Setiap tanggal 21 April semua perempuan di Indonesia bahkan seluruh bangsa Indonesia merayakan hari lahir salah satu tokoh nasional, tokoh perempuan yang dikenal dalam kancah mancanegara yaitu Raden Adjeng Kartini. Kelahiran kartini di Jepara, Jawa Tengah itu memberikan angin segar terhadap budaya patriarki perempuan jawa pada masa abad ke-18.

Perayaan hari Kartini menjadi momentum bagi semua elemen masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa untuk bersama-bersama mengenang sosok perempuan jawa yang cerdas, yang memiliki semangat memperjuangkan emansipasi wanita dan kesetaraan perempuan.

Namun, ironisnya perayaan Hari Kartini yang dilakukan oleh sebagian orang hanya sebatas pada festival dan aksi panggung memamerkan berbagai jenis model kebaya dan sanggul dengan dibalut riasan khas jawa. Pemaknaan hari kartini seolah-olah hanya euforia semata dengan menampilkan sosok Kartini, perempuan jawa dengan memakai pakaian adat jawa. Kita seolah-olah lupa bahwa dibalik itu semua, ada semangat , nilai-nilai, dan pesan Kartini yang harus selalu kita rawat dan kita perjuangkan bersama.

Perjuangan Kartini pada masa hidupnya

Kartini lahir dilingkungan keluarga bangsawan dan priyayi. Ayahnya yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang Bupati di Jepara. Oleh karena itu, saat kecil dia bisa mengikuti bangku pendidikan di Europese Lagere School (ELS) tidak seperti anak-anak perempuan lainnya (yang bukan dari kasta bangsawan) yang tidak bisa mencicipi bangku sekolah.

Gejolak dan jiwa berontak Kartini mulai saat dia berumur 12 tahun.  Pada saat itu, dia ingin melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi tapi hal itu ditentang keras oleh ayahnya. Saat itu dia harus mulai mengikuti budaya pingitan. Budaya yang tidak memperbolehkan anak perempuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar. Adat keluarga bangsawan inilah yang menjadikan Kartini sedih. Dia merasa bahwa budaya pingitan telah merenggut masa kecilnya, merenggut kebebasannya dalam menempuh belajar setinggi-tingginya, budaya yang telah mempasung dia dalam ketidakberdayaan dan kesengsaraan.

Baca Juga:  Laboratorium Kesetaraan Gender Itu Bernama Pesantren

Jiwa remaja Kartini bergejolak dan tidak menerima semua kondisi tersebut. Dia mulai bangkit dari keterbatasannya. Dia mulai bergerak, menyuarakan ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan melalui korespondensi dengan teman-temannya di Belanda. Kartini merupakan anak yang cerdas dan sudah fasih dengan bahasa Belanda, sehingga dia dengan bebasnya menulis surat berbahasa Belanda, menceritakan kegelisahan dan kegundahan hatinya. Berikut beberapa penggalan surat kartini :

“Saya ingin bebas agar saya dapat berdiri sendiri, tidak perlu bergantung kepada orang lain, agar… agar tidak harus kawin (surat untuk Stella, 25 Mei 1899)” “Saya benci akan kekakuan. Saya gembira pada suatu ketika dapat melepaskan adat sopan-santun Jawa yang sukar (surat untuk Stella 18-8-1899)”

“Bagi saya hanya ada 2 bangsawan, bangsawan jiwa & budi. Bagi saya tak ada yang lebih gila dari pada orang membanggakan gelar kebangsawanannya”.

“Dan mengenai perkawinan di sini, aduh, azab sengsara masih merupakan ungkapan yang terlalu halus untuk itu! bagaimana nikah itu akan lain kalau hukumnya dibuat semua untuk laki-laki dan tidak ada sesuatu pun untuk perempuan (suratnya untuk Estelle)”

Surat-surat yang dilayangkan oleh Kartini kepada teman-temannya merupakan bukti perjuangan kartini dalam menolak budaya feodalisme dan budaya patriarki. Dia berusaha mendengungkan dan menyampaikan pesan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Dia ingin menyampaikan bahwa pendidikan tinggi tidak hanya dimiliki oleh para kaum lelaki saja, tetapi juga menjadi hak bagi kaum perempuan. Dalam kondisi keterbatasannya itu, dari beberapa sumber yang saya baca, Kartini tidak hanya berdiam diri saja, Kartini membuka sekolah diberanda rumahnya, dia mengajarkan pembelajaran membaca, menulis, menggambar, memasak, merenda, menjahit, kerajinan tangan dan budi pekerti. Tidak hanya sampai disitu, Kartini juga tergerak memikirkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Baca Juga:  Hindari Misedukasi

Kartini berusaha mengembangkan kerajinan ukir kayu yang ada di masyarakat dengan melakukan jejaring dan mempromosikan kepada teman-temannya yang ada di Batavia dan Semarang. Kartini juga membuat desain ukiran dengan motif lunglungan (rangkaian) bunga dan macan kurung. Ukiran macan kurung inilah yang menjadi simbol perlawanan dan tekanan hidup pada saat itu.

Pada tanggal 12 November 1903, merupakan peristiwa besar bagi Kartini. Dia diminta oleh ayahnya untuk menikah dengan Bupati Rembang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah beristri. Hati dan jiwanya menolak perkawinan ini, dia menumpahkan segala isi hatinya kepada teman-temannya melalui surat.

Kartini tetap menerima perkawinan ini untuk menjaga marwah dan kehormatan ayahnya. Setelah pernikahannya, dengan izin suaminya dia membuka sekolah untuk melanjutkan perjuangannya dalam mendidik dan membangun peradaban perempuan. Sampai akhir hayatnya, Kartini tetap memperjuangkan keadilan dan kesetaraan perempuan. Salah satu penggalan suratnya kepada Nyonya Abendanon adalah :

 “Walaupun saya tidak beruntung sampai kepada ujung jalan itu, walaupun saya akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Jalan sudah terbuka, dan saya telah turut merintis jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputera”.

Memaknai Hari Kartini di Tengah Pandemi

Tertanggal 2 Maret 2020, Bangsa Indonesia melalui Presiden Jokowi Widodo telah diumumkan bahwa Indonesia menjadi salah satu Negara yang terjangkit pandemi covid-19 (kompas.com). Suatu penyakit atau wabah yang mewabah secara global. Kondisi ini mengharuskan masyarakat Indonesia untuk mengikuti protokol pemerintah demi memutus mata rantai wabah covid-19. Masyarakat Indonesia harus melakukan social distancing dan physical distancing, masyarakat juga harus menjaga kebersihan dan memakai masker. Pemerintah juga menyampaikan kepada masyarakat supaya melakukan WFH (work from home), SFH (Stay at home).

Kondisi stay at home ini meski tidak sama dan tidak serupa dengan kondisi “pingitan” yang dialami oleh Kartini, tetapi paling tidak kita bisa mengambil makna dan pesan dari kedua kondisi tersebut. Kartini, meski dalam keterbatasan “dipingit” dia tetap memperjuangan dan menegakkan keadilan demi kesetaraan. Media yang digunakan oleh kartini dalam gerakannya adalah media tertulis, yaitu melalui pemikirannya yang dituangkan dalam surat. Kartini berhasil mendobrak ketabuan dan kekolotan. Ia menjadi sosok perempuan yang berbuat lebih dari yang dikodratkan.

Baca Juga:  Persoalan Pendidikan di Era Pandemi

Dalam kondisi pandemi ini, kita tetap bisa melakukan tugas-tugas kita meski kondisi stay at home. Apalagi kita sudah diuntungkan dengan berbagai jenis teknologi yang bisa kita manfaatkan dan kita gunakan dengan maksimal. Kita bisa memanfaatkan waktu dan kondisi pandemi ini dengan banyak belajar, banyak membaca, dan menuangkan pikiran serta gagasan kita (seperti yang dilakukan oleh RA. Kartini) dalam rangka meneruskan perjuangan yang sudah dimulai oleh Kartini.

Kita harus candu dan merindu dengan semangat, perjuangan, dan gagasan yang dimiliki oleh Kartini. Dengan candu dan merindu, maka nilai-nilai yang dimiliki oleh Kartini harapannya bisa menjadi laku yang memang patut kita tiru. Mari kita menjadi perempuan dan kader yang “becoming”. Seperti yang dikutip Ibu Saparinah Sadli dalam pernyataan Allport bahwa kita harus jadi manusia “ becoming” yaitu terus bertumbuh, terus berkembang, terus menjadi, sebelum ia akhirnya mati (Sadli: 2010). [HW]

Santi Andriyani
Wakil Sekretaris PC Fatayat NU Kab. Jepara dan Dosen UNISNU Jepara

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan