KH. Murtadlo adalah santri seorang kiyai kampung bernama Kyai Kostam dari desa Mororejo.  Meski beliau tidak jauh dari rumah dalam menuntut ilmu, namun beliau berhasil berkat kegigihan dan keseriusan. Beliau termasuk salah satu tentara Hizbullah yang membela dan memperjuangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak hanya membela bangsa dan negara, beliau juga gigih berdakwah menegakkan ajaran-ajaran Ahlussunah Wal Jama’ah An-Nahdliyah.

Perjuangan beliau membela agama, bangsa dan negara tidaklah mudah. Harta, tenaga dan fikiran rela beliau korbankan. Pernah suatu ketika beliau ditangkap, dimasukkan ke dalam penjara, dihajar dan disiksa oleh Belanda hingga gigi-gigi beliau tanggal dan indera pendengaran beliau terganggu. Tak hanya itu, saat pendataan dan pengurusan sertifikat serta kartu keanggotaan Hizbullah dilakukan oleh pemerintah, beliau sengaja tidak mau mengurusinya karena beliau benar-benar ikhlas berjuang untuk bangsa dan negara. Seandainya saja beliau mau menerima maka setiap bulannya akan mendapatkan uang pensiunan dari negara.

KH.Murtadlo menikah dengan Nyai Hj. Aminah dan dikaruniai enam orang anak. Keenam anak tersebut bernama Ahmadun, Khumaedi (KH Syukron), Chudlori, Hj. Suti’ah, Komariyah dan KH. Suyuthi. Seluruh putra-putri beliau dikirim ke pondok pesantren untuk menuntut ilmu supaya kelak bisa meneruskan tongkat estafet perjuangan abahnya dalam mempertahankan kemerdekan bangsa dan negara serta menegakkan ajaran-ajaran Ahlussunah Wal Jama’ah An-Nahdliyah.

KH. Murtadlo merupakan sosok kyai kampung yang sangat sabar, ulet dan gigih menyampaikan nilai-nilai moral kepada masyarakat khususnya masyarakat Mororejo. Setiap hari beliau mengajar di majelis-majelis taklim yang berada di beberapa surau dan masjid di desa Mororejo. Seperti halnya kyai-kyai kampung lain pada zaman dulu, beliau juga istikamah menjaga jama’ah salat fardlu lima waktu dan beliau sendiri yang menjadi imam di surau depan rumahnya.

KH Murtadlo terbilang sukses mendidik putra dan putrinya. Dua putra beliau tumbuh menjadi ulama yaitu KH. Syukron dan KH. Suyuthi. Sepulang dari pondok pesantren Tegalrejo Magelang yang diasuh KH. Chudlori Tegalrejo, KH. Suyuthi mendapat amanah untuk membuka pondok pesantren pada tahun 1982 yang diberi nama pondok pesantren Manba’ul Hikmah. Santri putra pertamanya saat itu bernama Wasmun dari Purwodadi dan santri putrinya bernama Soimi dari Cirebon. Saat ini jumlah santri beliau mencapai seribu lebih yang berasal dari berbagai penjuru daerah di tanah air.

Dua tahun setelah putra terakhirnya tersebut membuka pondok pesantren, selang beberapa bulan kemudian tepatnya pada hari Selasa Kliwon 8 Mei 1984 M/7 Sya’ban 1404 H, KH. Murtadlo dipanggil oleh Allah SWT. Salah satu riyadhoh beliau yang sampai saat ini diteruskan oleh KH. Suyuthi Murtadlo adalah amalan Dalailul Khoirot dan Qiyamul Lail yang saat ini dilaksanakan bersama-sama dengan para santri dalam kegiatan mujahadah setiap jam 12 malam. Sejak beliau wafat pada tahun 1984, setiap tahun haul beliau diperingati setiap tanggal 7 Sya’ban. Untuk tahun ini adalah haul beliau yang ke-37. (HNZ)

Rifqil Muslim Suyuthi
Alumnus Pascasarjana UIN Walisongo Semarang (PP Manbaul Hikmah Kaliwungu Kendal)

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah