Membaca Al-Qur'an dengan Sirah Nabi Ala al-Jabiri

Jika ingin tahu bagaimana seorang filosof mendekati al-Qur’an, maka tengoklah Fahm al-Qur’an al-Hakim karya Muhammad Abid al-Jabiri. Pemikir asal Maroko ini meramu karya tafsirnya dalam tiga jilid cukup tebal dengan tata urutan tartib nuzuli: berdasarkan urutan turunnya ayat atau surah.

Jika dilihat dari beberapa karya dan tahun terbitnya, kita dapat melihat bahwa kecenderungan al-Jabiri untuk menyentuh bidang keilmuan al-Qur’an terjadi pada masa-masa akhir hidupnya. Sebelum itu, ia lebih banyak menulis tentang filsafat dan kritik nalar Arab.

Dalam kata pengantar di jilid pertama tafsirnya, al-Jabiri menguraikan bahwa al-Qur’an harus senantiasa dipahami pada setiap masa. Umat Islam harus mencari pemahaman baru dari al-Qur’an seiring dengan kebaruan keadaan di setiap masa, bukan “mengekor buta” pada penafsiran-penafsiran yang telah ada.

Untuk itu, al-Jabiri menawarkan teori “fashl-washl” untuk membaca al-Qur’an. Ia menegaskan bahwa penafsir harus melakukan “Fashl” (pemisahan) teks dari tafsir-tafsir yang ada, bukan untuk membuangnya ke keranjang sampah, tetapi untuk mengaitkannya dengan masa dan tempat di mana tafsir tersebut ditulis. Sehingga dengan itu akan dihasilkan “Washl” (penghubungan) antara kita yang hidup di era sekarang dengan teks al-Qur’an sebagaimana pemahaman aslinya.

Untuk mencapai pemahaman yang diidealkan oleh al-Jabiri ini, terlebih dahulu kita harus memahami sketsa sejarah al-Qur’an. Bahwa al-Qur’an tidak datang secara tiba-tiba dalam satu mushaf yang berjumlah tiga puluh juz, melainkan terdapat rentang waktu sepanjang 23 tahun di mana al-Qur’an mengalami pembentukan (takwin). Dalam masa itu, ayat demi ayat turun dan kebanyakan dilatarbelakangi oleh realitas kehidupan sosial masyarakat yang disebut dengan asbab al-nuzul (sebab turun), yang menjadikan turunnya al-Qur’an berangsur-angsur dan selaras dengan perjalanan dakwah Nabi Muhammad saw serta realita sejarah kenabian (sirah nabawiyyah).

Dalam konteks itu, maka menurut al-Jabiri, al-Qur’an mesti dipahami berdasarkan urutan turunnya al-Qur’an (tartib al-nuzul). Ia mengamini statemen al-Syathibi bahwa “surat-surat Madaniah seyogyanya diturunkan pemahamannya atas surat-surat Makkiyah. Demikian juga surat-surat Makkiyah dan Madiniyyah satu sama lain harus diletakkan pemahamannya berdasarkan urutan turunnya. Kalau tidak demikian, maka tidak sah.”

Menyusun tafsir al-Qur’an berdasarkan tartib al-nuzul (urutan penurunan) bukanlah perkara mudah. Selain memperolehnya yang sukar, terdapat sebagian kelompok yang menganggap upaya tersebut merusak susunan al-Qur’an. Pada kenyataannya, terdapat sebagian sahabat, seperti Ali bin Abi Thalib, yang pernah memiliki mushaf berdasarkan tartib nuzuli, meskipun pada akhirnya semuanya dibakar. Pembakaran ini merupakan kerugian intelektual, karena dengan demikian menjadi sulit melacak kronologi ayat berdasarkan waktu turunnya, padahal itu diperlukan.

Baca Juga:  Suasana Ramadan, Sedari Wajah Mentari Bersinar Penuh Berkah Hingga Wujud Malam Padam Dan Musnah

Dari sini, al-Jabiri berupaya merekonstruksi urutan turunnya al-Qur’an dengan menelusuri riwayat-riwayat yang ada, serta mencocokkannya dengan sejarah kenabian (sirah nabawiyyah). Kita tidak bisa merekonstruksi sejarah kronologi turunnya ayat tanpa data sejarah. Sedangkan data sejarah dalam pembahasan ini hanya bisa dirujuk melalui riwayat yang ada. Namun, di sisi lain, kita tidak cukup hanya mengandalkan riwayat-riwayat tersebut, melainkan harus dikonfirmasi kesesuaiannya dengan asbab al-nuzul dan sirah nabawiyyah (perjalanan kenabian) Muhammad saw.

Di sinilah letak perbedaan metode penetapan tartib al-nuzul versi al-Jabiri dengan ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Detil langkah dan metode al-Jabiri ini dapat dibaca dalam buku Madkhal ila al-Qur’an al-Karim yang ia telah ia tulis sebelum karya tafsirnya.

Upaya al-Jabiri dalam memahami al-Qur’an berdasarkan tartib al-nuzul ini dimaksudkan untuk memeroleh objektifitas dan rasionalitas penafsiran al-Qur’an. Obyektifitas di sini berarti menjadikan teks lebih kontekstual dengan dirinya, dan ini berarti memisahkan dirinya dari kondisi kekinian kita. Sebaliknya, yang dimaksud dengan rasionalisme adalah menjadikan teks tersebut lebih kontekstual dengan kondisi kekinian pembaca.

Al-Jabiri mengidentifikasi masa-masa dakwah Nabi secara sembunyi dan terang-terangan. Ia membaginya menjadi tiga masa: 1) masa dakwah dengan sembunyi, 2) masa dakwah terang-terangan, dan 3) masa penentangan terhadap berhala-berhala Quraisy. Dari pembagian ini, al-Jabiri kemudian mencocokannya dengan ayat-ayat yang mengindikasikan masa-masa itu.

Hasil ijtihad al-Jabiri dalam merekonstruksi tata urutan waktu turunnya ayat-ayat al-Qur’an digunakan sebagai pijakan dalam menafsiri al-Qur’an. Goal yang hendak dituju adalah memperoleh gambaran kronologis dakwah Nabi Muhammad saw dengan cara mencocokkan kronologi takwin (pembentukan) teks al-Qur’an dengan kronologi perjalanan kenabian. Untuk memperoleh hal itu, al-Jabiri menyusun sistematika penulisan tafsirnya dengan rapi. Dengan sistematika tersebut ia berharap para pembaca memperoleh tafsir al-Qur’an dengan sangat jelas. Untuk itulah ia menamainya dengan Fahm al-Qur’an al-Hakim: al-Tafsir al-Wadlih Hasb Tartib al-Nuzul, yang artinya, ‘Pemahaman al-Qur’an: Tafsir yang Jelas Berdasarkan Urutan Turunnya al-Qur’an.’

Baca Juga:  Keutamaan Membaca Al-Qur’an

Al-Jabiri tidak menafsiri kata per kata dari ayat al-Qur’an, tetapi memberikan uraian secara utuh dari setiap surah. Dalam hal ini, ia membagi materi tafsir dari setiap surah dalam tiga bagian: Taqdim (pengantar), Hawamish (komentar), dan Ta’liq (ulasan). Di antara Taqdim dan Ta’liq, ia menyantumkan teks surah yang akan ditafsiri.

Pada poin Taqdim, al-Jabiri memberikan pemaparan singkat mengenai surah yang hendak ditafsiri dengan memperhatikan riwayat-riwayat tentang surah tersebut. Selanjutnya, poin Hawamish (komentar atau catatan kaki) berisi keterangan-keterangan penting agar dapat diperhatikan oleh para pembaca. Sedangkan pada poin ketiga, yakni Ta’liq (ulasan), al-Jabiri bermaksud menutup bahasan tafsir dari setiap surat dengan ulasan-ulasan atau ringkasan serta pendapatnya tentang surat yang sedang dikaji.

Selain format sebagaimana di atas, al-Jabiri juga mengelompokkan surah-surah dalam beberapa tingkatan atau periodisasi. Dari pengelompokan ini, pembaca dapat merasakan adanya ketersambungan atau mata rantai antara satu surah dengan lainnya. Adapun periodisasi tersebut meliputi periode Makkah yang terdiri dari enam marhalah (tingkatan) dan periode Madinah yang terdiri dari satu tingkatan saja.

Adapun rinciannya sebagai berikut: 1) Tentang kenabian dan ketuhanan, yang terdiri dari 27 surah mulai al-Alaq hingga Quraisy, 2) Tentang kebangkitan, pembalasan, dan hari kiamat, yang terdiri dari 10 surah mulai dari al-Qari’ah hingga al-Qamar, 3) Membatalkan perilaku syirik dan kebodohan dalam menyembah berhala, yang terdiri dari 14 surah mulai dari Shad hingga Yusuf, 4) Dakwah terang-terangan dan menjalin hubungan dengan berbagai golongan, yang terdiri dari 5 surah mulai dari al-Hijr hingga Saba’, 5) Pengepungan Nabi dan keluarganya dan hijrah kaum muslimin ke Habasyah, yang terdiri dari 8 surah mulai dari al-Zumar hingga al-Ahqaf, 6) Pasca pengepungan: mempererat hubungan dengan banyak suku dan persiapan hijrah ke Madinah, yang terdiri dari 25 surah mulai dari Nuh hingga al-Hajj, dan 7) Kehidupan Nabi di Madinah, yang terdiri dari 24 surah mulai dari al-Baqarah hingga al-Nashr.

Baca Juga:  Sirah Nabawiyah: Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Di setiap marhalah di atas, al-Jabiri selalu membukanya dengan sebuah pengantar ringkas dengan judul istihlal (pembuka). Sedangkan pada akhir marhalah, sebelum masuk ke marhalah berikutnya, al-Jabiri menutupnya dengan pembahasan cukup panjang dengan judul istithrad wa istisyraf (pembahasan menyeluruh). Pada pembahasan penutup ini, ia menguraikan secara panjang lebar tema-tema yang berkaitan dengan isi dari materi setiap marhalah secara keseluruhan.

Sebagai contoh, pada marhalah pertama yang membahas tentang kenabian dan ketuhanan, al-Jabiri membahas tentang tema akidah yang merupakan ciri khas ayat-ayat Makkiyyah. Dalam kesimpulannya, secara keseluruhan marhalah pertama ini membahas tiga istilah: al-Rabb, Allah, dan al-Rahman. Al-Jabiri menguraikan tema itu dari berbagai sisi. Ia juga berkesimpulan bahwa pada marhalah itu belum terdapat penggunaan istilah al-mu’minun atau al-muslimun. Lalu bagaimana al-Qur’an menyebut para pengikut Rasulullah saw pada marhalah itu? Sebagai ganti mukmin dan muslim, al-Qur’an menyebutnya dengan istilah ‘man tazakka’. Istilah ini terpakai di banyak ayat dari marhalah pertama ini.

Dengan format sebagaimana di atas, al-Jabiri tidak hanya memperoleh urutan takwin (pembentukan) teks al-Qur’an secara kronologis, tetapi juga memperoleh gambaran proses dakwah Nabi dan perjalanan kenabiannya di muka bumi. Melalui kitabnya tersebut ia merasa sedang ‘membaca al-Qur’an dengan sirah Nabi dan membaca sirah Nabi melalui al-Qur’an.

Meski demikian, tafsir al-Jabiri ini tidak lepas dari kritik. Walid Noveihed dalam opininya mengkritik sedikitnya sumber tafsir yang dipakai oleh al-Jabiri, mengingat jumlah tafsir yang ditulis para ulama sangatlah banyak. Sementara di sisi lain, ia memasukkan rujukan-rujukan yang tidak terkait langsung dengan tafsir, kecuali dalam beberapa hal, seperti karya-karya Ibn Rushd dan beberapa karya al-Jabiri sendiri yang bergenre filsafat.

Ala kulli hal, apa yang ditulis oleh al-Jabiri dalam tafsirnya telah memberikan tawaran baru bagi pengkaji al-Qur’an. Jika selama ini metode tafsir kebanyakan menggunakan tata urutan mushaf dan tematik, maka al-Jabiri dalam hal ini menawarkan metode lain, yaitu menggunakan tata urutan waktu turun. Dengan tawaran ini kita dapat memeroleh pola dakwah Nabi secara kronologis dan sisitematis. Wallahu a’lam. []

Ulin Nuha
Pengajar di Darus Sunnah Institute dan Former Pimpinan Umum di Majalah Nabawi

    Rekomendasi

    Tempa Doa
    Hikmah

    Tempa Doa

    Beberapa minggu yang lalu saya menulis tentang menyuburkan lahan perjuangan. Dimana wirid adalah ...

    1 Comment

    1. […] ini, kita kaji satu kata dalam ayat di atas, yaitu al-jubb (sumur). Dalam al-Qur’an kata al-Jubb diulang dua kali, sedangkan kata al-bi’r hanya satu kali disebutkan. Keduanya […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini