsafat dan Sains Setelah Pandemi (1)

Ketiga adalah Fisika. Kajian Fisika meliputi gejala alam yang tidak hidup atau materi dalam ruang lingkup ruang dan waktu. Tidak hanya gejala alam yang ada di sekitar kita, tapi juga gejala alam di alam semesta yang maha luas ini. Fisika mengantarkan manusia mengenal apa sebenarnya matahari, bumi, galaksi dan lain lain yang di bahas dalam ruang lingkup Astrofisika

Lantas, apa hubungan mempelajari ketiga ilmu di atas dengan ilmu Tauhid? Baiknya saya beri contoh saat pada masa Nabi Musa a.s. dengan para ahli ilmu sihir Fir’aun. Tentu kita masih ingat kisah Nabi Musa a.s. berbantah-bantahan dengan para penyihir Fir’aun yang terkenal sakti dan tidak ada tandingannya. Ditengah perdebatan itu para penyihir Fir’aun akhirnya menantang Musa untuk beradu ilmu, singkat cerita, mereka melemparkan benda-benda mereka seketika benda-benda itu berubah menjadi ular.

Nabi Musa a.s. bingung menghadapi kesaktian para penyihir Fir’aun. Dia tidak memiliki latar belakang ilmu yang berkaitan dengan sihir sama sekali. Maka, Nabi Musa a.s. berdoa kepada Allah SWT agar diberikan jalan keluar. Saat itu pula Allah SWT memerintahkan Nabi Musa a.s. agar melemparkan tongkatnya ke tengah kerumunan ular itu. Musa segera melakukannya, tiba-tiba tongkat Nabi Musa a.s. berubah menjadi Ular yang sengat besar dan memakan ular-ular para penyihir Fir;aun.

Seketika para penyihir itu terduduk. Mereka bersujud dan mengakui kehebatan Tuhan Musa. Sebab, tidak ada yang lebih sakti daripada ilmu  penyihir itu kecuali memang benar-benar kekuatan luar biasa, kekuatan Tuhan. Maka, para  penyihir fir’aun bersyahadat kepada Allah SWT dengan mengabaikan hukuman mati Fir’aun yang diancamkan kepada mereka.

Jadi apa hubungannya dengan mengenal diri kita dahulu, sehingga bisa mengenal Allah SWT. Jadi para penyihir Fir’aun sudah belajar ilmu tingkat tingi dan tidak mungkin ada yang lebih hebat lagi dalam ilmu sihir mereka. Sehingga, mereka bisa membedakan sampai batas mana kemampuan manusia. Karena itulah, saat berhadapan dengan fenomena didepannya mereka melihat itu diluar batas kemampuan manusia dan tidak ada kemungkinan lain kecuali perilaku Tuhan yang maha sakti. Maka, mereka pun mempersaksikan kebesaran Allah Tuhan sekalian alam melalui ilmunya.

Baca Juga:  Tentang Sains (2)

Demikian halnya dengan kita saat ini. Terbuka kemungkinan bagi kita, untuk yang belum mengenal diri kita sendiri, untuk melihat batas antara perilaku alam yang bisa mandiri mengolah dirinya sendiri atau sebenarnya ada programmer yang membangun system operasi berjalannya alam semesta ini, yaitu Allah SWT. []

Ferdy Pratama
Mahasiswa S1 Ilmu Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya, Santri PP. Asy-Syafiiyah Ndresmo Surabaya.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini