Hari raya idul fitri -seperti yang telah kita ketahui bersama- merupakan puncak dari pelaksanaan ibadah puasa ramadaan. Pada malam hari raya Idul Fitri biasanya dilakukan takbir keliling yang sudah menjadi budaya. Hal ini sesungguhnya merupakan manifestasi kebahagiaan setelah berhasil memenangi ibadah puasa, atau sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt atas kemenangan besar yang telah diperoleh setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan selama satu bulan penuh. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Surah al-Baqarah: 185,
وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“…Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (al-Baqarah: 185)
Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy -mufassir kontemporer- dalam kitab tafsirnya, yang dimaksud dengan lafal وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ adalah agar kita bertakbir kepada-Nya, yakni dengan berkata “Allahu Akbar”, kemudian setelah itu agar kita bersyukur kepada-Nya atas nikmat berupa diperintahkannya kita untuk beribadah puasa dan diberikan taufik untuk menjalankannya. (Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy, Khawathiri Hauwla al-Qur’an, Juz. 2, hal. 779)
Takbir kita tanamkan ke dalam lubuk hati sebagai pengakuan atas kebesaran dan keagungan Allah Swt. Kalimat tasbih kita tujukan untuk mensucikan Allah dan segenap yang berhubungan dengan-Nya. Tidak lupa kalimat tahmid sebagai puji syukur juga kita tujukan untuk Rahman dan Rahim-Nya yang tidak pernah pilih kasih kepada seluruh hambanya. Sementara tahlil kita lantunkan untuk memperkokoh keimanan kita bahwa Dia lah Dzat yang maha Esa dan maha kuasa.
Lalu, apa sebenarnya makna idul fitri ?
Kata ‘Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang ‘kembali’ pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.
Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu? Prof. Dr. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Wawasan al-Qur’an” memaparkan bahwasanya hal tersebut dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian. Dalam pandangan al-Qur’an, asal kejadian manusia adalah bebas dari dosa dan suci, sehingga ‘idul fithr -antara lain- berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah Swt maupun sesama manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat al-Qur’an. (Prof. Dr. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hal. 227)
Lebih dalam dari itu, beliau dalam bukunya yang lain, “Lentera Hati” memaparkan bahwasanya ucapan “minal ‘aidin wal faizin“, dari segi bahasa berarti “semoga kita termasuk orang-orang yang kembali”. Kembali di sini adalah kembali kepada fitrah, yakni ‘asal kejadian’, atau ‘kesucian’, atau ‘agama yang benar’.
Setelah mengasah dan mengasuh jiwa -yakni berpuasa- selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagaimana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena -menurut Rasulullah- al-din al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, dan alam. (Prof. Dr. Quraish Shihab, Lentera Hati, hal. 233).
Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri yaitu manusia yang bertaqwa. Syekh Muhammad ibn Umar Nawawi al-Bantani mengingatkan salah satu dari kesepuluh amaliah sunnah Ramadan dalam kitabnya berjudul Nihayah az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, yakni istiqamah dalam menjalankan amaliah Ramadan dan melanjutkan dan lebih meningkatkan amaliah-amaliah tersebut di bulan-bulan berikutnya. Peningkatan semacam itu sejalan dengan makna kata “Syawal” (شَوَّالُ) yang secara etimologis berasal dari kata “syala” (شَالَ) yang berarti “irtafa’a” (اِرْتَفَعَ) yang dalam bahasa Indonesia berarti “meningkatkan”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fitri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah Swt dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh -antara lain- dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat. Selain daripada itu, hendaknya ia juga melanjutkan bahkan lebih meningkatkan kualitas ibadah, amaliah, di bulan-bulan setelah ramadan.
Demikianlah beberapa makna dari idul fitri yang dapat kami hidangkan. Tentunya masih banyak makna yang tidak dapat dihidangkan pada kesempatan kali ini. []