Hari ini (3/4) yang bertepatan dengan 10 Sya’ban merupakan haul yang ke 10 Romo KH. Muhammad Ma’ruf Irsyad. Seorang Kiai yang selama hidupnya mentahbiskan hidupnya istikamah mengajar dan mendidik para santri. Bisa dikatakan, seharian penuh kehidupan beliau diisi dalam dunia pendidikan.
Mulai dari pagi hingga petang, diisi dengan mengajar di pesantren, madrasah, sekolah dan majlis-majlis di kota maupun di sudut-sudut desa-desa. Belum lagi kesibukannya dalam berkhidmah di NU, dan mendatangi pengajian-pengajian umum di berbagai tempat untuk menyampaikan pesan-pesan agama.
Menariknya, hampir sulit ditemui jadwal mengajar tersebut ada liburnya. Bahkan, ketika santri pada pulang lantaran liburan sekolah, beliau tetap mengajar. Meski yang datang hanya beberapa warga kampung, beliau tetap istikamah.
Telisik punya telisik, diketahui bahwa mengajar bagi beliau adalah sebuah jalan hidup. Suatu kebahagiaan bisa mengajar, menyampaikan pesan-pesan ketauhidan dan syariat agama. Bahkan di suatu kesempatan, Bu Nyai Salamah, istri beliau pernah berkisah bahwa, Mbah Yai Maruf itu ketika melihat para santri bersliweran di pondok itu sangat bahagia sekali. Dalam bahasa sederhananya “ngademke ati”.
Tidak hanya mengajar dengan menyampaikan pesan dalam bentuk verbal, tetapi Kyai Maruf juga meneladankan dalam perilaku di sepanjang hidupnya. Shalat Jama’ah tepat waktu menjadi salah satu ibadah yang tak ditinggalkannya, bahkan bisa dikatakan sanga lengkap dengan segala kesunahan yang diajarkan oleh nabi. Mulai dari berpakaian yang pantas, hinggga memakai surban rida’ dan wewangian.
Ketika malam beliau juga sangat sering nampak muthala’ah membaca kitab kuning di ruang tamu ditemani lampu berwarna kekuning-kuningan. Seolah memberi pesan kepada para santri, bahwa dalam hal belajar itu tidak kenal kata usai, tetapi harus terus menerus hingga umur selesai.
Sejalan dengan pesang beliau kepada para santri di suatu ketika “Ojo Mung Puas semono, neng endi wae,,, iso luru seng luweh meningkta, pokok ojo mandeg, bendino kudu bertambah”
Dengan kata lain beliau menganjurkan untuk selalu belajar di manapun dan kapanpun. Bahkan meski tidak mampu untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi atau mondok, belajar harus tetap jalan. Bisa dalam bentuk mengaji ikut majelis-majelis pengajian, muthala’ah dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan lain, Kyai Ma’ruf juga sering berpesan, untuk selalu mengikuti ulama-ulama terdahulu dalam hal agama. Jangan sampai terjebak dengan akalnya sendiri, apalagi yang tidak mumpuni.
Belakangan penulis baru pahami, pesan tersebut sangat relevan dengan kondisi sekarang ini. Banyak pendakwah karbitan, menafsirkan Alquran tanpa ilmu, menjelaskan agama dengan akal dan hawa nafsunya.
Sepuluh tahun yang lalu Kiai Ma’ruf wafat. Meninggalkan ribuan santri dan segenap jama’ah.
Masih ingat betul hujan tangis dan sesenggukan para santri kala itu. Ribuan pelayat bergumul bergelombang memenuhi jalanan. Mengantarkan beliau ke hariban-Nya. harus ikhlas dan Ridlo karena bagaimanapun adalah ketentuan-Nya.
Pun demikian dengan serangkaian acara haul yang rencanaya dilaksanakan pada hari ini. Harus ditunda lantaran wabah covid-19 yang mendera seluruh dunia. Meski persiapan sudah begitu matang, tapi lagi-lagi harus pasrah dan tawakkal atas segala ketentuan-Nya.
Sebagaiamana pesan Kiai Ma’ruf pada suatu ketika.
Ana urid, wa anta turid wallahu yafa’alu ma yurid”
Kendati demikian, peringatan Haul yai tetap terlaksana, meski dengan cara yang berbeda. Ada yang melaksanakan khataman Alquran di rumah masing-masing, dikoordinir melalui grup whatsapp. Adapula yang melaksanakan tahlilan secara daring, yakni melalui aplikasi zoom sebagaimana para santri yang berdomisili di Jabodetabek. Pun demikian ada yang memperingati haul Mbah Yai dengan bentuk tulisan refleksi yang sederhana.
Apapun bentuknya, semoga bisa menjadi lantaran tersambungnya rasa. Tersambungnya wasilah antara guru dan murid. Lebih dari itu, bisa meneladani apa yang dicontohkannya, mengamalkan ilmu yang diajarkannya dan mendapatkan doa-doanya. Amiin