Lagu “Kun Anta”: Sebuah Pernyataan Tasawuf (!)

Saya sangat suka mendengarkan lagu “Kun Anta” yang dinyanyikan oleh Humood Al-Khudher maupun dalam bentuk cover oleh orang lain. Setidaknya, hingga kurun waktu 6 tahun pasca liris, lagu itu tetap menjadi lagu favorit bagi saya. Tak hanya lirik dan alunan musiknya yang sedap, lagu itu bagi saya menyiratkan desir dimensi tasawuf. “Kun Anta”, ia memuat arti “Jadilah Diri Sendiri”. Bagi saya, lirik tersebut mencandrakan dimensi tasawuf, sebagaimana dalam beberapa lirik, berupa:

سأكون أنا، مثلي تماما هذا أنا

فقناعتي تكفيني، ذاك يقيني

aku ingin menjadi seperti diri aku sendiri inilah aku,

hal ini kurasakan sudah cukup dan aku sangat pasti

Lirik tersebut tersirat preposisi begini: Saya mulai menyadari saya harus mulai mengenali diri saya sendiri (baca: man arofa nafsahu…..). Mengenali saya ini siapa, dari mana, dan hendak ke mana. Ringkasnya, lirik tersebut mengundang kita untuk membaca ihwal kedirian, memahami hidup, agar hidup ini bahagia. Kata Al-Ghazali, kunci kebahagiaan adalah kenal diri sendiri. Cara yang paling gampang untuk bahagia, ya, dengan membaca diri sendiri.

Lebih lanjut lagi, dalam bagian awal kimiya’ al- sa’adah, Al-Ghazali mengatakan: “ ia yang mengenal dirinya, ialah yang akan merasakan kebahagiaan sejati”. Mungkin, bila selama ini kita tidak bahagia, karena kita tak mengenal diri kita sendiri. Sehingga, kita tidak berusaha menjadi diri sendiri, melainkan berupaya menjadi seperti orang lain. Sebagaimana dalam lirik “Kun Anta”, berikut:

لأجاريهم، قلدت ظاهر ما فيهم

فبدوتُ شخصاً آخر، كي أتفاخر

و ظننتُ أنا، أنّي بذلك حُزْت غنى

فوجدتُ أنّي خاسر، فتلك مظاهر

Ketika ingin bersaing dengan yang lain, aku ingin meniru perwatakan luar dan dalamnya

Jadi aku boleh jadi seorang yang lain hanya untuk berbangga

dan aku sangka jika aku lakukan seperti itu aku akan dapat kelebihan

Tetapi yang kuperolehi hanyalah kerugian di atas perwatakanku ini.

Biasasnya, penyebab dari kita tak bisa mengenal diri kita, kata Al-Ghazali adalah karena tertutup oleh hasrat, oleh hawa nafsu, oleh karakter binatang kita, oleh keinginan mengungguli orang lain, oleh keinginan jadi idola, dan lain-lain. Itulah yang menjadi sebab kita tak mengenal diri kita. Seperti contoh, sebenarnya kita suka memakai sepatu yang biasa dipakai oleh anak sekolah (kualitasnya standar), tapi karena kita tak mengenal diri kita, tergoda untuk tampil lebih keren dari orang lain. Akhirnya kita memaksakan diri membeli sepatu mahal, ketika dipakai tidak nyaman dan berujung tidak bahagia.

Baca Juga:  Tahapan Beribadah Atau Amaliyah Kepada Tuhan: Syariat, Thariqah, dan Haqiqah dalam Pandangan Sufi (Tasawuf)

Semakin kita jernih membaca diri kita sendiri, semakin dalam, semakin ke hakikat sebenarnya siapa itu manusia, hingga menemukan gambarannya Tuhan. Karena memang yang membedakan manusia dengan yang bukan manusia adalah “wa nafakhtu fihi min ruhi” (dalam diri kita ditiupkan ruh Allah dan itu citra gambarnya ruh dalam diri kita gambarnya Allah). Jadi, dengan kital kenal dengan diri kita yang sejati, hakikatnya kita kenal dengan Tuhan.

Bagi saya, satu langkah untuk lebih baik adalah kita harus berani jujur dengan perasaan kita sendiri. Karena bagaimanapun hati nurani pada dasarnya selalu mengarahkan kepada kebaikan. Jika kita sudah menuruti apa kata hati nurani kita, niscaya kita bisa memaknai diri kita, sebagaimana dalam lirik “Kun Anta”:

لا لا لا نحتاج المال

كي نزداد جمالا

جوهرنا هنا

 في القلب تلالا

لا لا نرضي الناس بما لا

ذاك جمالنا

يسمو يتعالى

كن أنت تزدد جمالاً

Kita tidak memerlukan harta

untuk menambahkan kecantikan,

kecantikan dalaman (jauhari) ada di sini

di dalam hati ia bersinar.

kita tidak perlu memandang pandangan orang lain untuk apa yang tidak ada,

yang tidak sesuai dengan kita

itulah kecantikan kita,

semakin bertambah hingga ke atas.

Jadilah diri kamu sendiri pasti akan menambahkan lagi kecantikan yang sedia ada

Kaya hati, itulah kaya senyatanya. Coba kita perhatikan hadits Nabi Saw yakni “Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina) adalah hati yang selalu merasa cukup” (HR.Bukhori). Dari sini seorang insan bisa bertafakkur bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia tak menjamin sebuah kebahagiaan. Menurut Ibnu Baththol, hanya orang yang hatinya qana’ah (merasa cukup) yang mampu merengkuh kebahagiaan.Kita perlu mencintai diri sendiri sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Allah Swt. Mencintai diri sendiri bukanlah suatu kesombongan dan keegoisan, namun hal itu terjadi alamiah atau dalam Islam disebut kodrat.

Baca Juga:  Mawang dan Soal Rasa Tanpa Kata

Mencintai diri sendiri merupakan bentuk cinta dan kasih sayang tanpa syarat yang diarahkan pada diri sendiri, apapun bentuk dan situasinya. Dengan adanya konsep mencintai diri sendiri kita tidak akan mengambil keputusan yang akan merusak apa yang Allah Swt berikan pada kita. Hal ini terjadi karena kita akan menghargai dan menjaga kesehatan fisik dan mental diri sendiri. Mencintai diri sendiri juga merupakan bentuk cinta kepada Allah Swt.

Logika sederhananya, jika kita tidak mencintai diri sendiri, maka kita tidak mencintai Allah Swt. Oleh karenanya, sering-seringlah kita berterima kasih kepada Allah dan diri sendiri atas apa yang telah dilakukan hari ini. Karena setiap bagian badan kita merupakan nikmat dari Allah Swt. Konsep mencintai diri sendiri harus dilihat dari berbagai sisi, tidak lantas kita selalu membenarkan diri sendiri padahal kita salah. Diperlukan sentuhan ilmu agama agar tidak salah kaprah. Mencintai diri yang benar haruslah didasarkan pada cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, karena pada hakikatnya itulah cinta yang tertinggi dan sebenar-benarnya cinta. []

Chubbi Syauqi
Mahasiswa Jurusan Tarbiyah, Prodi Manajemen Pendidikan Islam UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto

    Rekomendasi

    Hikmah

    Ramadan dan Ketakwaan

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini