Manuskrip “Tanbîh al-Mâsyî” dari Lengkong (Kuningan) Abad 19 dan Watak Kosmopolitan Islam Nusantara: Bahasa Arab, Pengarang Aceh, Penyalin Sunda, Terjemah Jawa

————————————————
Berikut ini adalah dua halaman akhir dari manuskrip kitab “Tanbîh al-Mâsyî al-Mansûb ilâ Tharîq al-Qusyâsyî” dan “Kifâyah al-‘Awâm fî Mâ Yajibu min ‘Ilm al-Kalâm”. Manuskrip tersebut berasal dari Desa Lengkong, Kuningan (Jawa Barat) dan disalin pada abad ke-19 M.

Kitab “Tanbîh al-Mâsyî al-Mansûb ilâ Tharîq al-Qusyâsyî” sendiri merupakan karya seorang ulama Melayu-Nusantara asal Aceh yang hidup di abad ke-17 M, yaitu Syaikh Abdul Rauf Singkel (w. 1693). Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab dan berisi ulasan terkait ajaran guru utama Syaikh Abdul Rauf Singkel ketika beliau belajar di Madinah, yaitu Syaikh Ahmad al-Qusyâsyî (w. 1661), sekaligus tanggapan Syaikh Abdul Rauf Singkel terhadap doktrin “wahdatul wujud” yang pada saat itu berkembang di Nusantara, khususnya di Aceh.

Oleh sang pengarang, yaitu Syaikh Abdul Rauf Singkel, teks “Tanbîh al-Mâsyî” diselesaikan penulisannya pada 5 Rabi’ul Awal 1081 Hijri (23 Juli 1670). Melihat konteks masanya, kitab “Tanbîh al-Mâsyî” ini ditulis sezaman dengan kitab “Ithâf al-Dzakî fî Syarh al-Tuhfah al-Mursalah ilâ Rûh al-Nabî” yang dikarang oleh Syaikh Ibrâhîm al-Kûrânî (w. 1690, seorang ulama besar dunia Islam yang berkedudukan di Madinah, penerus dari al-Qusyâsyî), untuk memberikan klarifikasi penafsiran terkait kitab “al-Tuhfah al-Mursalah” karangan al-Burhânpûrî (w. 1620) yang isinya banyak memuat ajaran tasawuf tingkat tinggi dan banyak tersebar di Nusantara pada abad ke-17. Ajaran tersebut, oleh sebahagian pihak di masa itu, dipahami lebih jauh sebagai doktrin “wahdatul wujud”.

Beberapa ulama Nusantara yang hidup pada kurun masa berikutnya ada yang melakukan penyalinan atas kitab “Tanbîh al-Mâsyî” tersebut. Prof. Dr. Oman Fathurrahman yang telah mengkaji dan menyunting teks “Tanbîh al-Mâsyî” (1999) menyebutkan setidaknya terdapat empat buah salinan dari teks tersebut, dua tersimpan di PNRI Jakarta (Indonesia) dengan nomor kode A 655 dan A 101, dan dua lainnya tersimpan di UB Leiden (Belanda) dengan nomor kode Cod. Or. 7031 dan Cod. Or. 7030.

Baca Juga:  Kiai Mutamakkin dan Corak Islam di Nusantara Sebelum Abad ke-20

Ternyata, di luar keempat naskah yang disebutkan oleh Prof. Oman di atas, terdapat juga versi naskah salinan lainnya dari teks “Tanbîh al-Mâsyî” ini. Versi salinan tersebut berasal dari Desa Lengkong, Kuningan (Jawa Barat), yang saat ini tersimpan sebagai koleksi masyarakat atas nama Iim Abdurrohim yang tinggal di desa tersebut. Kini, teks “Tanbîh al-Mâsyî” versi salinan Lengkong telah didigitalisasi oleh project Dreamsea dan diunggah dalam lamannya (https://www.hmmlcloud.org/dreamsea) dengan nomor kode DS 0012 00005.

Tertulis dalam kolofon “Tanbîh al-Mâsyî” versi salinan Lengkong:

وكان الفراغ من كتابة هذه الرسالة تنبيه الماشي في يوم الاثنين سبعة عشر هلالا من الرمضان بعد الألف من الهجرة النبوية صلى الله عليه وسلم

(Telah selesai menulis risalah ini, Tanbîh al-Mâsyî, pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun 1[…?] Hijrah Nabi SAW)

Tampaknya, angka tahun pada kolofon di atas tidak ditulis secara lengkap. Meski demikian, terdapat petunjuk lain yang dapat menuntun kita memperkirakan titimangsa penyalinan tersebut, yaitu pada akhir abad ke-19 M, atau sekitar tahun 1877.

* * * * *
Di dalam naskah bernomor kode DS 0012 00005, terdapat enam buah teks yang kesemuanya adalah salinan (nushûsh mansûkhah). Dari keenam jumlah teks salinan tersebut, “Tanbîh al-Mâsyî” berada dalam urutan ketiga. Keenam teks tersebut adalah: (1) Kifâyah al-‘Awâm [teologi], (2) al-Kailânî [sharaf], (3) Tanbîh al-Mâsyî [tasawuf], (4) Talqîn al-Dzikr [tasawuf], (5) al-Washiyyah al-Jalîlah al-Nafîsah [etika], dan (6) Âdâb al-Dzikr [tasawuf]. Jika melihat karakter gaya penulisan huruf (khath) yang ada pada semua teks salinan tersebut, besar kemungkinan keenam teks tersebut disalin oleh satu orang penyalin (nâsikh) yang sama.

Baca Juga:  Mengapa NU (Tetap) Penting?

Dari keenam teks salinan di atas, hanya tiga yang mencantumkan titimangsa penyalinan, yaitu pada teks “Kifâyah al-‘Awâm” (kolofon lengkap: 7 Jumadil Ula 1294 H), “Tanbîh al-Mâsyî” (kolofon tidak lengkap pada angka tahun: 17 Ramadhan 1[…?]) dan “Âdâb al-Dzikr” (kolofon lengkap: 11 Jumadil Ula 1294).

Tertulis dalam kolofon salinan teks salinan “Kifâyah al-‘Awâm”:

وكان الفراغ من كتابة هذه كفاية العوام وقت الضحى سابع الهلال من جمادي الأولى الذي هو في عام رابع وتسعين ومائتين بعد الألف من هجرة النبي والكاتب أفقر العباد وأحقره وأضعفه أبو موفى في قرية ليغكوغ

(Telah selesai menyalin kitab ini, Kifâyah al-‘Awâm, pada waktu Duha [pagi] tanggal 7 Jumadil Ula tahun 1294 Hijri [21 Mei 1877 Masehi]. Penyalinnya adalah seorang hamba yang paling fakir, paling hina dan paling lemah, yaitu Abu Muwafa di Desa Lengkong).

Sementara itu, dalam kolofon salinan teks “Âdâb al-Dzikr” tertulis demikian:

أحد عشر جمادي الأولى 1294

(11 Jumadil Ula 1294/25 Mei 1877)

* * * * *
Keberadaan salinan kitab “Tanbîh al-Mâsyî” di Lengkong ini tentu saja sangat menarik perhatian. Setidaknya, keberadaan kitab salinan tersebut memanifestasikan sebuah spirit kosmopolitanisme ilmu pengetahuan Islam Nusantara. Kitab tersebut berasal dari abad ke-17 yang dikarang oleh seorang ulama asal Aceh (Singkel), ditulis dalam bahasa Arab, berisi kajian tentang ilmu tasawuf yang merujuk pada pandangan ulama asal Madinah (al-Qusyâsyî), disalin oleh sosok bernama Abu Muwafa di sebuah pesantren di Lengkong (Kuningan, Jawa Barat) yang nota bene berpenutur bahasa Sunda, lalu kitab tersebut diberi terjemahan dalam bahasa Jawa Pegon.

Pesantren Lengkong tercatat sebagai salah satu pusat pendidikan Islam yang terkemuka pada awal abad 19. Kiyai Pesantren Lengkong, yaitu Syaikh Hasan Maolani (1779-1874) terkenal sebagai ulama yang memiliki kharisma dan pengaruh besar sebagai seorang mursyid Tarekat Syattariah (tarekat yang juga sama dianut dan dijalankan oleh Syaikh Abdul Rauf Singkel). Di usia senjanya, Syaikh Hasan Maolani ditangkap oleh pihak kolonial Belanda dan dibuang jauh ke Tondano (Minahasa, Sulawesi Tenggara) hingga wafat di sana. Di Tondano pula, Syaikh Hasan Maolani berjumpa dengan para ulama Jawa buangan pasukan perang Diponegoro.

Baca Juga:  [Ulama Nusantara] KHR. Asnawi Kudus: Pendiri NU dan Kehati-Hatiannya dalam Menerapkan Hukum

G.W.J. Drewes dalam disertasinya, “Drie Javansche Goeroe’s” (Tiga Kiyai dari Jawa, 1925), menyinggung sosok Syaikh Hasan Maolani ini. Sementara Muhammad Nida Fadlan Muhammad Nida’ Fadlan, salah satu cicit keturunan dari Syaikh Hasan Maolani, menjadikan surat-surat Syaikh Hasan Maolani dari Tondano yang diperuntukkan untuk anak-cucu dan murid-muridnya di Kuningan sebagai bahan utama kajian tesisnya yang berjudul “Surat-surat Eyang Hasan Maolani, Lengkong: Suntingan Teks dan Analisis Isi” (FIB Universitas Indonesia, 2015).

Dalam project Dreamsea yang disebutkan di atas, terdapat beberapa koleksi manuskrip peninggalan Pesantren Lengkong yang telah didigitalisasi, termasuk di antaranya adalah manuskrip-manuskrip peninggalan Syaikh Hasan Maolani sendiri.

Melihat angka-angka tahun penyalinan yang ada pada manuskrip di atas, yaitu 1877, maka dapat dikatakan jika keberadaan manuskrip yang disalin oleh Abu Muwafa di Pesantren Lengkong tersebut merujuk kepada masa setelah kewafatan Syaikh Hasan Maolani, sang Kiyai Lengkong (1874). Wallahu A’lam. [HW]

Ahmad Ginanjar Sya'ban
Alumnus Mahasiswa Al Azhar, Dosen UNUSIA Jakarta, dan Peneliti Ulama Islam Nusantara.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Manuskrip