Era media sosial yang kita jalani saat ini memberikan berbagai kemudahan dalam belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kita dapat belajar apa saja hal yang kita ingin ketahui, dan kita dapat belajar kepada siapa saja tentang apa yang ingin kita ketahui, mulai dari masalah ekonomi, sosial, budaya, hingga agama.
Di keadaan yang seperti ini, kita dapat menyelami samudra keilmuan melalui beberapa platform yang ada di dalam smartphone kita, kita bisa belajar melalui instagram, yang di dalamnya kita disajikan gambar, poster, infografik, hingga video yang memiliki muatan ilmu, begitu juga dengan facebook dan twitter, dua yang terakhir ini kita bisa membaca gagasan dari siapapun beranda dan timeline yang ditulis oleh pemilik akun, berbeda lagi dengan YouTube yang khusus berisi video.
Tentu di era yang demikian seseorang dapat dengan bebas dan mudah untuk menulis apa saja yang ada dalam gagasanya, menyebarkan segala sesuatu yang ia dapat, serta membaca semua tulisan yang dihidangkan oleh media sosial. Tentu hal ini mempunyai sisi negatif jika tidak dibarengi dengan otoritas keilmuan yang memadai, sehingga tulisan yang dihasilkan nanti dapat menggiring pembaca kepada informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, tidak hanya tulisan, begitu juga video dan poster-poster yang berkeliaran di media sosial, jika sang kreator tidak selektif dalam memilih sumber, maka akan menjadi malapetaka bagi penikmat konten.
Kurang lebih hal seperti ini yang membuat Nadirsyah Hosen, Rois Syuriah PCI NU Australia dan New Zealand sekaligus pengajar Monash Law School di Monash University Australia menuliskan karyanya menjadi buku yang berjudul “Tafsir Al-Qur’an di Medsos“. Persoalan yang mendasar adalah dengan kebebasan orang dalam menulis atau berbicara tentang suatu perkara, jika tanpa didasari otoritas kelimuan yang menjadi bidangnya, kemudian dibaca oleh orang awam, maka hal ini tentu menjadi masalah, terlebih hal yang dibahas berhubungan dengan tafsir Al-Qur’an.
Buku yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka ini merupakan kumpulan catatan yang ditulis oleh Gus Nadir melalui media sosial, kemudian selanjutnya diolah untuk diterbitkan menjadi buku. (hlm.vi).
Al-Qur’an tidak bisa dipahami secara asal-asalan, mengingat digunakanya gaya bahasa yang tinggi dalam Al-Qur’an, maka butuh sebuah perangkat khusus untuk memahaminya. Dibutuhkan ilmu-ilmu pendukung untuk kita dapat melakukan penafsiran terhadao Al-Qur’an seperti ilmu tafsir, ilmu lughah, ulumul qur’an, balaghoh dan lain sebagainya.
Selain itu turunnya ayat-ayat Al-Qur’an diiringi oleh konteks yang melatarbelakanginya, mulai dari tempat turunnya ayat tersebut hingga faktor sosio-historis yang terjadi pada waktu itu, oleh karena itu pemahaman mengenai ayat-ayat Al-Qur’an sangatlah kompleks. Inilah mengapa dalam menghadapi teks kita tidak boleh terpaku padanya, namun juga harus melihat konteks yang terjadi dalam masyarakat, sehingga tafsir yang dikeluarkan akan lebih relevan dengan perkembangan zaman, karena Al-Qur’an sendiri harus mampu dijadikan untuk menjawab tantangan zaman, menyelesaikan problematika-problematika yang muncul baru-baru ini.
Para ulama telah memberikan formulasi bagi siapa saja yang ingin menggali samudra hikmah yang terdapat di dalam Al-Qur’an, dengan menggunakan suatu ilmu bernama Ulumul Qur’an, yang dapat dijadikan pegangan bagi siapa saja yang ingin menyelami makna yang ada dalam Al-Qur’an. (hlm.7). Dalam Ulumul Qur’an ini kita akan menyelami mulai dari asbabunnuzul hingga munasabah antar ayat yang akan kita gunakan dalam menafsirkan teks Al-Qur’an.
Pemahaman kepada sebuah teks sebenarnya tidak dapat lepas dari tiga hal, yakni pengarang, teks dan pembaca. Pengarang yang luar biasa akan memunculkan teks yang luar biasa juga, namun keluarbiasaan keduanya tidak dapat berarti apa-apa jika pembacanya tidak mempunyai sifat luar biasa juga, semakin cerdas pembaca dalam memahami sebuah teks, semakin cerdas pula jawaban yang diberikan oleh teks itu (hlm.8) Oleh karenanya sebagai orang yang ingin nenafsirkan Al-Qur’an harus benar-benar orang yang memiliki kapasitas yang mumpuni dalam penguasaan ilmu tafsir dan seperangkat ilmu pendukung guna menafsirkan Al-Qur’an
Dalam buku ini pembaca disodorkan tafsiran yang rawan untuk dibelokkan maknanya demi kepentingan suatu kelompok seperti Tafsir QS. An-Nisa (4): 138-139 yang sempat dijadikan dasar hukum ketika musim pilkada datang.
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan peduh, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi awliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka, sesungguhnya semua kekuatab kepunyaan Allah”.
Mereka yang sedang mempunyai hajat politik dengan percaya diri menggunakan ayat ini sebagai dasar ayat ini dalam kontestasi pilkada, padahal jika dilacak dalam kitab-kitab tafsir klasik belum ada yang mengartikan kata “awliya” sebagai pemimpin.
Dalam Tafsir At- Thabari, kata “awliya” diartikan sebagai penolong, kekasih, bukan pemimpin.
Selanjutnya jika melihat Al-Qurthubi dan Al Munir dikatakan bahwa kata “awliya” dalam ayat ini memiliki konteks membantu dalam amalan yang berhubungan dengan agama, artinya berhubungan dengan non-muslim secara baik di luar masalah agama dibenarkan dalam Islam. (hlm.114)
Buku ini cocok bagi siapa saja yang ingin menemukan mutiara dalam Al-Qur’an, ditulis dengan bahasa yang santai, tidak lantas menghilangkan nilai fundamental yang ada dalam karya ini. [HW]