Laboratorium Kesetaraan Gender Itu Bernama Pesantren

Wabah pandemi memaksa seseorang untuk merubah gaya hal-hal yang biasa dilakukan ke arah kebiasaan baru dengan tak biasa. Seperti iklim pendidikan tinggi yang biasanya lebih pada pola perkuliahan tatap muka, kini dipaksa untuk bisa terbiasa dengan iklim perkuliahan daring. Siap tidak siap, corona memaksanya untuk harus siap.

Mahasiswa belajar atau melakukan aktivitas perkuliahan dari rumah. Tidak bisa dipungkiri, para mahasiswa tatkala dirumahkan tidak hanya berjibaku dengan aktivitas perkuliahan daring. Namun lebih dari itu, mereka juga pasti disibukkan dengan bukti bakti mahasiswa kepada para orangtua masing-masing. Dan hal-hal yang demikian tidak bisa terelakkan.

Mulai dari membantu ibu memasak, bersih-bersih rumah, mencuci piring dan lainnya. Bagi orangtuanya yang berprofesi sebagai petani, juga kadangkala ikut mengurus tanaman di kebun.

Begitu pula dengan saya yang berstatus mahasiswa akhir, saya memiliki waktu luang cukup banyak daripada mahasiswa-mahasiswa tingkat awal, saat kondisi dirumahkan ini. Hal itu membuat waktu-waktu saya di rumah juga lebih banyak digunakan untuk membantu orangtua di rumah. Bantu ibu masak, mencuci piring, nyapu dan lain-lain. Membantu bapak ibu merawat tanaman di ladang yang tak jauh dari rumah.

Apakah saya sebagai seorang laki-laki manakala melakukan aktivitas masak, mencuci piring, menyapu adalah bagian hal yang tabu? Tidak. Tapi ketika saya melakukan aktivitas seperti itu kiranya sedikit banyak sedang belajar atau merealisasikan arti kesetaraan gender, selain bukti bakti kepada orangtua. Di sisi lain kita juga bisa sedikit berupaya menghilangkan akar-akar budaya patriarki yang ada, minimal dari lingkungan keluarga, seperti anggapan bahwa masak hanya untuk perempuan.

Tidak hanya itu, setidaknya ada nilai-nilai yang berhasil saya temukan manakala melakukan aktivitas membantu ibu. Salah satunya saya merasakan kurang nafsunya makan tatkala setelah melakukan  aktivitas memasak. Hal-hal demikian berupaya saya analisis, bahwa kurang nafsu makan menjadi wajar, sebab setelah selesai masak tidak bisa dipungkiri anggota badan akan capek. Hingga mengurangi nafsu makan. Solusinya adalah, menunggu capek badannya berkurang, kemudian baru makan. Dan itu pula nampak yang dilakukan oleh ibu saya.

Baca Juga:  Pesantren Telah Teruji Melahirkan Insan Toleran

Pengalaman kecil ini nampaknya akan lebih mengena dan memunculkan empati, manakala diterapkan bagi orang yang sudah menikah. Misal suami turut bantu masak sang istri, cuci piring, dan lainnya. Kemungkinan besar akan menguatkan sikap saling me-rasa, tidak saling iri perihal sesuatu yang masing-masing dikerjakan. Dan hasil lainnya, budaya patriarki dalam keluarga sedikit demi sedikit akan terpinggirkan.

Pesantren dan Kesetaraan Gender

Membahas kesetaraan gender, saya jadi teringat saat saya mondok dulu. Saya bersyukur merasakan mondok selama tiga tahun saat sedang menempuh pendidikan SMA. Mungkin bagi sebagian orang menganggap waktu tiga tahun adalah waktu yang pendek. Meskipun dengan waktu yang cukup pendek, saya bisa mengambil hikmahnya. Salah satunya adalah hikmah bahwa pesantren sebagai salah satu laboratorium kesetaraan gender itu ada. Santri putra dan santri putri dengan kemandiriannya secara tidak langsung telah disiapkan untuk menghilangkan budaya patriarki yang ada dilingkungan keluarga atau pun masyarakat.

Dulu sebagian santri putra, termasuk saya lebih suka memasak sendiri daripada ngekos makan di warung dekat pesantren. Masing-masing memiliki alasannya mengapa memilih memasak. Salah satunya minimnya pesangon dari orangtua, meringankan beban orangtua, melatih kesabaran, belajar mandiri dan lainnya.

Santri putra yang memilih memasak, masing-masing tim mempunyai anggota. Ada yang satu tim berjumlah tiga orang, lima orang, atau pun tujuh orang, masing-masing bervariasi. Jadwal masak pagi ataupun sore dijadwal, sesuai kesepakatan dari masing-masing timnya. Biasanya disesuaikan dengan jadwal ngaji atau sekolah masing-masing santri.

Setiap pagi, para santri yang memiliki jadwal masak, mereka harus membeli bahan masakan ke pasar. Dengan uang iuran dari para anggota tim, dibelikan sayur bayam, kangkung, tempe, tahu, terong dan bumbu-bumbu masak. Untuk beras biasanya masing-masing anggota sudah membawa dari rumah.

Baca Juga:  Berketuhanan Perempuan #1

Dalam hal ini para santri secara tidak langsung belajar manajemen keuangan, supaya uang iuran bisa digunakan untuk membeli bahan-bahan makanan selama satu bulan. Terkadang jika ingin mau makan enak, misal ikan atau daging ayam, maka besoknya para santri sesama tim harus rela makan dengan sambal terong dan tempe, yang cukup nikmat itu.

Satu ruang dapur di pesantren, pagi sekitar jam setengah enam mulai ramai dengan santri yang sedang sibuk memasak. Ada yang memotong bawang, cabe dengan pisau kecil ditangannya. Ada pula yang sedang berusaha menyalakan api dengan menggunakan kayu bakar, minyak tanah, dan koreknya. Ada juga yang sedang mencuci nampan, panci dan wajan. Sebuah aktivitas yang biasa nampak di ruang dapur itu. Seolah dalam dapur pesantren itu, tak kenal dengan namanya budaya patriarki.

Bahkan secara tidak langsung para santri-santri itu telah disiapkan sebagai seseorang yang bertugas dan berjuang untuk mencabut akar perkembangan budaya patriarki di masyarakat. Dengan kemandirian santri kiranya tidak menutup kemungkinan kesetaraan gender itu akan terus digaungkan hingga kesetaraan gender pun dapat berdiri kokoh. Selain itu perilaku diskriminasi akan terkubur bersamaan dengan dihapuskannya budaya patriarki di lingkungan sosial masyarakat. [HW]

Mohammad Iqbal Shukri
Alumni Pondok Pesantren Khozinatul Ulum Blora, Mahasiswa S1 Perbankan Syariah UIN Walisongo Semarang, dan Aktif di Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat UIN Walisongo Semarang.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah